Jumat, 07 Juni 2013

Muhammad Baqir Al-sadr



C. Pemikiran Muhammad Baqir Al-sadr
1. Epistemologi
Kita tentunya sudah tahu mengetahui, bahwa pengetahuan itu bias didapat dari berbagai hal. Namun, yang menjadi permasalahan disini dan menjadi perdebatan besar dalam diskusi-diskusi yang mempersoalkan tentang sumber-sumber pengetahuan. Dari perdebatan besar ini, filsuf asal irak ini memberikan sebuah pandangan yang dimulainya dengan memberikan beberapa pertanyaan: bagaimana pengetahuan itu muncul dalam diri manusia?, Bagaimana kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk setiappemikiran dan konsep-konsep (nations) yang muncul sejak dini? Dan apakah sumber yang memberikan kepada manusia arus pemikiran dan pengetahuan itu?[1]

             Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut beliau menyimpulkan bahwa manusia memiliki bermacam-macam pemikiran dan pengetahuan. Oleh sebab itu manusia mendapatkan pengetahuan tidak berdasar dari satu sumber saja, melainkan muncul dari sumber lainnya. Untuk mendapat pengetahuan baru manusia membutuhkan pengetahuan lama (yang sudah dimiliki). Sebelum melangkah lebih jauh baiknya kita mengetahui apa itu yang dimaksud  dengan pengetahuan itu? Menurut Muhammad baqir, pengetahuan (persepsi)[2] secara garis besar terbagi menjadi dua. Pertama, konsepsi atau pengetahuan sederhana[3]. Kedua, tashdiq (assent atau pembenaran), yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian.
Bagian pertama dari pembagian pengetahuan secara garis besar yakni mengenai konsepsi dan sumber-pokoknya. Kata “pokok” disini diartikan oleh Muhammad baqir sebagai “primer”, yakni sumber haqiqi bagi konsepsi mananusia atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki manusia. menurutnya dalam diri manusia terdapat dua macam konsepsi. Pertama, pengertian konseptual sederhana, seperti panas, dingin, putih, tinggi, pendek dan lainnya yang dapat dimengerti jika dikombinasikan dengan konsepsi lainnya. Kedua, pengertian-pengertian majemuk. Yakni konsepsi yang terbentuk dari konsepsi yang terkombinasi dengan konsepsi lainnya contoh; “sepotong emas”. Dari kedua kombinasi ini kemudian memunculkan konsepsi ketiga, sebagai hasil kombinasi dari konsepsi 1 dan konsepsi 2[4]. Contoh; “sebungkal gunung dari emas”.
Dari ketiga konsepsi inilah muncul satu permasalahan lagi yakni dari manakah asal dari ketiga konsepsi ini. Dalam menyelesaiakan masalah ini Muhammad Baqir menggunakan empat teori, teori pertama yakni teori plato tentang pengingatan kembali yaitu, teori yang berpendapat bahwa pengetahuan adalah fungsi mengingat kembali informasi-informasi yang pernah dulu diperoleh. Teori kedua  yakni teori rasional, teori ini mempunyai keyakinan bahwa dalam konsepsi manusia itu terdapat dua sumber, pertama pengindraan, kedua fitrah, dalam arti akal manusia telah dibekali dengan pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak diperoleh dari  indra melainka sudah ada dari dalam lubuk fitrah. Teori ketiga yakni emperikal, teorika yang menyatakan bahwa sumber konsepsi-konsepsi dan gagasan manusia itu berasal dari pengindraan. Teori keempat yakni disposesi yakni umumnya dikenal dalam filosof muslim yakni teori yang lebih mendekati pada teori rasional yakni terdapat dua sumber, tetapi dalam teori yang keempat ini menggunakan istilah konsepsi-konsepsi primer dan konsepsi-konsepsi skunder.[5]
Selanjutnya bagian kedua dari pengetahuan, tasdiq dan sumber pokoknya. Dengan tasdiq ini seseorang dapat sampai pada pengetahuan yang objektif. Yang menjadi permasalahan disini bukanlah tasdiq atau pembenaran atas pengetahuan tersebut melainkan sumber dari manakah tasdiq ini didapatkan, adakah kriteria-kriteria umum yang dapat membedakan kebenaran dengan hal yang lain?. Untuk menyelasaikan permsasalahan tersebut terdapat dua jalan. Jalan pertama, jalan yang digunakan oleh filsafat islam. Jalan kedua yakni jalan emperikal yang banyak digunakan oleh paham materialisme, seperti marxisme. Aliran rasional memandang bahwa pengetahuan manusia itu terbagi mejadi dua. Pengetahuan pasti atau intuitif . artinya akal tidak bisa menolaknya atau membutuhkan pembuktian untuk membenarkannya. Seperti; universal lebih besar dari partikular", atau satu adalah separuh dari dua. Kedua informasi dan pengetahuan teoritis. Artinya akal tidak bisa membenarkan sebuah proposisi tanpa adanya pengetahuan-pengetahuan “pendahulu”, yang tentunya pengetahuan penduhulu telah terbukti kebenarannya, contoh, “bumi itu bulat”.
Jalan kedua adalah jalan emperikal, seperti yang kita ketahui bersama dalam paham emperikal berpendapat bahwa sumber utama dari pengetahuan manusia adalah pengalaman.berbeda dengan paham rasioanal yang menyatakan bahwa manusia sejak lahir telah dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan dan gagasan-gagasan, karena dalam paham emperikal ini berpendapat bahwa manusia itu terlahir tanpa memiliki bekal pengetahuan apapun.
2. Prinsip Kausalitas
            Prinsip kausalitas merupakan salah satu proposisi primer yang sering digunakan serta diketahui oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari, melalui kausalitas – dengan terus menanyakan sebab dari akibat – ini sehingga manusia meyakini bahwa setiap sesuatu memiliki sebab. Namun, dalam kausalitas itu masih bergantung pada tiga hal, yakni; pertama, pembuktian obyektif kepada persepsi indrawi; kedua, semua teori dan hokum ilmiah yang berdasarkan pada eksperimen; ketiga, mengambil kemungkinan penyimpulan dan kesimpulan-kesimpulannya dalam hal apapun.  Tegasnya, Tanpa prinsip kausalitas ini, persepsi indrawi tidak akan pernah bisa untuk di paparkan secara obyektif. Begitu juga dengan teori ilmu dan hokum ilmu atau apapun yang ingin dipaparkan secara obyektif tidak akan bisa tanpa menggunakan prinsip kausalitas ini.[6]
            Selanjutnya bagaimana prinsip kausalitas ini sangat berguna untuk persepsi indrawi, seperti yang telah terpaparkan dalam bagian awal mengenai epistemology mengenai persepsi indrawi atau empirical, persepsi indrawi adalah tak ubahnya hanyalah persepsi kosong atau pandangan yang tidak terkandung nilai kebenaran didalamnya karena tidak adanya pembuktian. Contoh; ketika melihat orang dalam keadaan pucat, indra kita mempersepsikan bahwa orang tersebut sedang sakit. Mengatakan sakit tanpa bukti-bukti tertentu namun indra kita dapat menyimpulkan bahwa orang tersebut sedang sakit. Oleh karena itulah persepsi indrawi belum bisa menjadi dasar yang mampu menetapkan, menilai, menyipulkan atau mengetahu realitas yang obyektif yang disepakati oleh semua orang berdasarkan tolak ukur yang digunakan.
            Dari statement tersebut menimbulkan satu pertanyaan, jika persepsi indrawi tidak bisa menetap, menilai, dan menyimpulkan secara obyektif, bagaimana kita akan menyimpulkan sesuatu yang didapat melalui indra? Kita semua mengetahui, bahwa sesuatu yang obyektif tentunya tidak lagi diragukan lagi keberadaannya baik itu berupa teori, keyakinan, atau apapun. oleh karena itu dia tidak lagi membutuhkan bukti untuk membuktikan keabsahan dirinya kepada hal di luar dirinya. Oleh karenanya persepsi indrawi membutuhkan bukti agar bisa dipaparkan secara obyektif, bukti itu bisa didapat melalui prinsip kausalitas.
3. Islam dan Akal
            Dalam tulisan beliau yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, tulisan diluar karya terbesarnya falsafatuna, sebuah karya begitu banyak memuat berbagai macam pembahasan, dalam buku yang tepatnya yang berjudul Syahadat ke Dua, terdapat sub bab yang berjudul islam dan akal. Alasan kenapa kami memasukkan subbab ini kedalam  makalah kami, kami rasa ini penting disamping membuktikan bahwa islam tidaklah menolah keberedaan akal dan juga hal ini dapat membuktikan bahwa islam menuntut kita untuk berfikir untuk mengungkap tabir yang tertutup. Menurutnya, melalui akal ini manusia akan dapat menyingkap rahasia-rahasia alam kemudian mengambil manfaat darinya serta agar manusia mampu sampai kepada sumber-sumber yang hakiki dari eksistensinya di muka bumi ini.[7] Namun, ketika penggunaan akal ini tidak baik dan benar maka akan berbalik kepada kekufuran kepada allah SWT.
            Beliau menyanyangkan jika anugerah akal ini tidak digunakan artinya tidak dimanfaatkan sebagimana mestinya, tetapi hanyalah bergantung pada taqlid buta kemudian mengantarkan kepada kefanatikan. Untuk mebuktikan pernyataan ini beliau menyisipkan ayat al-quran yang berbicara tentang dituntunya pegunaan akal untuk mempelajari fenomena-fenomena alam dengan menganalisa dan menyingkap hukum-hukum yang menjadi ketentuan alam.
dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya. (Qs. Ar ruum: 24)
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan[1313]. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. (Qr. Az Zumar: 42
 ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (QS. Shad: 29)





[1] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, penerj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan, 1995), cet V, h. 25 
[2] Dalam terjemahan bahasa inggris, pengetuan dalam penulisannya menggunakan kata perception tidak menggunakan knowledge.
[3] Pengetahuan sederhana yakni pengetahuan tanpa penilaian artinya menangkap suatu objek tanpa memberikan penilaian terhadap objek tersebut. Muhammad Baqir Ash-Shadr, falsafatuna. H. 25

[4] Ibid. h. 26
[5] Ibid. h. 36
[6] Ibid, h. 207
[7] Syahid Muhammad Baqir Shadr, Syahadat kedua; Ketika Keimanan Saja Tak Cukup, penerj. Muhammad Abdul Qadir Alcaff; (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 83

0 komentar:

Posting Komentar