Minggu, 17 Juni 2012


1. Pendahuluan
Berbicara mengenai iman dan kufur terlebih dahulu kami akan memulainya dengan sebuah pertanyaan, yakni: apa kita harus mengetahui ajaran-ajaran yang disampaikan oleh para mutakalim?.Kenapa kami mulai dengan sebuah pertanyaan yaitu karena dengan pertanyaan semacam ini kita bisa tahu hal-hal yang menjadikan seseorang beriman dan menjadikan seseorang kufur berdasarkan kelompok mana yang kita ikuti. Jangan sampai kita mengikuti sebuah kelompok tapi kita tidak tahu landasan kelompok itu.
Kita semua sudah tahu apa yang membuat pemahaman-pemahaman seputar teologi itu berbeda-beda, sedikit mengulang perbedaan ini terjadi atau dimulai pada permasalahan politik yang akhirnya berkembang dan berpindah ke permasalahan teologi.. Kenapa demikian, pada dasarnya Iman dan kufur adalah permasalahan pertama dalam pembahasan ilmu kalam atau teologi, seharusnya pula kita bahas di awal perkuliahan. Ini dimulai saat Khawarij menuduh sejumlah sahabat nabi sebagai orang kafir, diantaranya: Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin sufyan, abu Musa al-Asya’ari, Amr bin al-Ash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah[1]. Tentunya nama-nama yang kami sebutkan tidak asing lagi dalam pembahasan teologi. Setalah itu dikembangkan dengan menyebut orang yang berdosa besar adalah kafir. Dalam pembahasan iman dan kufur ini ada 4 kelompok yang akan kami bahas yakni: Khawarij, Murji’ah, Mutazilah, dan Asy’ariyah.
2. Iman dan Kufur
            Perkataan iman yang berarti 'membenarkan' itu disebutkan dalam al-Quran, di antaranya dalam Surah At-Taubah ayat 62 yang bermaksud: "Dia (Muhammad) itu membenarkan (mempercayai) kepada Allah dan membenarkan kepada para orang yang beriman." Iman itu ditujukan kepada Allah , kitab-kitab dan Rasul. Iman itu ada dua Iman Hak dan Iman Batil. Definisi Iman berdasarkan hadist merupakan tambatan hati yang diucapkan dan dilakukan merupakan satu kesatuan. Iman memiliki prinsip dasar segala isi hati, ucapan dan perbuatan sama dalam satu keyakinan, maka orang - orang beriman adalah mereka yang di dalam hatinya, disetiap ucapannya dan segala tindakanya sama, maka orang beriman dapat juga disebut dengan orang yang jujur atau orang yang memiliki prinsip. atau juga pandangan dan sikap hidup.
Para imam dan ulama telah mendefinisikan istilah iman ini, antara lain, seperti diucapkan oleh Imam Ali bin Abi Talib: "Iman itu ucapan dengan lidah dan kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan dengan anggota." Aisyah r.a. berkata: "Iman kepada Allah itu mengakui dengan lisan dan membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota." Imam al-Ghazali menguraikan makna iman: "Pengakuan dengan lidah (lisan) membenarkan pengakuan itu dengan hati dan mengamalkannya dengan rukun-rukun (anggota-anggota)."[2] Sedangkan Kekafiran atau kufur dalam bahasa Arab asalnya berarti penutup. Adapun dalam istilah syariat berarti lawan dari iman[3].
Ada empat istilah dasar yang biasanya digunakan oleh para mutakallimin dalam pembahasan iman dan kufur, yang disampaikan oleh Hassan Hanafi, yakni:
1.      Ma’raifat bi Al-Aql, ( mengetahui dengan akal).
2.      Amal, perbuatan baik dan patuh
3.      Iqrar, pengakuan secara lisan, dan
4.      Tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula di dalamnya Ma’rifat bi al-Aql (mengatahui dengan hati)[4]
3. Perbandingan Antaraliran: Iman Dan Kufur
a. Khawarij
            khawarij dalam memandang iman tidak seperti pada umumnya, tidak semata-mata percaya kepada Allah. Namun dengan mengerjakan segala perintah kewajiban juga merupakan bagian dari keimanan. Karena dalam al-Qur’an juga terdapat penjelasan tentang kekusaan bahwa kita harus mengikuti perintah dari kepala pemerintahan, untuk itu khawarij juga memandang bahwa masalah kekuasaan juga masuk dalam bagian dari keimanan (al-amal juz’iman al-iman). Dari sini khawarij mengambil sebuah kesimpulan bahwa orang menyatakan percaya atau beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasulnya tetapi tidak menjalankan perintahnya tetapi menjalankan dosa, maka khwarij memasukan orang yang seperti ini kedalam orang yang kafir[5].
Dalam khawarij terdapat 8 sekte yang di dalamnya memiliki perbedaan yang mendasar dalam menerangkan iman dan kufur dalam pembagian sekte terdapat perbedaan ada yang mengatakan ada 20 dan 8 sekte dalam khawarij, tapi disini kami hanya memasukan 3 sekte saja. Menurut kami ketiga sekte ini yang cukup menarik untuk dibahas, diantaranya:
a). Al-Muhakkimah
            sekte ini adalah sekte yang asli artinya sebelum terpecahnya khawarij menjadi banyak sekte yakni sekte yang memisahkan diri dari Ali bin Abi thalin setelah peristiwa tahkim. Pemimpin dalam sekte ini adalah Abdullah ibn Kawa dan Urwah Ibn Jarir. Sekte ini berbependapat bahwa Muawiyah dan Ali atau orang yang terlibat dalam persetujuan arbitrase, mereka adalah orang-orang yang salah dan telah menjadi kafir. Dalam penjelasan selanjutnya mereka juga menyebut bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir.[6]
Contohnya: orang yang berzina adalah orang melakukan dosa besar menurut sekte ini mereka telah menjadi kafir dan keluar dari agama islam, begitu juga dengan pelaku pembunuhan maka ia menjadi kafir dan keluar dari Islam[7]. Itu artinya orang yang melakukan dosa besar adalah kafir dan keluar dari Islam.
b). Al-Zariqah
            Dalam sekte lebih ekstrim dari sekte yang pertama mereka tidak lagi menyebut pelaku dosa besar sebagi kafir tapi yakni dengan menyebut mereka sebagai musyrik. Musyrik adalah dosa besar yang sudah tidak bisa diampuni lagi dalam Islam. Namun kata musyrik ini juga digunakan untuk menyebut orang yang tidak sepaham dengan mereka. Tokoh dalam sekte ini adalah Nafi’ Ibn al-Zaraq[8]. Bahkan dalam keterangan selanjutnya mereka mengatakan musyrik bagi orang berada di luar daerah mereka, dengan menyebut daerah tersebut dengam kata dar al-kufr.[9] Lebih lanjut mereka membolehkan membunuh anak-anak dan istri-istri yang bukam zariqah.[10]
c).  al-ibadiyah
            dalam sekte ini mereka membagi kafir menjadi dua macam yakni kafir nikmat dan kafir  dalam akidah. Dalam sekte ini menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, tidaklah musyrik tidak mu’min. tapi mereka menyebutnya dengan kafir nikmat. Dan kafir nikmat ini darahnya haram untuk ditumpahkan, dan daerahnya disebut Dar al-tauhid. Meraka membolehkan berhungan dengan mereka dan melakukan perkawinan dan warisan.[11] Kecuali menghukumi seseorang kafir ketika orang itu benar-benar melakukan menyimpang dari dasar dan pokok islam.[12]
b. Murji’ah
            Sama dengan khawarij murji’ah juga memiliki pandangan tersendiri terhadap permasalahan iman dan kufur. Dalam murji’ah tidak menyebut para pelaku dosa besar sebagai kafir, mereka masih menganggap mereka mukmin. Iman dalam kelompok ini diartikan “ma’rifat kepada Allah dan kepada Rasuln-Nya, mereka ridak memasukan amal dalam bagian dari iman. Prinsip mereka adalah “perbuatan maksiat ridak akan membahayakan iman seseorang, sebagaiman perbuatan taat yang dilakukan oleh orang kafir tidak akan memberikan manfaat (dampak positif). Dari prinsip ini mereka tidak akan menyebut pelaku dosa besar sabagai kafir selama mereka masih menganut agama Islam dan mengucapkan kalimah syahadah. Tapi murji’ah menagguhkan permasalahan kafir ini kepada Allah Swt.[13]
            Dalam murji’ah terdapat dua sekte yakni sekte moderat dan sekte ekstrim, sekte moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan tidak masuk neraka sama sakali.[14] Kedua adalah sekte ekstrim dalam sekte ini menyatakan bahwa letak keimanan adalah dalam hati, itu artinya jika ada seseorang yang lisan menyatakan kufur tapi hatinya masih beriman makan tidaklah orang ini disebut kafir. Harun Nasution dalam teologi islamnya memeberikan contoh; jika ada seseorang dalam prakteknya melakukan penyembahan berhala, menjalankan ajaran-ajaran Kristen atau yahudi[15], namun hatinya tetap menyakini Allah dan beriman maka tidaklah bisa kita menyebut mereka sebagai kafir baik kafir nikmat ataupun kafir akidah dalam khawarij.
c. Mu’tazilah
Mu’tazilah  memberikan nuansa baru dalam permasalahan iman dan kufur ini, yakni mu’tazilah menambahkan kata fasiq dalam pembahasan oman dan kufur. Lebih tepatnya mu’tazilah tidak menyebut pelaku dosa besar itu kafir atau iman tetapi di antara keduanya (manzilah al-manzilatain), mu’tazilah menyebutnya sebagai fasiq. Dan orang fasiq berhak masuk neraka karena kefasiqkannya, dan aka kekal dalam neraka itu. Masalah manzilah al-manzilatain menjadi dasar dari ajaran mu’tazilah. Ada yang mengatakan bahwa dasar mu’tazilah mengambil jala tengah ini diambil dari : 1. Ayat-ayat al-qur’an dan hadis yang menganjurkan untuk mengambil jalan tengah dalam segala sesuatu, 2. Pikiran-pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan (fadhilah :virtue) ialah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan, 3. Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat di antara baik dan buruk.[16]
d. Asy’ariyah
            sebagai reaksi terhadap mu’tazilah, asy’ariyah pun tidak luput dari pembahasan mengenai iman dan kufur, namun yang menjadi permasalahan nampaknya ada sedikit kerancuan dalam asy’ariyah ini. Ia memberikan pengertian yang berbeda dalam tiga karyanya, yakni dalam kitab Maqalat dan al-Ibanah iman adalaha qawl dan amal dapat bertambah dan berkurang. Berbeda ketika dalam kitab yang ketiga, dalam kitab al-Luma,iman diartikan sebagai Tashdiq Bi Allah. Dalam kitab yang ketiga ini asy’ariyah memberikan argumentasi bahwa dalam al-qur’an surat yusuf ayat 7, kata mukmin itu memilki hubungan dengan sadiqin,. Oleh sebab itu dalam kitan yang ketiganya asyariyah mengartikan iman dengan tashqid bi al-qalbhi (membenarkan dengan hati).
            Dari penjelasan ini mungkin tidak ada kejelasan mengenai iman dan kufur, untuk memperjelasnya salah satu pengikut asyariyah yakni asy-syarastani menulis:
“al-asyari berkata, “……….Iman (secara esensial) adalah tashdiq bi al-janan (membenarkan dalam hati), sedangkan mengatakan dengan lisan (qawl) dan melakukan kewajiban utama (amal ni al-arkan) hanyalah merupakan furu’ (cabang-cabang_ iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa darinya, ima orang semacam itu merpakan iman yang shaleh……dan keimana seseorang tidak akan hilang kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.”[17]
Dari kutipan di atas nampaknya syarastani ingin menyelaraskan pengertian iman dalam ketiga kitab yang ditulis oleh asy-‘ariyah dalam satu titik, dan menempatkan ketiga unsur iman (tashdiq, qawl dan amal) kepada tempatnya masing-masing. Kesimpulannya bahwa asy’ari dan asy’ariyah persyaratan minimal dalam keimanan adalah tashdiq, tashdiq secara mudahnya adlah syahadatain. Itu artinya adanya kesamaan antara ays;’ariyah dengan murji’ah dalam memandang sebuah keimanan.
Kesimpulan
            Berangkat dari pertanyaan kami di atas tepatya dalam pendahuluan bisa diambil kesimpulan bahwa kita setidaknya harus mengetahui apa yang diajarkan dalam kelompok atau aliran yang kita anut baik itu fikih, akidah, atau apapun jangan sampai kita mengikuti secara membabi buta tanpa mengetahui ajaran apa yang diajarkan dalam kelompok itu. Hal semacam ini sering kita jumpai dalam kehiupan sehari-hari bahkan kalau boleh jujur mungkin diantara kita pada umumya dan kami pada khususnya tidak atau belum tahu ajaran apa yang terkandung dala kelompok atau aliran yang kita ikuti selama ini.



Daftar Pustaka
Abd Mu’in, Taib Thahir. Ilmu Kalam,cet. Ke 8. Jakarta: PT.Bumirestu, 1986
Hanafi, Ahmad. Teologi Islam. cet ke 13. Jakarta: Bulan Bintang, 2010
Khalimi. Pengantar Teologi Islam: Aliran, Tokoh, dan perbadingan Tematik. Jakarta
Nasution, Harun Teologi Islam: Aliran Sejaran Analisa Perbandingan. cet. Ke 5. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986
Rozak, Abdur dan Anwar, Rosihan.  Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011
Suaid, Qomar. Kufur, diakses dari http://asysyariah.com/kufur.html


[1] Abdur Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 141
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Iman, diakses pada tanggal 28-04-2012
[3] Al-Ustadz Qomar Suaid, kufur, diakses dari http://asysyariah.com/kufur.html pada tanggal 28-04-2012
[4] Sama dengan yang dikutip oleh Abdur Rozak dan Rosihan Anwar, h. 142  dari Abu Hassan Al-Asyari, maqalat Al-Islamiyah wa ikhtilaf Al-Mushallin, Wiesbaden Franz Steiner Verlag CBHN, 1963, cet 11, h. 85
[5] Abdur Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAI, h. 142
[6] Abdur Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAI, h. 143
[6] Khalimi, Pengantar teologi Islam: Aliran, Tokoh, dan perbadingan Tematik, Jakarta, h. 15
[7] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejaran Analisa Perbandingan, cet. Ke 5 (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press, 1986), h. 16
[8]  Khalimi, Pengantar teologi Islam: Aliran, Tokoh, dan perbadingan Tematik, h. 15-16
[9] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejaran Analisa Perbandinga, h. 17
[10] Taib Thahir Abd Mu’in, Ilmu Kalam,cet. Ke 8 (Jakarta: Pt. Bumirestu, 1986), h. 99
[11] Khalimi, Pengantar teologi Islam: Aliran, Tokoh, dan perbadingan Tematik, h. 19
[12] Taib Thahir Abd Mu’in, Ilmu Kalam,cet. Ke 8 (Jakarta: Pt. Bumirestu, 1986), h. 99
[13] Taib Thahir Abd Mu’in, Ilmu Kalam,cet. Ke 8 (Jakarta: Pt. Bumirestu, 1986), h. 100
[14] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejaran Analisa Perbandinga, h. 26

[15] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejaran Analisa Perbandinga, h. 28
[16] Ahmad hanafi, teologi Islam, cet ke 13 ( Jakarta: Bulan Bintang, 2010), h. 49
[17] Sama dengan yang dikutip oleh Abdur Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAI, h. 149 dari asy-syarastani, al Milal wan Nihal, al dar fikr : bairut, t.t, h. 101


KONSEP KENABIAN AL-FĀRĀBĪ

            Al-Fārābī, yang dikenal di dunia barat dengan nama alpharabius adalah orang pertama yang mengemukakan dan menngeluarkan statemen kenabian[1], teori kenabian ini merupakan bagian tertinggi di dalam pandangan filosofisnya, teorinya berlandaskan pada sendi-sendi jiwa dan metafisika bahkan amat berhubungan dengan politik dan moral[2]. Ia mencoba untuk mendamaikan dan merujukkan antara agama dengan filsafat melalui jalan teori kenabiannya[3]. Jadi, dari konsep kenabian mencoba dan berusaha untuk merujukkan antara rasional dengan tradisional. Menurutnya ciri seorang Nabi adalah orang yang mempunyai daya imajinasi yang sangat tinggi[4] sehingga ia mampu berkomunikasi dengan aql fa’al, intelegensi agent atau akal kesepuluh dalam teori emanasinya atau Malaikat Jibril[5]  dalam penjelasan selanjutnya. Dari kemampuan ini patutlah seorang Nabi berhak mendapat penghormatan dari para failosof khususnya filosof Islam. Degan demikian dapat dikatakan bahwa tidaklah sejajar seorang Nabi dan filsuf tingkatannya, karena Nabi itu sudah tentu seorang filsuf namun filsuf belum tentu seorang Nabi. Filsafat Al-Fārābīpun banyak yang berhubungan dengan teori kenabiannya contoh dalam politiknya ia menginginkan seorang pemimpin  itu mampu sampai ke derajat aql fa’al,[6]  yakni derajat para Nabi yang mampu menerima pesan dari intelegensi agent atau aql fa’al tersebut.
            Filsafat kenabian Al-Fārābī terkait erat dengan hirarki daya-daya jiwa manusia, menurutnya manusia mempunyai kemampuan pengindraan dan kemampuan pengindraan manusia ini  terbagi dalam lima tahap, yakni pertumbuhan, pengindraan, bernafsu, berkhayal dan berfikir. Dan manusia memperoleh sebuah pengatahuan diperoleh dari daya  pengindraan, berkhayal, dan berfikir. Daya pengindraan merujuk pada daya internal dan berkhayal dan berfikir merujuk dari daya eksternal.  Menurut Al-Fārābī manusia dapat mencapai derajat aql fa’al melalui dua cara yakni dengan penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau intuisi ( wahyu)[7]. Cara yang pertama dapat di lakukan oleh pribadi-pribadi yang mampu berfikir  dan menembus alam materi, sedangkan cara yang kedua hanya bisa dilakukan oleh Nabi. Tentunya tidak semua jiwa mampu melakukan hubungan ini, tetapi yang mampu naik kepadanya hanyalah jiwa-jiwa suci yang mampu menembus tabir-tabir ghaib dan mampu mepersepsikan alam cahaya[8]. Sama dengan yang dikutip oleh Ibrahim Madkour dalam buku Al-Fārābī Al-Tsamroh al-Mardliyyah.
     “jiwa yang suci tidak disibukkan oleh oleh arah bawah dari arah atas, indra luar tidak akan menenggelamkan indra batinnya. Pengaruhnya bisa menjalar dari tubuhnya sampai benda-benda alam dan apa yang ada didalamnya, serta ia menerima berbagai pengetahuan dari Ruh dan Malaikat dengan tanpa melalui pendidikan dari manusia”. [9]   
            Dari keterangan diatas juga bisa disimpulkan bahwa pegetahuan seorang Nabi tidak lagi melalui pendidikan dari manusia melainkan langsung dari Malaikat dengan Aql Fa’alnya. Dan ciri seorang Nabi dan sifat utama Nabi ialah ia memiliki daya imajinasi yang sangat tinggi, yang melalui kemampuan ini Nabi bisa berhubungan langsung dengan para malaikat dikala tidur maupun terjaga. Adapun wahyu hanyalah sebagai hasil dari pancaran tuhan yang dibawa oleh malaikat dan di sampaikan pada Nabi[10]. Agama yang dimaksud Al-Fārābī adalah agama samawi atau agama langit, yakni agama yang membutuhkan seorang Nabi sebagai pembawa misi dari Tuhan untuk menyampaikan dan diajarkan kepada manusia di muka bumi, menurutnya banyak orang yang mempunyai imajinasi kuat tapi bukan seorang nabi, karena dia hanya bisa melakukannya disaat ia tidur, ia pun tidak bisa menangkap apa maksud dari mimpinya dan tidak bisa berhubungan dengan aql fa’al. Sedangkan orang yang tidak bisa menerima di saat ia tidur maupun terjaga maka ia termasuk orang yang mempunyai daya imajinasi lemah atau rendah[11].
            Akibat teori kenabian ini pada abad ke 3 H dan 4 H/ abad ke 9 dan 10 M terjadi gelombang skeptisme pada orang-orang yang tidak percaya pada kenabian. Dan orang yang keras menolak kenabian terutama menolak setiap upaya untuk merujukkan agama dan filsafat adalah Muḥammad bin Zakariā Al-Razī, menurutnya fislafat adalah satu-satunya jalan untuk memperbarui pribadi kita dan masyarakat. Sedangkan agama hanyalah menjadi sumber konflik dan perselisihan[12]. Dari sinilah Al-Fārābī mencoba untuk menarangkan kenabian secara rasional dan menafsirkannya secara ilmiah. Ia menerangkan nya dengan dasar Aristoteles yang di pekernalkan kepada dunia Arab. Walaupun Arsitoteles sendiripun menolak bahwa mimpi itu berasal dari Tuhan dan menolak peramalan-peramalan yang dilakukan oleh para Nabi dari mimpi-mipi tersebut. Jika itu terjadi banyak orang akan mengakui bahwa dirinya bisa melihat masa depan melalui sebuah mimpi[13].
Al-Fārābī pertama berpendapat bahwa imajinasi jika telah terlepas dari perbuatan-perbuatan diwaktu terjaga maka saat sedang tidur ia mempergunakan sebagian fenomena psikologis. Kemudian ia menciptakan ilustrasi-ilustrasi baru atau mengumpulkan ilustrasi-ilustrasi konsepsial yang telah ada sebelum dalam berbagai bentuk, dengan cara meneruskan dan terpengaruh oleh sebagian pencerapan inderawi dan perasaan jasmaniah atau emosi-emosi psikologis dan persepsi-persepsi rasional. Karena imajinasi adalah salah satu potensi kreatif yang mampu mencipta, mewujudkan serta mengilustrasikan dan membentuk, mempunyai kemampuan besar untuk menirukan dan berimitasi, di samping ia mengandung kesiapan besar bagi emosi dan daya untuk mempengaruhi[14]. Jika potensi imajinasi ada pada seseorang maka akan menjadi kekuatan yang benar-benar sempurna. Jika kemampuan imajinasi sudah mencapai kesempurnaan maka tidak bisa dihalanggi bahwa pada waktu terjaga ia bisa menerima detalitas-detalitas masa sekarang dan masa yang akan datang dari aql fa’al atau menirukannya melalui fakta-fakta empirik serta menerima imitasi akal yang tidak ada pada benda dan wujud-wujud mulia yang lain bahkan melihatnnya, sehingga bagaimana objek pemikiran (kategori) yang diterimanya menjadi kenabian paling sempurna yang bisa dicapai oleh kekuatan imajinasi dan merupakan tingkatan paling sempurna yang bisa dicapai oleh manusia melalui potensi imajinasi[15].
 Teori kenabian Al-Fārābī juga mempunyai pengaruh pada dunia barat dan timur. Pada abad pertengahan pun banyak yang mengikuti teorinya contoh Ibnu Sina dan Ibn Rusd. Dan ketika teori ini dikenalkan pada pemikir-pemikir Yahudi. Maimonides mengambilnya dan menunjukan keminatannya pada teori kenabian Al-Fārābī. Dan di gunakan pula oleh filosof Muslim modern seperti Jamal Al-din Afghani dan Muḥammad Abduh. Perlu diketahui perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah untuk hubungan dengan aql fa’al, Nabi menggunkan imajinasi tinggi sedangkan filosof menggunakan analisa dan study[16].

Daftar Pustaka
Dr. Ibrahim Madkour, Filsafat Islam (Metode dan Penerapa) ,(Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 1968), h. 86
Otto Horrasowitz, Welbaden. Para Folosof Muslim, Terj. M.M. Syarif, M.A, (Bandung: Mizan, 1994). Cet. VII, h. 73
Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A. Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), Cet. IV. H. 44



[1] Dr. Ibrahim Madkour, Filsafat Islam (Metode dan Penerapa) ,(Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 1968), h. 86
[2] Otto Horrasowitz, Welbaden. Para Folosof Muslim, Terj. M.M. Syarif, M.A, (Bandung: Mizan, 1994). Cet. VII, h. 73
[3]. Ibid. H. 73
[4]. Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A. Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), Cet. IV. H. 44
[5].  Ibid, h. 44
[6]  Dr. Ibrahim Madkour, h. 90
[7]  Dr. Ibrahim Madkour, h. 91
[8]. Ibid, h. 91
[9]. Ibid, h. 91-92 Dari buku Al-Fārābī Al-Tsamroh al-Mardliyyah,  h. 75
[10] M.M. Syarif, M.A, h. 76
[11] Dr. Ibrahim Madkour, h. 97
[12] . sama dengan yang dikutip oleh M.M. Syarif, M.A, h. 76 dari Kraus et Piness, Encyc de l’Islam, Vol. IV, h. 1136
[13]. sama dengan yang dikutip oleh M.M. Syarif, M.A,  h. 77 dari Idem, La Divination, Vol. I, h. 2-3
[14]. Sama dengan yag dikutip oleh Dr. Ibrahim Madkour, h. 94 dari Al-Fārābī, al-Madinah, h. 48-49
[15]. Ibid, h. 96 dari Al-Fārābī, al-Madinah, h. 51-52
[16]. Dr. Ibrahim Madkour, h. 98

I. Pendahuluan
            Setiap sufi mempunyai pengalaman spritual sendiri-sendiri dan berbeda termasuk imam Abd Al-Wahhab Asy Sya’rani yang mempunyai pengalaman spritual yang unik, yakni ketika ia terjatuh di sungai Nil ia di selamatka oleh seekor Buaya, walaupu pada umumnya  buaya akan menerkam setiap apa saja yang mendekatinya, namun berbeda dengan beliau yang sebaliknya di selamatkan oleh buaya. jika kita coba untuk menghubungkan dengan rasional, kita mungkin di antara kita pasti tidak menerima hal tersebut, tapi seperti itulah keistemewaan beliau.
Untuk tarekat yang di ikuti oleh beliau kami masih belum bisa menentukan walaupun ada di antara guru beliau yang seorang pengikut tarekat Az zadziliyah, tapi beliau sendiri mempunyai kesenangan belajar tarekat tersebut tapi dalam karya-karya beliau tidak  ada yang menyebutkan kalau beliau menganut ikut tarekat az zadziliyah. Beliau adalah seorang ahli sufi dan fikih. Terlihat dari karya-karya beliau yang banyak menerangkan tentang dua bidang keilmuan tersebut.
II. Biografi
Nama lengkapnya adalah Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Muhammad ibn Zawfan ibn Syaikh Musa. Imam Al-Sya’rani adalah seorang sufi asal mesir dan juga ahli fikih syafi’i,[1] keterangan lain menjelaskan ia adalah seorang ahli fikih perbandingan hanafi[2] bukannya syafi’i namun ada penjelasan selanjutya yang mengatakna bahwa ia menganut Asy’ariyah dalam teologinya dan Imam Syafi’i[3] dalam mazhabnya dan banyak menulis buku-buku tentang fikih dan tasawuf. Lahir di perkampungan Qalaqsyandah, Mesir pada 27 Ramadhan 898 H/ 1493 M dan meninggal dunia di Kairo, Mesir pada 973 H/ 1565 M. Dalam silsilah keturunan, al-Sya’rani masuk dalam  keturunan Ali bin Abi Thalib melalui jalur keturun anaknya, Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Al-Sya’rani sendiri adalah termasuk generasi kesembilan belas setelah Ali bin Abi Thalib. Pada usia empat puluh kelahirannya di Qalaqsyandah,  ia dipindahkan oleh orang tuanya ke kampung ayahnya, Saqiyah Abi Sya’rah,   dalam wilayah Manufiyah. Dengan demikian, dan sebutan al-Sya’rani berasal dari nama kampung ayahnya[4], sya’rah sebuah desa di wilayah mesir.[5]
Kedua orang tuanya meninggal saat ia berumur sepuluh tahun, Oleh sebab itu tanggung jawab terpundak pada kakaknya, Syaikh Abd al-Qadir. Sebagai seorang terpelajar, sang kakak membimbingnya dalam suasana keilmuan, kendati itu hanya terjadi beberapa tahun. Bimbingan orang tua dan kakak al-Sya’rani terhadap dirinya, meskipun tidak lama telah meninggalkan pengaruh yang demikian mendalam dalam perjalanan hidupnya. Kehidupan keluarga dalam suasana kesufian yang sederhana ternyata telah membangkitkan semangat belajar dan keuletan hidup yang luar biasa pada diri as-Sya’rani. Sejak kecil ia telah mampu menghafal al-Quran tepatnya saat umur 8 tahun[6], kemudian ia juga menghafal Matn Abi Syuja’ , kitab permulaan pelajaran fikih, dan Matn al-Ajrumiyyah, kitab permulaan tata bahasa arab. Kedua kitab itu dipelajarinya dari kakaknya sendiri , Abd al-Qadir ibn Ahmad, yang menggantikan ayahnya mengajar di zawiyah.
Dengan kesederhanaan hidupnya as-Sya’rani memiliki motivasi dalam dirinya untuk senantiasa belajar dan berupaya hidup mandiri sehingga mendorongnya meninggalkan kampung halaman dan menuju Kairo. Kemudian Ia diperbolehkan tinggal di massjid jami’ Sayyid Abu al-Abbas al-Ghamri bersama keluarga syekh dan mengajar dimasjid itu. Ketertarikan syekh Abu abbas terhadap as-Sya’rani membuatnya diangkat sebagai anak sendiri bagi Abu Abbas. Tanpa pamrih mereka membesarkannya dan membiayainya belajar sampai umur tujuh belas tahun.
Setelah umur tujuh belas tahun as-Sya’rani pindah ke Madrasah Umm Khund. Disini kepiawaian dan kecerdasannya semakin cemerlang. Pengetahuan yang luas telah membawa keharuman namannya dalam berbagai bidang ilmu keagamaan, sehingga ia dikenal sebagai seorang ulama yang didatangi oleh para siswa untuk menimba ilmu.
Kendati dapat mengenyam berbagai kemewahan duniawi, jiwa as-Sya’rani senantiasa terpanggil untuk hidup dalam suasana kesederhanaan. Sebab itu ia bergabung dengan sejumlah syaikh sufi untuk mendapatkan kasyf (ketersingkapan batin). Dalam pencarian ruhani itu, al-Sya’rani bertemu dengan seseorang yang dikatakannya sebagai orang yang telah membimbingnya. Gurunya itu adalah seorang tunanetra yang ummi (buta aksara), Ali al-Khawwas (w. 938 H/ 1532 M).
Ali al-Khawwas, pembimbing ruhani al-sya’rai, adalah seorang penganut tarekat Syadziliyah. Karena itu, perjalanan ruhani al-Sya’rani tidak dapat dipisahkan dari tradisi Syadziliyah. Selain banyak mendapatkan bimbingan ruhani dari Ali al-Khawwas, al-Sya’rani juga mendapat bimbingan ruhani dari sufi lain yaitu Muhammad al-Syinnawi. Selain itu al-Sya’rani menerima inisiasi (pengajaran) tarekat-tarekat Suhrawardiyah. Dia enjelaskan silsilah tarekat yang diterimanya ini secara detail dalam karyanya al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifat Qawa’id al-Sufiyyah.
III. Pengalaman Ruhani
Sebagai seorang sufi yang telah mencapai peringkat wali, al-Sya’rani memiliki pengalaman ruhani yang amat kaya. Diceritakannya sendiri, suatu pengalaman batinnya (melalui mimpi). “Biasanya aku mengeluarkan zakat sebelum habis puasa, namun kebiasaan itu tak terlaksana karena aku tak memiliki barang-barang duniawi pada malam Idul Fitri dan juga hari berikutnya, segala yang telah dikaruniakan Allah kepadaku telah kunafkahkan kepada fakir-miskin yang tinggal bersamaku. Pada 955 H (1548 M) aku pernah melihat diriku berada di sebuah gurun bersama orang-orang beriman. Aku melihat sesuatu yang mirip dengan bantal sebesar buah semangka terhantar di depan kami. Lalu ku lihat seseorang diantara kami melemparkan benda itu kearah atas, namun jatuh lagi ke tanah. Aku menanyakan kepada malaikat yang menyaksikan tindakan kami. Malaikat itu mengatakan  bahwa benda itu adalah puasa Ramadhan yang telah kami lakukan. Selain pengalaman ruhani diatas, beliaupun sering melakukan ziarah ke kuburan orang-orang saleh, antara lain kuburan Syaikh Abu al-Abbas al-Mursi, yang dikunjunginya ssetiap hari sabtu, begitu juga kuburan umum al-Qarafah, yang di ziarahinya setiap pekan. Disebut-sebut bahwa dia memiliki kemampuan ruhani untuk berdialog dengan ruh-ruh orang-orang yang meninggal dunia dan Dia juga memiliki kemampuan spiritual untuk berdialog dengan jin.
Asy-Sya’rani meyakini bahwa kemampuan luar biasa yang dimilikinya itu adalah karuia Allah semata. Ketika berbicara tentang karamah (keramat) para wali, al-Sya’rani menganggap bahwa kejadian luar biasa pada orang-orang saleh merupakan karunia Ilahi kepada mereka, sebagai tanda bahwa mereka adalah wali Allah yang disayangi-Nya. Kejadian terssebt tidak dapat dicari dan ditransfer kepada orang lain. Para wali hanya bisa mentransfer barakah (berkah) kepada orang lain. Cerita-cerita luar biasa yang dialami al-Sya’rani seperti itu banyak dipaparkannya dalam karya otobiografisnya, “Lataif al-Minan”.
IV. Karya-Karyanya
1.      Al-Jawahir wa al-Durar al-Kubra (Mutiara-mutiara dan Permata-permata agung)
2.      Al-Yawaqit wa al-Jawahir fi Aqa’id al-Akabir (Permata-permata Yakut dan Mutiara-mutiara tentang Akidah-akidah para ulama Besar [kalangan sufi])
3.      Al-Tabaqat al-Kubra (peringkat-peringkat atau generasi-generasi yang Agung) atau disebut juga Lawaqih al-Anwar fi Tabaqat al-Akhyar (kilatan-kilatan Cahaya tentang Peringkat-peringkat atau generasi-generasi Orang-orang Terpilih)
4.      Al-anwar al-qudsiyyah fi ma’rifat qawa’id al sufiyyah (cahaya-cahaya kudus dalam hal mengenal kaidah-kaidah para sufi).
5.      Lawaqih al-Anwar al-Qudsiyyah fi Bayan al-Uhud al-muhammadiyyah (kilatan-kilatan kudus dalam meenjelaskan jani-janji (pesan-pesan) Muhammad.
6.      Al-Kibrit al-Ahmar fi Uluww al-Syaikh al-Akbar (belerang Merah (pemaparan) tentang kemuliaan Syaikh al-Akbar [ibnu Arabi].
7.      Al-Qawa’id al-Kasfiyyah fi al-Illahiyyah (kaidah-kaidah Ketersingkapan tetang sifat-sifat Ketuhanan
8.      Masyariq al-Anwar al-Qudsiyah fi Bayan al-Uhud al-muhammadiyyah (pancaran cahaya-cahaya kudus tentang penjelasan janji-janji [pesan-pesan] Muhammad).
9.      Madarik al-safilin ila Rusum Tariq al-arifin  (alur pengetahuan kelas rendah munuju sketsa Jalan orang-orang Arif)
10.  Lata’if al-Minan  (kelembutan-kelembutan karunia)
11.  Mizan al-Kubra (Neraca Yang Agung). dlls
V. Silsilah Imam Al Sya’rânî
لفن
NABI MUHAMMAD SAW
لفن
ALI BIN ABI THALIB
لفن
HASAN AL BASRI
لفن
HABIB AL ‘AJAMI
لفن
DAWUD AT THAI


لفن
MA’RUF AL KURKHI

لفن
SIRRI SAQTHI

لفن
QASIM AL JUNAIDI


QADI  RUWAIM (( الفاض رويم
لفن

MUHAMMAD IBN KHAFIF ASY SYAIRAZI
لفن

لفن
ABIL ‘ABBAS AN NAHAWANDI


لفن
FARIJ AL ZANJANI


لفن
AL QQDHI AL WAJIHUDDIN
لفن
ABU AN NAJIB AL SUHRAWARDI
لفن
SYIHABBUDDIN AL SUHRAWARDI
لفن
SYAIKH NAJIBUDDIN BARGHUSY ASY SYAIRAZI
لفن
SYAIKH ABDUS SHOMAD AL NATHTARI
لفن

SYAIKH HASAN AL SYAMSIRI
لفن

SYAIKH NAJIMUDDIN
لفن
MAHMUD AL ASHFAHANI
لفن
YUSUF AL ‘AJAMI AL KURANI
لفن

SYAIKH HASAN AL TASTIRI
لفن


AHMAD BIN SULAIMAN AL ZAHIDI
لفن

YAIKH MUDIN ( (الشيخ مدين
لفن

SYAIKH MUHAMMAD (KEPONAKAN (الشيخ مدين
لفن
MUHAMMAD SARWI DAN SYAIKH ‘ALI AL MURSHOFI


‘ABDUL WAHHAB BIN AHMAD AYS SYA’RANI

VI. Pokok Pemikiran
1.      Tasawuf adalah suatu perjalanan hidup yang diatur oleh al-Qur’an dan al-Sunnah, perilaku sufi adalah perilaku para nabi dan orang-orang suci dan hal iu tidak akan tercela selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-sunnah, maka terserah kepada orang-orang islam untuk melakukanya. Ajaran tasawuf bukan sesuatu yang wajib di ikuti, melainkan hanya utuk memperindah perjalanan hidup.
2.      Tasawuf adalah ilmu yang terbit dari hati para wali tatkala memancari dan mantul dari tingkah laku mengamalkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Setiap amal daripadaya memancar sinar-sinar ilmu, akhlak dan rahasia-rahasia yang sulit diuraikan dengan kata-kata.
3.      Bagi orang orang yang mempelajari tasawuf, mereka harus hati-hati dan menghindari mempergunakan kata-kata yang terdapat dalam kitab suci tertentu seperti: “ruhku bersatu dengan roh-Nya,” “apa yang ada ini adalah Allah,” Allah ada di dalam hati sufi, penggunaan kata-kata semisal ini dilarang untuk umum.[7]
Dalam kitab al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifat Qawa’id al-Sufiyyah (cahaya-cahaya kudus dalam hal mengenal kaidah-kaidah para sufi). Dalam salah satu babnya ia menulis sebuah kaidah-kaidah jala menuju tasawuf  dan bab yang menjelaskan bahwa wali Allah itu hidup di dalaam kuburnya[8]. Namun dalam kitab al-mizanul kubra kitab yang membahas perbandingan mazhab dan pertimbangan hukum islam, ia dalam mukadimahnya mengatakan,                  
            “para pengkaji syariat juga telah sepakat bahwa seseorag tidaklah di sebuah ‘alim (‘ulama) kecuali jika ia menghindari pertentangan berbagai pendapat para ulama dan mengetahui bahwa para ‘ulama itu mengambil dasar dan hadis, bukan karena menentang pendapat Ulama sebab kebodohan dan kebenciannya[9].
Dalam kitab ini, juga ada satu pasal yang menjelaskan tetang mungkinkah berbagai  mazhab itu di padukan?, ia menjawab dengan jawaban Imam muhammad bin malik yang mengatakan jika ilmu itu pemberian dari Allah daan bersifat ladunni, maka tidak mungkin Allah mennyembunyikannya lagi bagi generasi selanjutnya[10]. Itu artinya memadukan berbagai mazhab itu bisa dan mungkin akan terjadi di suatu saat.
kaidah-kaidah menuju jalan tasawuf dalam kitab al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifat Qawa’id al-Sufiyyah jilid I
1.      Adab murid terhadap Syaikh
2.      Pilar-pilar menuju jalan tasawuf
3.      Menjaga diri
4.      Taubat yang benar
5.      Bagaimana dalam memilih gurunya. Dan masih ada yang lain
Dan jilid II
1.      Adab murid terhadap syaikh
2.      Kelembutan cinta
3.      Tidak sah memasuki jalan sufi sebelum bertaubat
4.      Sifat-sifat orang yang mencintai
5.      Bahasa orang yang asyik (mabuk cinta)
6.      Sufi yang benar
Namun yang kami tekankan adalah mengenai pilar-pilar menuju tasawuf menurutnya rukun-rukun jalan menuju tasawuf ada empat yaitu: lapar, Kontenplasi (Renungan), menahan lapar, dan sedikit berbicara. Dan rukun-rukun yang lain akan mengikuti, jika kita melakukan salah satu rukun rukun tersebut. Jadi rukun-rukun tersebut tidak terasa berat jika kita ingin melakukannya. Dan dalam buku yang sama jilid II ia memberikan tambahan yakni tidak sah memasuki jalan sufi sebelum bertaubat[11].




[1] Azyumardi azra 31
[2] Ensiklopedia akidah 169
[3] Azyumardi azra
[4]Azyumardi azra 31
[5] http://al-ishlah.com/?p=440 diakses pada tanggal 15 april 2012

[6]Hasil penelitian sri mulyati dan wiwi st.  FU uin jakarta
[7] Sri mulyat 97
[8] al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifat Qawa’id al-Sufiyyah, 98
[9]  Almizanu kubra h 2
[10]ibid 40
[11] Sri Mulyati 100-101