C. Pemikiran Muhammad Baqir Al-sadr
1. Epistemologi
Kita tentunya sudah tahu mengetahui, bahwa pengetahuan itu bias
didapat dari berbagai hal. Namun, yang menjadi permasalahan disini dan menjadi
perdebatan besar dalam diskusi-diskusi yang mempersoalkan tentang sumber-sumber
pengetahuan. Dari perdebatan besar ini, filsuf asal irak ini memberikan sebuah
pandangan yang dimulainya dengan memberikan beberapa pertanyaan: bagaimana
pengetahuan itu muncul dalam diri manusia?, Bagaimana kehidupan intelektualnya
tercipta, termasuk setiappemikiran dan konsep-konsep (nations) yang
muncul sejak dini? Dan apakah sumber yang memberikan kepada manusia arus
pemikiran dan pengetahuan itu?[1]
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut beliau menyimpulkan bahwa manusia memiliki bermacam-macam pemikiran dan pengetahuan. Oleh sebab itu manusia mendapatkan pengetahuan tidak berdasar dari satu sumber saja, melainkan muncul dari sumber lainnya. Untuk mendapat pengetahuan baru manusia membutuhkan pengetahuan lama (yang sudah dimiliki). Sebelum melangkah lebih jauh baiknya kita mengetahui apa itu yang dimaksud dengan pengetahuan itu? Menurut Muhammad baqir, pengetahuan (persepsi)[2] secara garis besar terbagi menjadi dua. Pertama, konsepsi atau pengetahuan sederhana[3]. Kedua, tashdiq (assent atau pembenaran), yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian.
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut beliau menyimpulkan bahwa manusia memiliki bermacam-macam pemikiran dan pengetahuan. Oleh sebab itu manusia mendapatkan pengetahuan tidak berdasar dari satu sumber saja, melainkan muncul dari sumber lainnya. Untuk mendapat pengetahuan baru manusia membutuhkan pengetahuan lama (yang sudah dimiliki). Sebelum melangkah lebih jauh baiknya kita mengetahui apa itu yang dimaksud dengan pengetahuan itu? Menurut Muhammad baqir, pengetahuan (persepsi)[2] secara garis besar terbagi menjadi dua. Pertama, konsepsi atau pengetahuan sederhana[3]. Kedua, tashdiq (assent atau pembenaran), yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian.
Bagian pertama dari pembagian pengetahuan secara garis besar yakni mengenai
konsepsi dan sumber-pokoknya. Kata “pokok” disini diartikan oleh Muhammad baqir
sebagai “primer”, yakni sumber haqiqi bagi konsepsi mananusia atau
pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki manusia. menurutnya dalam diri manusia
terdapat dua macam konsepsi. Pertama, pengertian konseptual sederhana,
seperti panas, dingin, putih, tinggi, pendek dan lainnya yang dapat dimengerti
jika dikombinasikan dengan konsepsi lainnya. Kedua,
pengertian-pengertian majemuk. Yakni konsepsi yang terbentuk dari konsepsi yang
terkombinasi dengan konsepsi lainnya contoh; “sepotong emas”. Dari kedua
kombinasi ini kemudian memunculkan konsepsi ketiga, sebagai hasil kombinasi
dari konsepsi 1 dan konsepsi 2[4].
Contoh; “sebungkal gunung dari emas”.
Dari ketiga konsepsi inilah muncul satu permasalahan lagi yakni
dari manakah asal dari ketiga konsepsi ini. Dalam menyelesaiakan masalah ini
Muhammad Baqir menggunakan empat teori, teori pertama yakni teori plato
tentang pengingatan kembali yaitu, teori yang berpendapat bahwa pengetahuan
adalah fungsi mengingat kembali informasi-informasi yang pernah dulu diperoleh.
Teori kedua yakni teori rasional,
teori ini mempunyai keyakinan bahwa dalam konsepsi manusia itu terdapat dua
sumber, pertama pengindraan, kedua fitrah, dalam arti akal manusia telah
dibekali dengan pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak
diperoleh dari indra melainka sudah ada
dari dalam lubuk fitrah. Teori ketiga yakni emperikal, teorika yang
menyatakan bahwa sumber konsepsi-konsepsi dan gagasan manusia itu berasal dari
pengindraan. Teori keempat yakni disposesi yakni umumnya dikenal dalam
filosof muslim yakni teori yang lebih mendekati pada teori rasional yakni
terdapat dua sumber, tetapi dalam teori yang keempat ini menggunakan istilah
konsepsi-konsepsi primer dan konsepsi-konsepsi skunder.[5]
Selanjutnya bagian kedua dari pengetahuan, tasdiq dan sumber
pokoknya. Dengan tasdiq ini seseorang dapat sampai pada pengetahuan yang
objektif. Yang menjadi permasalahan disini bukanlah tasdiq atau pembenaran atas
pengetahuan tersebut melainkan sumber dari manakah tasdiq ini didapatkan,
adakah kriteria-kriteria umum yang dapat membedakan kebenaran dengan hal yang
lain?. Untuk menyelasaikan permsasalahan tersebut terdapat dua jalan. Jalan
pertama, jalan yang digunakan oleh filsafat islam. Jalan kedua yakni jalan emperikal
yang banyak digunakan oleh paham materialisme, seperti marxisme. Aliran
rasional memandang bahwa pengetahuan manusia itu terbagi mejadi dua.
Pengetahuan pasti atau intuitif . artinya akal tidak bisa menolaknya
atau membutuhkan pembuktian untuk membenarkannya. Seperti; universal lebih
besar dari partikular", atau satu adalah separuh dari dua. Kedua informasi
dan pengetahuan teoritis. Artinya akal tidak bisa membenarkan sebuah proposisi
tanpa adanya pengetahuan-pengetahuan “pendahulu”, yang tentunya pengetahuan
penduhulu telah terbukti kebenarannya, contoh, “bumi itu bulat”.
Jalan kedua adalah jalan emperikal, seperti yang kita ketahui
bersama dalam paham emperikal berpendapat bahwa sumber utama dari pengetahuan
manusia adalah pengalaman.berbeda dengan paham rasioanal yang menyatakan bahwa
manusia sejak lahir telah dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan dan
gagasan-gagasan, karena dalam paham emperikal ini berpendapat bahwa manusia itu
terlahir tanpa memiliki bekal pengetahuan apapun.
2. Prinsip Kausalitas
Prinsip kausalitas
merupakan salah satu proposisi primer yang sering digunakan serta diketahui
oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari, melalui kausalitas – dengan terus
menanyakan sebab dari akibat – ini sehingga manusia meyakini bahwa setiap
sesuatu memiliki sebab. Namun, dalam kausalitas itu masih bergantung pada tiga
hal, yakni; pertama, pembuktian obyektif kepada persepsi indrawi; kedua,
semua teori dan hokum ilmiah yang berdasarkan pada eksperimen; ketiga, mengambil
kemungkinan penyimpulan dan kesimpulan-kesimpulannya dalam hal apapun. Tegasnya, Tanpa prinsip kausalitas ini,
persepsi indrawi tidak akan pernah bisa untuk di paparkan secara obyektif.
Begitu juga dengan teori ilmu dan hokum ilmu atau apapun yang ingin dipaparkan
secara obyektif tidak akan bisa tanpa menggunakan prinsip kausalitas ini.[6]
Selanjutnya
bagaimana prinsip kausalitas ini sangat berguna untuk persepsi indrawi, seperti
yang telah terpaparkan dalam bagian awal mengenai epistemology mengenai
persepsi indrawi atau empirical, persepsi indrawi adalah tak ubahnya hanyalah
persepsi kosong atau pandangan yang tidak terkandung nilai kebenaran didalamnya
karena tidak adanya pembuktian. Contoh; ketika melihat orang dalam keadaan
pucat, indra kita mempersepsikan bahwa orang tersebut sedang sakit. Mengatakan
sakit tanpa bukti-bukti tertentu namun indra kita dapat menyimpulkan bahwa
orang tersebut sedang sakit. Oleh karena itulah persepsi indrawi belum bisa
menjadi dasar yang mampu menetapkan, menilai, menyipulkan atau mengetahu
realitas yang obyektif yang disepakati oleh semua orang berdasarkan tolak ukur
yang digunakan.
Dari statement
tersebut menimbulkan satu pertanyaan, jika persepsi indrawi tidak bisa menetap,
menilai, dan menyimpulkan secara obyektif, bagaimana kita akan menyimpulkan
sesuatu yang didapat melalui indra? Kita semua mengetahui, bahwa sesuatu yang
obyektif tentunya tidak lagi diragukan lagi keberadaannya baik itu berupa
teori, keyakinan, atau apapun. oleh karena itu dia tidak lagi membutuhkan bukti
untuk membuktikan keabsahan dirinya kepada hal di luar dirinya. Oleh karenanya
persepsi indrawi membutuhkan bukti agar bisa dipaparkan secara obyektif, bukti
itu bisa didapat melalui prinsip kausalitas.
3. Islam dan Akal
Dalam tulisan
beliau yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, tulisan diluar karya
terbesarnya falsafatuna, sebuah karya begitu banyak memuat berbagai
macam pembahasan, dalam buku yang tepatnya yang berjudul Syahadat ke Dua, terdapat
sub bab yang berjudul islam dan akal. Alasan kenapa kami memasukkan subbab ini
kedalam makalah kami, kami rasa ini
penting disamping membuktikan bahwa islam tidaklah menolah keberedaan akal dan
juga hal ini dapat membuktikan bahwa islam menuntut kita untuk berfikir untuk
mengungkap tabir yang tertutup. Menurutnya, melalui akal ini manusia akan dapat
menyingkap rahasia-rahasia alam kemudian mengambil manfaat darinya serta agar
manusia mampu sampai kepada sumber-sumber yang hakiki dari eksistensinya di
muka bumi ini.[7]
Namun, ketika penggunaan akal ini tidak baik dan benar maka akan berbalik
kepada kekufuran kepada allah SWT.
Beliau
menyanyangkan jika anugerah akal ini tidak digunakan artinya tidak dimanfaatkan
sebagimana mestinya, tetapi hanyalah bergantung pada taqlid buta kemudian
mengantarkan kepada kefanatikan. Untuk mebuktikan pernyataan ini beliau
menyisipkan ayat al-quran yang berbicara tentang dituntunya pegunaan akal untuk
mempelajari fenomena-fenomena alam dengan menganalisa dan menyingkap hukum-hukum
yang menjadi ketentuan alam.
dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu
kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari
langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
mempergunakan akalnya. (Qs. Ar ruum: 24)
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang)
yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah
Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang
ditetapkan[1313]. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. (Qr. Az Zumar: 42
ini adalah sebuah kitab yang Kami
turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya
dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (QS. Shad:
29)
[1]
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, penerj. M. Nur Mufid bin Ali,
(Bandung: Mizan, 1995), cet V, h. 25
[2]
Dalam terjemahan bahasa inggris, pengetuan dalam penulisannya menggunakan kata
perception tidak menggunakan knowledge.
[3]
Pengetahuan sederhana yakni pengetahuan tanpa penilaian artinya menangkap suatu
objek tanpa memberikan penilaian terhadap objek tersebut. Muhammad Baqir Ash-Shadr,
falsafatuna. H. 25
[4]
Ibid. h. 26
[5]
Ibid. h. 36
[6]
Ibid, h. 207
[7]
Syahid Muhammad Baqir Shadr, Syahadat kedua; Ketika Keimanan Saja Tak Cukup,
penerj. Muhammad Abdul Qadir Alcaff; (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 83
0 komentar:
Posting Komentar