Minggu, 17 Juni 2012


1. Pendahuluan
Berbicara mengenai iman dan kufur terlebih dahulu kami akan memulainya dengan sebuah pertanyaan, yakni: apa kita harus mengetahui ajaran-ajaran yang disampaikan oleh para mutakalim?.Kenapa kami mulai dengan sebuah pertanyaan yaitu karena dengan pertanyaan semacam ini kita bisa tahu hal-hal yang menjadikan seseorang beriman dan menjadikan seseorang kufur berdasarkan kelompok mana yang kita ikuti. Jangan sampai kita mengikuti sebuah kelompok tapi kita tidak tahu landasan kelompok itu.
Kita semua sudah tahu apa yang membuat pemahaman-pemahaman seputar teologi itu berbeda-beda, sedikit mengulang perbedaan ini terjadi atau dimulai pada permasalahan politik yang akhirnya berkembang dan berpindah ke permasalahan teologi.. Kenapa demikian, pada dasarnya Iman dan kufur adalah permasalahan pertama dalam pembahasan ilmu kalam atau teologi, seharusnya pula kita bahas di awal perkuliahan. Ini dimulai saat Khawarij menuduh sejumlah sahabat nabi sebagai orang kafir, diantaranya: Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin sufyan, abu Musa al-Asya’ari, Amr bin al-Ash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah[1]. Tentunya nama-nama yang kami sebutkan tidak asing lagi dalam pembahasan teologi. Setalah itu dikembangkan dengan menyebut orang yang berdosa besar adalah kafir. Dalam pembahasan iman dan kufur ini ada 4 kelompok yang akan kami bahas yakni: Khawarij, Murji’ah, Mutazilah, dan Asy’ariyah.
2. Iman dan Kufur
            Perkataan iman yang berarti 'membenarkan' itu disebutkan dalam al-Quran, di antaranya dalam Surah At-Taubah ayat 62 yang bermaksud: "Dia (Muhammad) itu membenarkan (mempercayai) kepada Allah dan membenarkan kepada para orang yang beriman." Iman itu ditujukan kepada Allah , kitab-kitab dan Rasul. Iman itu ada dua Iman Hak dan Iman Batil. Definisi Iman berdasarkan hadist merupakan tambatan hati yang diucapkan dan dilakukan merupakan satu kesatuan. Iman memiliki prinsip dasar segala isi hati, ucapan dan perbuatan sama dalam satu keyakinan, maka orang - orang beriman adalah mereka yang di dalam hatinya, disetiap ucapannya dan segala tindakanya sama, maka orang beriman dapat juga disebut dengan orang yang jujur atau orang yang memiliki prinsip. atau juga pandangan dan sikap hidup.
Para imam dan ulama telah mendefinisikan istilah iman ini, antara lain, seperti diucapkan oleh Imam Ali bin Abi Talib: "Iman itu ucapan dengan lidah dan kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan dengan anggota." Aisyah r.a. berkata: "Iman kepada Allah itu mengakui dengan lisan dan membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota." Imam al-Ghazali menguraikan makna iman: "Pengakuan dengan lidah (lisan) membenarkan pengakuan itu dengan hati dan mengamalkannya dengan rukun-rukun (anggota-anggota)."[2] Sedangkan Kekafiran atau kufur dalam bahasa Arab asalnya berarti penutup. Adapun dalam istilah syariat berarti lawan dari iman[3].
Ada empat istilah dasar yang biasanya digunakan oleh para mutakallimin dalam pembahasan iman dan kufur, yang disampaikan oleh Hassan Hanafi, yakni:
1.      Ma’raifat bi Al-Aql, ( mengetahui dengan akal).
2.      Amal, perbuatan baik dan patuh
3.      Iqrar, pengakuan secara lisan, dan
4.      Tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula di dalamnya Ma’rifat bi al-Aql (mengatahui dengan hati)[4]
3. Perbandingan Antaraliran: Iman Dan Kufur
a. Khawarij
            khawarij dalam memandang iman tidak seperti pada umumnya, tidak semata-mata percaya kepada Allah. Namun dengan mengerjakan segala perintah kewajiban juga merupakan bagian dari keimanan. Karena dalam al-Qur’an juga terdapat penjelasan tentang kekusaan bahwa kita harus mengikuti perintah dari kepala pemerintahan, untuk itu khawarij juga memandang bahwa masalah kekuasaan juga masuk dalam bagian dari keimanan (al-amal juz’iman al-iman). Dari sini khawarij mengambil sebuah kesimpulan bahwa orang menyatakan percaya atau beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasulnya tetapi tidak menjalankan perintahnya tetapi menjalankan dosa, maka khwarij memasukan orang yang seperti ini kedalam orang yang kafir[5].
Dalam khawarij terdapat 8 sekte yang di dalamnya memiliki perbedaan yang mendasar dalam menerangkan iman dan kufur dalam pembagian sekte terdapat perbedaan ada yang mengatakan ada 20 dan 8 sekte dalam khawarij, tapi disini kami hanya memasukan 3 sekte saja. Menurut kami ketiga sekte ini yang cukup menarik untuk dibahas, diantaranya:
a). Al-Muhakkimah
            sekte ini adalah sekte yang asli artinya sebelum terpecahnya khawarij menjadi banyak sekte yakni sekte yang memisahkan diri dari Ali bin Abi thalin setelah peristiwa tahkim. Pemimpin dalam sekte ini adalah Abdullah ibn Kawa dan Urwah Ibn Jarir. Sekte ini berbependapat bahwa Muawiyah dan Ali atau orang yang terlibat dalam persetujuan arbitrase, mereka adalah orang-orang yang salah dan telah menjadi kafir. Dalam penjelasan selanjutnya mereka juga menyebut bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir.[6]
Contohnya: orang yang berzina adalah orang melakukan dosa besar menurut sekte ini mereka telah menjadi kafir dan keluar dari agama islam, begitu juga dengan pelaku pembunuhan maka ia menjadi kafir dan keluar dari Islam[7]. Itu artinya orang yang melakukan dosa besar adalah kafir dan keluar dari Islam.
b). Al-Zariqah
            Dalam sekte lebih ekstrim dari sekte yang pertama mereka tidak lagi menyebut pelaku dosa besar sebagi kafir tapi yakni dengan menyebut mereka sebagai musyrik. Musyrik adalah dosa besar yang sudah tidak bisa diampuni lagi dalam Islam. Namun kata musyrik ini juga digunakan untuk menyebut orang yang tidak sepaham dengan mereka. Tokoh dalam sekte ini adalah Nafi’ Ibn al-Zaraq[8]. Bahkan dalam keterangan selanjutnya mereka mengatakan musyrik bagi orang berada di luar daerah mereka, dengan menyebut daerah tersebut dengam kata dar al-kufr.[9] Lebih lanjut mereka membolehkan membunuh anak-anak dan istri-istri yang bukam zariqah.[10]
c).  al-ibadiyah
            dalam sekte ini mereka membagi kafir menjadi dua macam yakni kafir nikmat dan kafir  dalam akidah. Dalam sekte ini menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, tidaklah musyrik tidak mu’min. tapi mereka menyebutnya dengan kafir nikmat. Dan kafir nikmat ini darahnya haram untuk ditumpahkan, dan daerahnya disebut Dar al-tauhid. Meraka membolehkan berhungan dengan mereka dan melakukan perkawinan dan warisan.[11] Kecuali menghukumi seseorang kafir ketika orang itu benar-benar melakukan menyimpang dari dasar dan pokok islam.[12]
b. Murji’ah
            Sama dengan khawarij murji’ah juga memiliki pandangan tersendiri terhadap permasalahan iman dan kufur. Dalam murji’ah tidak menyebut para pelaku dosa besar sebagai kafir, mereka masih menganggap mereka mukmin. Iman dalam kelompok ini diartikan “ma’rifat kepada Allah dan kepada Rasuln-Nya, mereka ridak memasukan amal dalam bagian dari iman. Prinsip mereka adalah “perbuatan maksiat ridak akan membahayakan iman seseorang, sebagaiman perbuatan taat yang dilakukan oleh orang kafir tidak akan memberikan manfaat (dampak positif). Dari prinsip ini mereka tidak akan menyebut pelaku dosa besar sabagai kafir selama mereka masih menganut agama Islam dan mengucapkan kalimah syahadah. Tapi murji’ah menagguhkan permasalahan kafir ini kepada Allah Swt.[13]
            Dalam murji’ah terdapat dua sekte yakni sekte moderat dan sekte ekstrim, sekte moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan tidak masuk neraka sama sakali.[14] Kedua adalah sekte ekstrim dalam sekte ini menyatakan bahwa letak keimanan adalah dalam hati, itu artinya jika ada seseorang yang lisan menyatakan kufur tapi hatinya masih beriman makan tidaklah orang ini disebut kafir. Harun Nasution dalam teologi islamnya memeberikan contoh; jika ada seseorang dalam prakteknya melakukan penyembahan berhala, menjalankan ajaran-ajaran Kristen atau yahudi[15], namun hatinya tetap menyakini Allah dan beriman maka tidaklah bisa kita menyebut mereka sebagai kafir baik kafir nikmat ataupun kafir akidah dalam khawarij.
c. Mu’tazilah
Mu’tazilah  memberikan nuansa baru dalam permasalahan iman dan kufur ini, yakni mu’tazilah menambahkan kata fasiq dalam pembahasan oman dan kufur. Lebih tepatnya mu’tazilah tidak menyebut pelaku dosa besar itu kafir atau iman tetapi di antara keduanya (manzilah al-manzilatain), mu’tazilah menyebutnya sebagai fasiq. Dan orang fasiq berhak masuk neraka karena kefasiqkannya, dan aka kekal dalam neraka itu. Masalah manzilah al-manzilatain menjadi dasar dari ajaran mu’tazilah. Ada yang mengatakan bahwa dasar mu’tazilah mengambil jala tengah ini diambil dari : 1. Ayat-ayat al-qur’an dan hadis yang menganjurkan untuk mengambil jalan tengah dalam segala sesuatu, 2. Pikiran-pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan (fadhilah :virtue) ialah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan, 3. Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat di antara baik dan buruk.[16]
d. Asy’ariyah
            sebagai reaksi terhadap mu’tazilah, asy’ariyah pun tidak luput dari pembahasan mengenai iman dan kufur, namun yang menjadi permasalahan nampaknya ada sedikit kerancuan dalam asy’ariyah ini. Ia memberikan pengertian yang berbeda dalam tiga karyanya, yakni dalam kitab Maqalat dan al-Ibanah iman adalaha qawl dan amal dapat bertambah dan berkurang. Berbeda ketika dalam kitab yang ketiga, dalam kitab al-Luma,iman diartikan sebagai Tashdiq Bi Allah. Dalam kitab yang ketiga ini asy’ariyah memberikan argumentasi bahwa dalam al-qur’an surat yusuf ayat 7, kata mukmin itu memilki hubungan dengan sadiqin,. Oleh sebab itu dalam kitan yang ketiganya asyariyah mengartikan iman dengan tashqid bi al-qalbhi (membenarkan dengan hati).
            Dari penjelasan ini mungkin tidak ada kejelasan mengenai iman dan kufur, untuk memperjelasnya salah satu pengikut asyariyah yakni asy-syarastani menulis:
“al-asyari berkata, “……….Iman (secara esensial) adalah tashdiq bi al-janan (membenarkan dalam hati), sedangkan mengatakan dengan lisan (qawl) dan melakukan kewajiban utama (amal ni al-arkan) hanyalah merupakan furu’ (cabang-cabang_ iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa darinya, ima orang semacam itu merpakan iman yang shaleh……dan keimana seseorang tidak akan hilang kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.”[17]
Dari kutipan di atas nampaknya syarastani ingin menyelaraskan pengertian iman dalam ketiga kitab yang ditulis oleh asy-‘ariyah dalam satu titik, dan menempatkan ketiga unsur iman (tashdiq, qawl dan amal) kepada tempatnya masing-masing. Kesimpulannya bahwa asy’ari dan asy’ariyah persyaratan minimal dalam keimanan adalah tashdiq, tashdiq secara mudahnya adlah syahadatain. Itu artinya adanya kesamaan antara ays;’ariyah dengan murji’ah dalam memandang sebuah keimanan.
Kesimpulan
            Berangkat dari pertanyaan kami di atas tepatya dalam pendahuluan bisa diambil kesimpulan bahwa kita setidaknya harus mengetahui apa yang diajarkan dalam kelompok atau aliran yang kita anut baik itu fikih, akidah, atau apapun jangan sampai kita mengikuti secara membabi buta tanpa mengetahui ajaran apa yang diajarkan dalam kelompok itu. Hal semacam ini sering kita jumpai dalam kehiupan sehari-hari bahkan kalau boleh jujur mungkin diantara kita pada umumya dan kami pada khususnya tidak atau belum tahu ajaran apa yang terkandung dala kelompok atau aliran yang kita ikuti selama ini.



Daftar Pustaka
Abd Mu’in, Taib Thahir. Ilmu Kalam,cet. Ke 8. Jakarta: PT.Bumirestu, 1986
Hanafi, Ahmad. Teologi Islam. cet ke 13. Jakarta: Bulan Bintang, 2010
Khalimi. Pengantar Teologi Islam: Aliran, Tokoh, dan perbadingan Tematik. Jakarta
Nasution, Harun Teologi Islam: Aliran Sejaran Analisa Perbandingan. cet. Ke 5. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986
Rozak, Abdur dan Anwar, Rosihan.  Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011
Suaid, Qomar. Kufur, diakses dari http://asysyariah.com/kufur.html


[1] Abdur Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 141
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Iman, diakses pada tanggal 28-04-2012
[3] Al-Ustadz Qomar Suaid, kufur, diakses dari http://asysyariah.com/kufur.html pada tanggal 28-04-2012
[4] Sama dengan yang dikutip oleh Abdur Rozak dan Rosihan Anwar, h. 142  dari Abu Hassan Al-Asyari, maqalat Al-Islamiyah wa ikhtilaf Al-Mushallin, Wiesbaden Franz Steiner Verlag CBHN, 1963, cet 11, h. 85
[5] Abdur Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAI, h. 142
[6] Abdur Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAI, h. 143
[6] Khalimi, Pengantar teologi Islam: Aliran, Tokoh, dan perbadingan Tematik, Jakarta, h. 15
[7] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejaran Analisa Perbandingan, cet. Ke 5 (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press, 1986), h. 16
[8]  Khalimi, Pengantar teologi Islam: Aliran, Tokoh, dan perbadingan Tematik, h. 15-16
[9] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejaran Analisa Perbandinga, h. 17
[10] Taib Thahir Abd Mu’in, Ilmu Kalam,cet. Ke 8 (Jakarta: Pt. Bumirestu, 1986), h. 99
[11] Khalimi, Pengantar teologi Islam: Aliran, Tokoh, dan perbadingan Tematik, h. 19
[12] Taib Thahir Abd Mu’in, Ilmu Kalam,cet. Ke 8 (Jakarta: Pt. Bumirestu, 1986), h. 99
[13] Taib Thahir Abd Mu’in, Ilmu Kalam,cet. Ke 8 (Jakarta: Pt. Bumirestu, 1986), h. 100
[14] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejaran Analisa Perbandinga, h. 26

[15] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejaran Analisa Perbandinga, h. 28
[16] Ahmad hanafi, teologi Islam, cet ke 13 ( Jakarta: Bulan Bintang, 2010), h. 49
[17] Sama dengan yang dikutip oleh Abdur Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAI, h. 149 dari asy-syarastani, al Milal wan Nihal, al dar fikr : bairut, t.t, h. 101

0 komentar:

Posting Komentar