KONSEP KENABIAN AL-FĀRĀBĪ
Al-Fārābī, yang dikenal di dunia
barat dengan nama alpharabius adalah
orang pertama yang mengemukakan dan menngeluarkan statemen kenabian[1],
teori kenabian ini merupakan bagian tertinggi di dalam pandangan filosofisnya,
teorinya berlandaskan pada sendi-sendi jiwa dan metafisika bahkan amat
berhubungan dengan politik dan moral[2].
Ia mencoba
untuk mendamaikan dan
merujukkan antara agama dengan filsafat melalui jalan teori kenabiannya[3].
Jadi, dari konsep
kenabian mencoba dan berusaha
untuk merujukkan antara rasional dengan tradisional. Menurutnya ciri seorang Nabi adalah orang yang
mempunyai daya imajinasi yang sangat tinggi[4]
sehingga ia mampu berkomunikasi dengan aql fa’al, intelegensi agent atau akal kesepuluh
dalam teori emanasinya atau Malaikat Jibril[5] dalam penjelasan selanjutnya. Dari kemampuan
ini patutlah seorang Nabi berhak mendapat penghormatan dari para failosof
khususnya filosof Islam. Degan
demikian dapat dikatakan bahwa tidaklah sejajar seorang Nabi dan filsuf
tingkatannya, karena Nabi itu sudah tentu seorang filsuf namun filsuf belum
tentu seorang Nabi. Filsafat Al-Fārābīpun banyak yang berhubungan dengan teori
kenabiannya contoh dalam politiknya ia menginginkan seorang pemimpin itu mampu sampai ke derajat aql fa’al,[6] yakni
derajat para Nabi yang mampu menerima pesan dari intelegensi agent atau aql
fa’al tersebut.
Filsafat
kenabian Al-Fārābī terkait erat dengan hirarki daya-daya jiwa manusia,
menurutnya manusia mempunyai kemampuan pengindraan dan kemampuan pengindraan
manusia ini terbagi dalam lima tahap,
yakni pertumbuhan, pengindraan, bernafsu, berkhayal dan berfikir. Dan manusia
memperoleh sebuah pengatahuan
diperoleh dari daya pengindraan, berkhayal, dan berfikir. Daya
pengindraan merujuk pada daya internal dan berkhayal dan berfikir merujuk dari
daya eksternal. Menurut Al-Fārābī
manusia dapat mencapai derajat aql fa’al melalui dua cara yakni
dengan penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau intuisi ( wahyu)[7].
Cara yang pertama dapat di lakukan oleh pribadi-pribadi yang mampu
berfikir dan menembus alam materi, sedangkan cara yang kedua hanya bisa
dilakukan oleh Nabi. Tentunya
tidak semua jiwa mampu melakukan hubungan ini, tetapi yang mampu naik kepadanya
hanyalah jiwa-jiwa suci yang mampu menembus tabir-tabir ghaib dan mampu
mepersepsikan alam cahaya[8].
Sama dengan yang dikutip oleh Ibrahim Madkour dalam buku Al-Fārābī Al-Tsamroh
al-Mardliyyah.
“jiwa yang suci
tidak disibukkan oleh oleh arah bawah dari arah atas, indra luar tidak akan
menenggelamkan indra batinnya. Pengaruhnya bisa menjalar dari tubuhnya sampai
benda-benda alam dan apa yang ada didalamnya, serta ia menerima berbagai
pengetahuan dari Ruh dan Malaikat dengan tanpa melalui pendidikan dari
manusia”. [9]
Dari keterangan diatas juga bisa
disimpulkan bahwa pegetahuan seorang Nabi tidak lagi melalui pendidikan dari
manusia melainkan langsung dari Malaikat dengan Aql Fa’alnya. Dan ciri seorang Nabi dan sifat utama Nabi ialah ia
memiliki daya imajinasi yang sangat tinggi, yang melalui kemampuan ini Nabi bisa
berhubungan langsung dengan para malaikat dikala tidur maupun terjaga. Adapun
wahyu hanyalah sebagai hasil dari pancaran tuhan yang dibawa oleh malaikat dan
di sampaikan pada Nabi[10].
Agama yang dimaksud Al-Fārābī adalah agama samawi atau agama langit, yakni
agama yang membutuhkan seorang Nabi sebagai pembawa misi dari Tuhan untuk
menyampaikan dan diajarkan kepada manusia di muka bumi, menurutnya banyak orang yang mempunyai imajinasi kuat
tapi bukan seorang nabi, karena dia hanya bisa melakukannya disaat ia tidur, ia
pun tidak bisa menangkap apa maksud dari mimpinya dan tidak bisa berhubungan
dengan aql fa’al. Sedangkan orang
yang tidak bisa menerima di saat ia tidur maupun terjaga maka ia termasuk orang
yang mempunyai daya imajinasi lemah atau rendah[11].
Akibat
teori kenabian ini pada abad ke 3 H dan 4 H/ abad ke 9 dan 10 M terjadi gelombang
skeptisme pada orang-orang yang tidak percaya pada kenabian. Dan orang yang keras
menolak kenabian terutama menolak setiap upaya untuk merujukkan agama dan
filsafat adalah Muḥammad bin Zakariā Al-Razī, menurutnya fislafat adalah
satu-satunya jalan untuk memperbarui
pribadi kita dan masyarakat. Sedangkan agama hanyalah menjadi sumber konflik
dan perselisihan[12].
Dari sinilah Al-Fārābī mencoba untuk menarangkan kenabian secara rasional dan
menafsirkannya secara ilmiah. Ia menerangkan nya dengan dasar Aristoteles yang
di pekernalkan kepada dunia Arab. Walaupun Arsitoteles sendiripun menolak bahwa mimpi itu berasal dari
Tuhan dan menolak peramalan-peramalan yang dilakukan oleh para Nabi dari
mimpi-mipi tersebut. Jika itu terjadi banyak orang akan mengakui bahwa dirinya
bisa melihat masa depan melalui sebuah mimpi[13].
Al-Fārābī pertama berpendapat bahwa imajinasi jika telah
terlepas dari perbuatan-perbuatan diwaktu terjaga maka saat sedang tidur ia
mempergunakan sebagian fenomena psikologis. Kemudian ia menciptakan
ilustrasi-ilustrasi baru atau mengumpulkan ilustrasi-ilustrasi konsepsial yang
telah ada sebelum dalam berbagai bentuk, dengan cara meneruskan dan terpengaruh
oleh sebagian pencerapan inderawi dan perasaan jasmaniah atau emosi-emosi
psikologis dan persepsi-persepsi rasional. Karena imajinasi adalah salah satu potensi
kreatif yang mampu mencipta, mewujudkan serta mengilustrasikan dan membentuk,
mempunyai kemampuan besar untuk menirukan dan berimitasi, di samping ia
mengandung kesiapan besar bagi emosi dan daya untuk mempengaruhi[14].
Jika potensi imajinasi ada pada seseorang maka akan menjadi kekuatan yang
benar-benar sempurna. Jika kemampuan imajinasi sudah mencapai kesempurnaan maka
tidak bisa dihalanggi bahwa pada waktu terjaga ia bisa menerima
detalitas-detalitas masa sekarang dan masa yang akan datang dari aql fa’al atau
menirukannya melalui fakta-fakta empirik serta menerima imitasi akal yang tidak
ada pada benda dan wujud-wujud mulia yang lain bahkan melihatnnya, sehingga
bagaimana objek pemikiran (kategori) yang diterimanya menjadi kenabian paling
sempurna yang bisa dicapai oleh kekuatan imajinasi dan merupakan tingkatan
paling sempurna yang bisa dicapai oleh manusia melalui potensi imajinasi[15].
Teori
kenabian Al-Fārābī juga mempunyai pengaruh pada dunia barat dan timur. Pada abad
pertengahan pun banyak yang mengikuti teorinya contoh Ibnu Sina dan Ibn Rusd.
Dan ketika teori ini dikenalkan pada pemikir-pemikir Yahudi. Maimonides
mengambilnya dan menunjukan keminatannya pada teori kenabian Al-Fārābī. Dan di
gunakan pula oleh filosof Muslim modern seperti Jamal Al-din Afghani dan Muḥammad
Abduh. Perlu diketahui perbedaan
antara Nabi dengan filosof adalah untuk hubungan dengan aql fa’al, Nabi menggunkan imajinasi tinggi sedangkan filosof
menggunakan analisa dan study[16].
Daftar Pustaka
Dr. Ibrahim Madkour, Filsafat Islam (Metode dan Penerapa) ,(Jakarta:
PT Raja Gafindo Persada, 1968), h. 86
Otto Horrasowitz,
Welbaden. Para Folosof Muslim, Terj.
M.M. Syarif, M.A, (Bandung: Mizan, 1994). Cet. VII, h. 73
Dr.
Hasyimsyah Nasution, M.A. Filsafat Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), Cet. IV. H. 44
[1] Dr. Ibrahim Madkour, Filsafat Islam (Metode dan Penerapa) ,(Jakarta:
PT Raja Gafindo Persada, 1968), h. 86
[2] Otto Horrasowitz, Welbaden. Para Folosof Muslim, Terj. M.M. Syarif, M.A, (Bandung: Mizan,
1994). Cet. VII, h. 73
[4]. Dr. Hasyimsyah
Nasution, M.A. Filsafat Islam, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2005), Cet. IV. H. 44
[8]. Ibid, h. 91
[12] . sama dengan
yang dikutip oleh M.M.
Syarif, M.A, h. 76 dari Kraus et Piness, Encyc
de l’Islam, Vol. IV, h. 1136
[13]. sama dengan yang dikutip oleh M.M. Syarif, M.A, h. 77 dari Idem, La Divination, Vol. I, h. 2-3
0 komentar:
Posting Komentar