Minggu, 17 Juni 2012


I. Pendahuluan
            Setiap sufi mempunyai pengalaman spritual sendiri-sendiri dan berbeda termasuk imam Abd Al-Wahhab Asy Sya’rani yang mempunyai pengalaman spritual yang unik, yakni ketika ia terjatuh di sungai Nil ia di selamatka oleh seekor Buaya, walaupu pada umumnya  buaya akan menerkam setiap apa saja yang mendekatinya, namun berbeda dengan beliau yang sebaliknya di selamatkan oleh buaya. jika kita coba untuk menghubungkan dengan rasional, kita mungkin di antara kita pasti tidak menerima hal tersebut, tapi seperti itulah keistemewaan beliau.
Untuk tarekat yang di ikuti oleh beliau kami masih belum bisa menentukan walaupun ada di antara guru beliau yang seorang pengikut tarekat Az zadziliyah, tapi beliau sendiri mempunyai kesenangan belajar tarekat tersebut tapi dalam karya-karya beliau tidak  ada yang menyebutkan kalau beliau menganut ikut tarekat az zadziliyah. Beliau adalah seorang ahli sufi dan fikih. Terlihat dari karya-karya beliau yang banyak menerangkan tentang dua bidang keilmuan tersebut.
II. Biografi
Nama lengkapnya adalah Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Muhammad ibn Zawfan ibn Syaikh Musa. Imam Al-Sya’rani adalah seorang sufi asal mesir dan juga ahli fikih syafi’i,[1] keterangan lain menjelaskan ia adalah seorang ahli fikih perbandingan hanafi[2] bukannya syafi’i namun ada penjelasan selanjutya yang mengatakna bahwa ia menganut Asy’ariyah dalam teologinya dan Imam Syafi’i[3] dalam mazhabnya dan banyak menulis buku-buku tentang fikih dan tasawuf. Lahir di perkampungan Qalaqsyandah, Mesir pada 27 Ramadhan 898 H/ 1493 M dan meninggal dunia di Kairo, Mesir pada 973 H/ 1565 M. Dalam silsilah keturunan, al-Sya’rani masuk dalam  keturunan Ali bin Abi Thalib melalui jalur keturun anaknya, Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Al-Sya’rani sendiri adalah termasuk generasi kesembilan belas setelah Ali bin Abi Thalib. Pada usia empat puluh kelahirannya di Qalaqsyandah,  ia dipindahkan oleh orang tuanya ke kampung ayahnya, Saqiyah Abi Sya’rah,   dalam wilayah Manufiyah. Dengan demikian, dan sebutan al-Sya’rani berasal dari nama kampung ayahnya[4], sya’rah sebuah desa di wilayah mesir.[5]
Kedua orang tuanya meninggal saat ia berumur sepuluh tahun, Oleh sebab itu tanggung jawab terpundak pada kakaknya, Syaikh Abd al-Qadir. Sebagai seorang terpelajar, sang kakak membimbingnya dalam suasana keilmuan, kendati itu hanya terjadi beberapa tahun. Bimbingan orang tua dan kakak al-Sya’rani terhadap dirinya, meskipun tidak lama telah meninggalkan pengaruh yang demikian mendalam dalam perjalanan hidupnya. Kehidupan keluarga dalam suasana kesufian yang sederhana ternyata telah membangkitkan semangat belajar dan keuletan hidup yang luar biasa pada diri as-Sya’rani. Sejak kecil ia telah mampu menghafal al-Quran tepatnya saat umur 8 tahun[6], kemudian ia juga menghafal Matn Abi Syuja’ , kitab permulaan pelajaran fikih, dan Matn al-Ajrumiyyah, kitab permulaan tata bahasa arab. Kedua kitab itu dipelajarinya dari kakaknya sendiri , Abd al-Qadir ibn Ahmad, yang menggantikan ayahnya mengajar di zawiyah.
Dengan kesederhanaan hidupnya as-Sya’rani memiliki motivasi dalam dirinya untuk senantiasa belajar dan berupaya hidup mandiri sehingga mendorongnya meninggalkan kampung halaman dan menuju Kairo. Kemudian Ia diperbolehkan tinggal di massjid jami’ Sayyid Abu al-Abbas al-Ghamri bersama keluarga syekh dan mengajar dimasjid itu. Ketertarikan syekh Abu abbas terhadap as-Sya’rani membuatnya diangkat sebagai anak sendiri bagi Abu Abbas. Tanpa pamrih mereka membesarkannya dan membiayainya belajar sampai umur tujuh belas tahun.
Setelah umur tujuh belas tahun as-Sya’rani pindah ke Madrasah Umm Khund. Disini kepiawaian dan kecerdasannya semakin cemerlang. Pengetahuan yang luas telah membawa keharuman namannya dalam berbagai bidang ilmu keagamaan, sehingga ia dikenal sebagai seorang ulama yang didatangi oleh para siswa untuk menimba ilmu.
Kendati dapat mengenyam berbagai kemewahan duniawi, jiwa as-Sya’rani senantiasa terpanggil untuk hidup dalam suasana kesederhanaan. Sebab itu ia bergabung dengan sejumlah syaikh sufi untuk mendapatkan kasyf (ketersingkapan batin). Dalam pencarian ruhani itu, al-Sya’rani bertemu dengan seseorang yang dikatakannya sebagai orang yang telah membimbingnya. Gurunya itu adalah seorang tunanetra yang ummi (buta aksara), Ali al-Khawwas (w. 938 H/ 1532 M).
Ali al-Khawwas, pembimbing ruhani al-sya’rai, adalah seorang penganut tarekat Syadziliyah. Karena itu, perjalanan ruhani al-Sya’rani tidak dapat dipisahkan dari tradisi Syadziliyah. Selain banyak mendapatkan bimbingan ruhani dari Ali al-Khawwas, al-Sya’rani juga mendapat bimbingan ruhani dari sufi lain yaitu Muhammad al-Syinnawi. Selain itu al-Sya’rani menerima inisiasi (pengajaran) tarekat-tarekat Suhrawardiyah. Dia enjelaskan silsilah tarekat yang diterimanya ini secara detail dalam karyanya al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifat Qawa’id al-Sufiyyah.
III. Pengalaman Ruhani
Sebagai seorang sufi yang telah mencapai peringkat wali, al-Sya’rani memiliki pengalaman ruhani yang amat kaya. Diceritakannya sendiri, suatu pengalaman batinnya (melalui mimpi). “Biasanya aku mengeluarkan zakat sebelum habis puasa, namun kebiasaan itu tak terlaksana karena aku tak memiliki barang-barang duniawi pada malam Idul Fitri dan juga hari berikutnya, segala yang telah dikaruniakan Allah kepadaku telah kunafkahkan kepada fakir-miskin yang tinggal bersamaku. Pada 955 H (1548 M) aku pernah melihat diriku berada di sebuah gurun bersama orang-orang beriman. Aku melihat sesuatu yang mirip dengan bantal sebesar buah semangka terhantar di depan kami. Lalu ku lihat seseorang diantara kami melemparkan benda itu kearah atas, namun jatuh lagi ke tanah. Aku menanyakan kepada malaikat yang menyaksikan tindakan kami. Malaikat itu mengatakan  bahwa benda itu adalah puasa Ramadhan yang telah kami lakukan. Selain pengalaman ruhani diatas, beliaupun sering melakukan ziarah ke kuburan orang-orang saleh, antara lain kuburan Syaikh Abu al-Abbas al-Mursi, yang dikunjunginya ssetiap hari sabtu, begitu juga kuburan umum al-Qarafah, yang di ziarahinya setiap pekan. Disebut-sebut bahwa dia memiliki kemampuan ruhani untuk berdialog dengan ruh-ruh orang-orang yang meninggal dunia dan Dia juga memiliki kemampuan spiritual untuk berdialog dengan jin.
Asy-Sya’rani meyakini bahwa kemampuan luar biasa yang dimilikinya itu adalah karuia Allah semata. Ketika berbicara tentang karamah (keramat) para wali, al-Sya’rani menganggap bahwa kejadian luar biasa pada orang-orang saleh merupakan karunia Ilahi kepada mereka, sebagai tanda bahwa mereka adalah wali Allah yang disayangi-Nya. Kejadian terssebt tidak dapat dicari dan ditransfer kepada orang lain. Para wali hanya bisa mentransfer barakah (berkah) kepada orang lain. Cerita-cerita luar biasa yang dialami al-Sya’rani seperti itu banyak dipaparkannya dalam karya otobiografisnya, “Lataif al-Minan”.
IV. Karya-Karyanya
1.      Al-Jawahir wa al-Durar al-Kubra (Mutiara-mutiara dan Permata-permata agung)
2.      Al-Yawaqit wa al-Jawahir fi Aqa’id al-Akabir (Permata-permata Yakut dan Mutiara-mutiara tentang Akidah-akidah para ulama Besar [kalangan sufi])
3.      Al-Tabaqat al-Kubra (peringkat-peringkat atau generasi-generasi yang Agung) atau disebut juga Lawaqih al-Anwar fi Tabaqat al-Akhyar (kilatan-kilatan Cahaya tentang Peringkat-peringkat atau generasi-generasi Orang-orang Terpilih)
4.      Al-anwar al-qudsiyyah fi ma’rifat qawa’id al sufiyyah (cahaya-cahaya kudus dalam hal mengenal kaidah-kaidah para sufi).
5.      Lawaqih al-Anwar al-Qudsiyyah fi Bayan al-Uhud al-muhammadiyyah (kilatan-kilatan kudus dalam meenjelaskan jani-janji (pesan-pesan) Muhammad.
6.      Al-Kibrit al-Ahmar fi Uluww al-Syaikh al-Akbar (belerang Merah (pemaparan) tentang kemuliaan Syaikh al-Akbar [ibnu Arabi].
7.      Al-Qawa’id al-Kasfiyyah fi al-Illahiyyah (kaidah-kaidah Ketersingkapan tetang sifat-sifat Ketuhanan
8.      Masyariq al-Anwar al-Qudsiyah fi Bayan al-Uhud al-muhammadiyyah (pancaran cahaya-cahaya kudus tentang penjelasan janji-janji [pesan-pesan] Muhammad).
9.      Madarik al-safilin ila Rusum Tariq al-arifin  (alur pengetahuan kelas rendah munuju sketsa Jalan orang-orang Arif)
10.  Lata’if al-Minan  (kelembutan-kelembutan karunia)
11.  Mizan al-Kubra (Neraca Yang Agung). dlls
V. Silsilah Imam Al Sya’rânî
لفن
NABI MUHAMMAD SAW
لفن
ALI BIN ABI THALIB
لفن
HASAN AL BASRI
لفن
HABIB AL ‘AJAMI
لفن
DAWUD AT THAI


لفن
MA’RUF AL KURKHI

لفن
SIRRI SAQTHI

لفن
QASIM AL JUNAIDI


QADI  RUWAIM (( الفاض رويم
لفن

MUHAMMAD IBN KHAFIF ASY SYAIRAZI
لفن

لفن
ABIL ‘ABBAS AN NAHAWANDI


لفن
FARIJ AL ZANJANI


لفن
AL QQDHI AL WAJIHUDDIN
لفن
ABU AN NAJIB AL SUHRAWARDI
لفن
SYIHABBUDDIN AL SUHRAWARDI
لفن
SYAIKH NAJIBUDDIN BARGHUSY ASY SYAIRAZI
لفن
SYAIKH ABDUS SHOMAD AL NATHTARI
لفن

SYAIKH HASAN AL SYAMSIRI
لفن

SYAIKH NAJIMUDDIN
لفن
MAHMUD AL ASHFAHANI
لفن
YUSUF AL ‘AJAMI AL KURANI
لفن

SYAIKH HASAN AL TASTIRI
لفن


AHMAD BIN SULAIMAN AL ZAHIDI
لفن

YAIKH MUDIN ( (الشيخ مدين
لفن

SYAIKH MUHAMMAD (KEPONAKAN (الشيخ مدين
لفن
MUHAMMAD SARWI DAN SYAIKH ‘ALI AL MURSHOFI


‘ABDUL WAHHAB BIN AHMAD AYS SYA’RANI

VI. Pokok Pemikiran
1.      Tasawuf adalah suatu perjalanan hidup yang diatur oleh al-Qur’an dan al-Sunnah, perilaku sufi adalah perilaku para nabi dan orang-orang suci dan hal iu tidak akan tercela selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-sunnah, maka terserah kepada orang-orang islam untuk melakukanya. Ajaran tasawuf bukan sesuatu yang wajib di ikuti, melainkan hanya utuk memperindah perjalanan hidup.
2.      Tasawuf adalah ilmu yang terbit dari hati para wali tatkala memancari dan mantul dari tingkah laku mengamalkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Setiap amal daripadaya memancar sinar-sinar ilmu, akhlak dan rahasia-rahasia yang sulit diuraikan dengan kata-kata.
3.      Bagi orang orang yang mempelajari tasawuf, mereka harus hati-hati dan menghindari mempergunakan kata-kata yang terdapat dalam kitab suci tertentu seperti: “ruhku bersatu dengan roh-Nya,” “apa yang ada ini adalah Allah,” Allah ada di dalam hati sufi, penggunaan kata-kata semisal ini dilarang untuk umum.[7]
Dalam kitab al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifat Qawa’id al-Sufiyyah (cahaya-cahaya kudus dalam hal mengenal kaidah-kaidah para sufi). Dalam salah satu babnya ia menulis sebuah kaidah-kaidah jala menuju tasawuf  dan bab yang menjelaskan bahwa wali Allah itu hidup di dalaam kuburnya[8]. Namun dalam kitab al-mizanul kubra kitab yang membahas perbandingan mazhab dan pertimbangan hukum islam, ia dalam mukadimahnya mengatakan,                  
            “para pengkaji syariat juga telah sepakat bahwa seseorag tidaklah di sebuah ‘alim (‘ulama) kecuali jika ia menghindari pertentangan berbagai pendapat para ulama dan mengetahui bahwa para ‘ulama itu mengambil dasar dan hadis, bukan karena menentang pendapat Ulama sebab kebodohan dan kebenciannya[9].
Dalam kitab ini, juga ada satu pasal yang menjelaskan tetang mungkinkah berbagai  mazhab itu di padukan?, ia menjawab dengan jawaban Imam muhammad bin malik yang mengatakan jika ilmu itu pemberian dari Allah daan bersifat ladunni, maka tidak mungkin Allah mennyembunyikannya lagi bagi generasi selanjutnya[10]. Itu artinya memadukan berbagai mazhab itu bisa dan mungkin akan terjadi di suatu saat.
kaidah-kaidah menuju jalan tasawuf dalam kitab al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifat Qawa’id al-Sufiyyah jilid I
1.      Adab murid terhadap Syaikh
2.      Pilar-pilar menuju jalan tasawuf
3.      Menjaga diri
4.      Taubat yang benar
5.      Bagaimana dalam memilih gurunya. Dan masih ada yang lain
Dan jilid II
1.      Adab murid terhadap syaikh
2.      Kelembutan cinta
3.      Tidak sah memasuki jalan sufi sebelum bertaubat
4.      Sifat-sifat orang yang mencintai
5.      Bahasa orang yang asyik (mabuk cinta)
6.      Sufi yang benar
Namun yang kami tekankan adalah mengenai pilar-pilar menuju tasawuf menurutnya rukun-rukun jalan menuju tasawuf ada empat yaitu: lapar, Kontenplasi (Renungan), menahan lapar, dan sedikit berbicara. Dan rukun-rukun yang lain akan mengikuti, jika kita melakukan salah satu rukun rukun tersebut. Jadi rukun-rukun tersebut tidak terasa berat jika kita ingin melakukannya. Dan dalam buku yang sama jilid II ia memberikan tambahan yakni tidak sah memasuki jalan sufi sebelum bertaubat[11].




[1] Azyumardi azra 31
[2] Ensiklopedia akidah 169
[3] Azyumardi azra
[4]Azyumardi azra 31
[5] http://al-ishlah.com/?p=440 diakses pada tanggal 15 april 2012

[6]Hasil penelitian sri mulyati dan wiwi st.  FU uin jakarta
[7] Sri mulyat 97
[8] al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifat Qawa’id al-Sufiyyah, 98
[9]  Almizanu kubra h 2
[10]ibid 40
[11] Sri Mulyati 100-101

0 komentar:

Posting Komentar