Rabu, 11 Januari 2012

1. Pendahuluan
            Allah menganugerahkan sebuah akal kepada manusia yang menjadikan manusia lebih istemewa dari makhluk yang lain. Dan sudah menjadi sifat bagi akal untuk selalu berfikir dan selalu ingin tahu pada hal-hal baru di sekitarnya  termasuk dirinya sendiri. Dan menjadi pengetahuan baru bagi dirinya, oleh karenanya pengetahuan bukanlah di bawa sejak lahir melainkan melalui kerja aktif akal itu sendiri. Pengetahuan ada dua bentuk: pertama, pengetahuan yang di peroleh bukan berdasarkan usaha aktif dari manusia yakni melalui wahyu, kedua, pengetahuan yang diperoleh dari usaha aktif manusia melalui akal.
            Dalam makalah ini mencoba menerangkan pengetahuan dari seorang tokoh islam yang mempergunakan akal untuk memperoleh pengetahuannya. Yakni al-kindi selaku tokoh filsafat islam yang pertama yang mencoba menggali penghetahuan dari akalnya. Al-kindi Dalam filsafatnya  melahirkan sebuah pandanganp-pandangan mengenai tuhan, jiwa dan Alam. Namun jika makalah ini kurang atau tidak mengenai sasarannaya harap dimengerti.
2. Riwayat Hidup Al-Kindi
Nama lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya`qub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn Imran ibn Isma`il ibn Muhammad ibn al-Asy’ath ibn Qais al-Kindi. Seorang tokoh filsafat islam bisa dikatakan merupakan filsuf pertama yang lahir dari kalangan Islam. Semasa hidupnya, selain bisa berbahasa Arab, ia juga mahir berbahasa Yunani.[1] Gelar al-kindi dinisbatkan pada kata Kindah[2] yakni suatu kabilah yang terkemuka pra-Islam yang merupakan Bani kahlan yang menetap di Yaman.[3]
            Al-Kindi lahir di Kuffah sekitar tahun 185 H (801 H) dari kelurga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya salah satu sahabat nabi yang gugur sebagai Syuhada’ pada perang melawan persia di irak yang bernama Al-Asy’as ibnu Qais. Dan ayahnya, Ishaq ibnu Al-Shabbahalah Gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi (775-785 M) dan Al-rasyid (786-809 M).[4] Sedangkan Al-Kindi sendiri hidup di masa pemerintahan Daulah ‘Abbasiyah, yaitu Al-Amin (809-833M.), Al-Mu’tashim (833-842 M), Al-wathiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M).[5] Pada pemerintahan daulah Abbasiyah Al-Kindi berkembang didukung oleh minat khalifah yang ingin belajar ilmu pengetahuan dan filsafat. Al-Kindi juga mendapatkan kedudukan yang terhormat sebagai guru bagi Ahmad putra Al-Mutasim.[6]
            Al-Kindi dipandang sebagai filosof bangsa Arab yang pertama, tidak hanya karena sebagai pecinta kearifan yang pertama, di antara rekan sebangsanya, tetapi juga karena metode, sikap dan penjajaganya pada bidang-bidang penyelidikan yang baru. Dari pendekatannya pada hal-hal baru inilah yang memberinya gelar Failasuf.[7]  karena apa yang ia perkenalkna dalam bidang filsafat murni, sebenarnya hanya sedikit mengundang ide-ide asli dari dirinya, sekalipun ia memilki pemikiran bebas.[8] Ia layak dijajarkan dengan filosof-filosof Muslin non-Arab. Dan sumbangan Al-kindi yang sangat berharga dalam filsafat Islam ialah usahanya untuk membuka jalan dan menjawab rasa enggan dari umat islam lainnya untuk menerima filsafat, yang terasa asing pada saat itu.[9]
            Al Kindi menuliskan banyak karya dalam berbagai bidang, geometri, astronomi, astrologi, aritmatika, musik(yang dibangunnya dari berbagai prinip aritmatis), fisika, medis, psikologi, meteorologi, dan politik.[10] Tetapi, di antara sekian banyak ilmu, ia sangat menghargai matematika. Hal ini disebabkan karena matematika, bagi al-Kindi, adalah mukaddimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Mukaddimah ini begitu penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai keahlian dalam filsafat tanpa terlebih dulu menguasai matematika. Matematika di sini meliputi ilmu tentang bilangan, harmoni, geometri dan astronomi. Yang paling utama dari seluruh cakupan matematika di sini adalah ilmu bilangan atau aritmatika karena jika bilangan tidak ada, maka tidak akan ada sesuatu apapun. Di sini kita bisa melihat samar-samar pengaruh filsafat Pitagoras.[11]
            Menurut al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu. Ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan manusia. Karena itu, al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat mengatasi problem semisal mukjizat, surga, neraka, dan kehidupan akhirat. Dalam semangat ini pula, al-Kindi mempertahankan penciptaan dunia ex nihilio, kebangkitan jasmani, mukjizat, keabsahan wahyu, dan kelahiran dan kehancuran dunia oleh Tuhan.[12]
            Dalam karyanya tentang Filsafat Pertama, Al-Kindi mengatakan: “Yang paling luhur dan paling mulia di antara segala seni manusia adalah seni filsafat, yang digambarkan sebagai pengetahuan tentang segala hal, sejauh batas kemampuan manusia. Tujuan Filosof adalah untuk samapi pada kebenaran, dan tujuan dari tidakannya adalah berbuat yang sesuai dengan kebnenaran.[13]
            Al Kindi mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis, yang kemudian diselesaikan oleh Ibnu Sina (Avicenna) seabad kemudian. Ia juga tokoh pertama yang berhadapan dengan berbagai aksi kejam dan penyiksaan yang dilancarkan oleh para bangsawan religius-ortodoks terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid'ah, dan dalam keadaan yang sedemikian tragis (terhadap para pemikir besar Islam) al Kindi dapat membebaskan diri dari upaya kejam para bangsawan ortodoks itu.[14]
            Mengenai kapan Al-Kindi meninggal tidak terdapat satu keterangan pun yang pasti, untuk menentukan tahun wafatnya sama sulinya dengan menentukan kapan Al-kindi lahir dan siapa saja guru yang mendidiknya. Namun Mustafa ‘Abd Al-raziq mengatakan tahun wafatnya adalah 252 H, sedangkan Masignon menunjukkan tahun yang berbeda yakni 260 H, sementara itu Yaqut Al-Himawi mengatakan bahwa bahwa Al-kindi wafat sesudah usia 80 tahun.[15]
3. Filsafat Al-Kindi
            Membahas filsafat Al-kindi tentunya banyak hal yang perlu dipelajari namun dalam makalah ini pemakalah menerangkan secara global mengenai bagian metafisika, antropologi, dan etika.
1. Metafisika
            Metafisika adalah hakikat dari filsafat Muslim-Arab karena dalam bidang metafisika inilah filosof muslim banyak menyumbangkan ide-idenya. Tetapi sumber metafisika mereka yang utama adalah mengambil teori metafisika dari Plotinus, terutama tentang teori emanasinya. Berbeda dengan Al-kindi, ia lebih tertarik pada teori metafisika dari Aristoteles. Bagi Al-Kindi metafisika adalah “Ilmu pengetahuan tentang apa yang tidak bergerak:, atau ilmu pengetahuan tentang Illahiyah. Ia menggambarkan metafsika merupakan sesuatu yang termulia dan tertinggi dari segala macam filsafat,[16] Dalam metafisikanya Akindi menjelaskan tentang Wujud, dan Alam.
a. Tuhan
            untuk membuktikan eksistesi Tuhan Al-Kindi mengambil dari proses diciptakannya Alam, karena Alam diciptakan dalam waktu (Muhdats), ­maka Al-Kindi berpendapat bahwa alam mempunyai pencipta (Muhdits).[17] Tulisan Al-Kindi mengenai Tuhan antara lain Filsafat al-Ula dan Fi Wahdaniyyat Allah wa  TanahiJirm al-Alam. Dari tulisannya tersebut Al-Kindi menjelaskan bahwa Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari ketiadaan yang kemudian menjadi ada. Ia mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. Wujud-Nya tidak berkahir, sedangkan wujud yang lain dan disebabkna oleh wujud-Nya.[18]
            Ia juga membuktikan eksistensi tuhan berdasarkan dalil al-inyah[19] yakni dengan melihat susunan alam semesta dan adanya keserasian, keteraturan dan rancangan yang nampak jelas pada manusia di alam ini, menunjukkan adanya sang perancang, yang bertanggung jawab atas keserasian dan keteraturan alam yang begitu mengagumkan.
b. Alam
            Di dalam risalahnya yang berjudul al-ibanat ‘an al-‘illat al-Fa’ilat al-Qaribat fi kawn al-Fasat, pendapat al-kindi sejalan dengan Aristoteles bahwa benda di alam ini dapat dikatakan wujud yang aktual apabila terhimpun empat ‘illat, yakni:
  1. Al-Unshuriyyat (materi benda)
  2. Al-shuriyyat ( bentuk benda)
  3. Al-fa’ilat (pembuat benda)
  4. Al-Tamamiyyat (manfaat benda)[20]
Istilah alam (nature) digunakan dalam dua pengertian yang berbeda. Pertama, diartikan sebagai jumlah obyek-obyek fisik dan material. Apa pun yang material adalah alami (natural), kata al-Kindi. Dan pengertian kedua yakni alam yang berarti diam dan prinsip primer tentang gerak. [21]
2. Antropologi
Menurut Al-Kindi, jiwa itu sederhana tidak tersusun atau basithah, mulia, sempurna dan penting. Sebtansinya (jauhar) berasal dari subtansi Tuhan, seperti sinar berasal dari matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri dan lain dari badan. Sebagai bukti ini Al-Kindi mengemukakan bahwa kenyataan jiwa menentang keinginan nafsu yang berorientasi bagi kepentingan badan. Jika perlu sesuatu waktu marah mendorong  manusia untuk berbuat sesuatu, maka jiwa akan melarang dan mengontrolnya, seperti penunggang kuda yang hendak menerjang terjang. Jika nafsu syahwat muncul kepermukaan, maka jika akan berpikir bahwa ajakan syahwat itu salah dan membawa pada keerendahan, pada saat itu jiwa akan menentang dan melarangnya. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa itu lain dari nafsu yang dimiliki badan.
Selanjutnya, menurut Al-Kindi bahwa jikwa manusia itu memmpunyai tiga daya, yaitu daya berpikir (al-quwwah al-‘aqliyah), daya marah (al-quwwah al-ghadhabiyah), dan daya syahwat *al-quwwah al-syahwaniyah).[22] Daya berpikir itu disebut akal. Akal terdiri dati tiga tingkat : (1)  Akal yang masih bersifat potensial (al-quwwah); (2) Akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi akatual (Al-Fi’I); (3) Dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas (al-‘ql al-tsany), akal kedua. 
Menurut Al-Kindi, jiwa itu kekal dan tidak hancur bersama hancurnya badan. Jiwa tidak hancur karena subtansinya dari Tuhan. Ketika jiwa berada dalam badan, ia tidak boleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Baru setelah ia berpisah dengan badan, ia akan memperoleh kesenangan yang sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah berpisah dengan badan, jiwa pergi ke Alam Kebenaran atau Alam Akal (al-‘alam a- haq, al-‘alam al-aql) didalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Tempat inilah kebahagiaan abadi yang akan dirasakan pleh jiwa yang suci.[23]
3. etika[24]
            Al-kindi menganggap bahwa tujuan terakhir terletak pada hubungannya dengan moralitas, sedangkan tujuan filosof adalah untuk mengetahui kebenaran dan kemudian berbuat sesuai dengan kebenaran tersebut.[25] Dan tujuan ilmu pengetahuan etika sendiri adalah untuk memperoleh kebajikan dan menghindari keburukan. Karena pada dasarnya pengetahuan tidak hanya untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan, tetapi turut membantu memelihara kemurnian jiwa yang merupakan satu-satunya cara untuk menyatukan kedua hal tersebut.[26]
            Namun yang menjadi menaraik pada etika al-kindi bahwa karena sifat alaminya manusia maka mereka cenderung untuk melakukan kebaikan. Lebih lanjut Al-Kindi mengatakan bahwa pada hakekatnya dalam pikiran  manusia itu terdapat sifat ke illahiyan, maka manusia dinilianya akan cenderung pada kebaikan, sedangkan keburukan itu bertolak belakang dari sifat manusia. Dengan mengatakan “Apa yang benar adalah sifat sejati manusia, sedangkan apa yang buruk hanyalah suatu aksiden”.[27] Keburukan itu berasal dari nafsu yang didorong oleh nalar.
3. kesimpulan
            Al-kindi adalah tokoh filsafat islam yang pertama yang menyumbangkan banyak ide-idenya pada rancah filsafat, seorang tokoh yang hidup pada zaman kekhalifaahan bani abbasiyyah yang mampu menari minat para khalifah untuk mempelajari ilmu pengetahuan terutama filsafat. Al-Kindi juga terlihat tidak menolak filsafat yang dibawa oleh zaman sebelumnya bahkan ia memasukkan teori mereka dalam ide barunya aristoteles, plotinus dan hellenistik yang mewarnai alam pikiran Al-Kindi. Namun tidak hanya tentang filsafat yang dipelajari oelh Al-Kindi melainkan banyak karyanya yang menerangkan cabang ilemu pengetahuan yang lain.











DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Haru. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1978
N. Atiyeh,George.  AL-KINDI Tokoh Filosof Muslim. terj. Kasidjo Djojosuwarno. Bandung: Penerbit Pustaka, 1983
Zar , Sijaruddin. Filsafat Islam (filosof dan filsafatnya). Jakart: PT RajaGrafindo Persada, 2010



           





[1]. http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Kindi, diakse pada tanggal 09 januari 2012
[2] Suku Kindah adalah Kahlani cabang Sabaean Kerajaan Marib (pusat Yaman ) pada awal abad ke-3. Mereka memainkan peran utama dalam Sabaean- Hadramite perang. Dengan kemenangan Sabaean, sebuah cabang dari Kindah didirikan sendiri di Hadramaut , dan mayoritas Kindah kembali ke tanah mereka ke timur Marib. Dari http://en.wikipedia.org/wiki/Kindah
[3] Sama dengan yang dikutip oleh Prof. Dr. H. Sijaruddin Zar, M.A dari Muhammad Syafiq Gharbal, al-Mausu^’at al-Arabiyyat al-Muyassarat, (Kairo: Dar al-qalam & Faklin Foundation, 1965), hlm. 1383
[4] Prof. Dr. H. Sijaruddin Zar, M.A, Filsafat Islam (filosof dan filsafatnya), (Jakart: PT RajaGrafindo Persada,2010), cet, 4, H. 37-38
[5].  George N, Atiyeh, AL-KINDI Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), h. 1
[6]. Prof. Dr. H. Sijaruddin Zar, M.A, Op. Cit, h. 40
[7].
[8]. Ibid, h. 9
[9]. Prof. Dr. H. Sijaruddin Zar, M.A, Op. Cit, h. 41
[10]. http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Kindi, di akses pada tanggal 09 januari 2012
[12]. Ibid.
[13].  Sama dengan yang dikutip oleh George N. Atiyeh dari M.A. Abu ridah dalam buku Al-Kindi, On First Philosphy, dalam Rasa’il al-Kindi al-Falsafyah, (Kairo: 1950-1953
[14].  http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Kindi, di akses pada tanggal 09 januari 2012
[15]. Sama dengan yang dikutip oleh Prof. Dr. H. Sijaruddin Zar, M.A dari M. M. Syarif, Alam Pikiran Islam, Peranan Umat Islamdalam Perkembangan Ilmu pengetahuan, (Bandung : diponegoro, 1997, cet. II, h. 81
[16] . George N, Atiyeh, Op. Cit.h.42
[17] . ibid, h. 55
[18]. Prof. Dr. H. Sijaruddin Zar, M.A, Op. Cit, h. 50 
[19]. George N, Atiyeh, Op. Ci, .h. 58
[20] . sama dengan yang di kutip Prof. Dr. H. Sijaruddin Zar, M.A, Op. Cit, h. 55 dari Muhammad ‘Athif Al-‘Iraqy,Tajdid fi al-Mazhab al-Falsafiyyat wa al-Kalamiyyat, (kairo: Dar Al-ma’arif, 1997), cet IV, h. 90-91
[21]. George N, Atiyeh, Op. Cit.h.79

[22] . Prof. Dr. H. Sijaruddin Zar, M.A, Op. Cit, h. 60
[23] . Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), h.19-20
[24]. Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis (practical philosophy).
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.[1] Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika.[Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika). Dari http://id.wikipedia.org/wiki/Etika

[25] . George N, Atiyeh, Op. Cit.h. 117
[26] . ibid, h. 118
[27] . ibid, h. 118