Jumat, 07 Juni 2013

Fungsi Agama Bagi Manusia; Suatu Pendekatan Filsafat



1. Data Buku/ Identitas Buku

Judul                 : Fungsi Agama Bagi Manusia; Suatu Pendekatan Filsafat
Penulis               : A.M. Romly
Penerbit             : PT. BINA RENA PARIWARA
Tahun Terbit      : cet. I 1999, cet. V 2003
Tempat Terbit    : Jakarta
Warna                : Biru
Harga                : -
Tmpt Perlehan   : Perpustkaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jumlah Hal        : 106 Halaman

Daftar IsiKata Pengantar, V
Kata Pengantar Cetakan kedua, viii
Kata Pengantar Cetakan Ketiga, ix
Kata Pengantar Cetakan Keempat, x
Kata Pengantar Cetakan Kelima, xi
1. Pendahuluan, 1
2. Perkembangan Kepercayaan Kepada Tuhan, 6
3. Gagasan Tentang Tuhan, 23
4. Argumentasi Tentang Keberadaan Tuhan, 40
5. Sikap Manusia Terhadap Tuhan, 53
6. Atheism Dan Argumentasinya, 61
7. Perkembangan Atheisme, 69
8. Agama Sebagai Jalan Hidup, 78
9. Penutup, 93
Daftar Kepustakaan, 98
Indeks, 102
Riwayat Hidup Singkat, 105

2. Ringkasan Perbab
A. Pendahuluan
            Agama merupakan bagian dari kehidupan sebagian besar manusia, bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia dari zaman ke zaman. Karena dalam agama bukan hanya terpaku mengenai kebenaran, melainkan juga mengenai perasaan dan seluruh suasana hidup.yang juga berfungsi untuk membimbing manusia kepada sikap percaya kepada Tuhan dank kea rah kehidupan rohaniyah. Selain itu agama juga menunjukkan bahwa alam dengan segala hukum-hukumnya tidak lepas dari pengaruh Tuhan.
            Ketika berbicara mengenai agama, maka tak lepas dari pembicaraan itu terdapat pembahasan mengenai Tuhan. Walaupun di dunia ini terdapat juga agama yang tidak berkait bahkan tidak ada kaitannya sama sekali dengan Tuhan, diantaranya Jaina, Carvaka, dan budhisme. Seperti halnya Karen Amstrong yang mengatakan bahwa Humanisme adalah agama tanpa Tuhan, dan banyak sekali hal yang demikian. Dari permasalahan tersebut, sehingga dalam tulisan ini (dalam buku ini), agama yang akan dibahas adalah agama yang ber-Tuhan. hemat penulis, agama tanpa Tuhan tidak mempunyai makna yang hakiki, karena merupakan jalan hidup spiritual yang anthroposentris ( berpusat pada manusia sendiri) tidak berkaitan dengan kehidupan manusia yang langgeng di alam baqa.
            Ketika melihat fungsi agama, harus ditelusuri dari adanya kepercayaan manusia terhadap keberadaan Tuhan  sepanjang masa seraya melihat realitas pengamalan ajara agama sampai saat ini. Oleh sebab itu pembahasan dalam buku ini akan didahului dengan pergumulan manusia dengan agama dan kepercayaan kepada Tuhan serta gagasan-gagasan tentang Tuhan sebagaimana yang mereka percayai. Kemudian diteruskan dengan pembahasan  mengenai argument-argumen seputar Tuhan dan  sikap manusia terhadapa keberadaan Tuhan. dari sini akan bisa dilihat apa makna agama bagi manusia. Untuk tujuan dari buku ini adalah untuk memberikan sekadar bahan diskusi dalam mengevaluasi kehidupan beragama dewasa ini.
            Untuk maksud dan tujuan tersebut., maka dalam buku ini akan terdiri dari Sembilan bab. Sebagaimana yang telah tercantum dalam daftar isi.

B. Perkembangan kepercayaan kepada Tuhan
            Kepercayaan kepada Tuhan sama tuanya dengan sejarah kemanusiaan. Perjuangan umat manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan dilakukan melalui agama dan filsafat. Namun, yang lebih menonjol adalah dengan agama dibandingkan dengan filsafat. Karena kepercayaan pada adanya Tuhan merupakan dasar yang utama dalam paham keagamaan.
            Dari perasaan manusialah muncul gagasan dan kepercayaan dalam paham agama, kemudian perasaan inilah yang membawa manusia kepada sikap penyerahan diri dan sikap berkorban untuk yang gaib/Tuhan. Bagi orang zaman dahulu kala, seluruh alam raya itu terbuka pada yang gaib dan sekaligus dipandang suci. Rudolf Atto melukiskan yang gaib dan yang suci itu sebagai hal yang menakutkan dan sekaligus menarik hati. Pendapat ini disangkal oleh Archie J. Bahm, menurutnya kepercayaan terhadap yang gaib dan suci itu karena menusia berusaha mencari kebahagiaan. Karena jika kepercayaan itu muncul dari rasa takut, maka keseimpulan tersebut adalah kesimpulan yang dangkal. Prof. DR. Mukti Ali mengatakan bahwa kepercayaan yang diakibatkan oleh ketakutan adalah tingkat kepercayaan yang paling rendah.
            Dalam tingkatan kepercayaan terdapat 3 teori yang terkenal, yaitu; teori dinamisme dari anthropology inggris R.R. Marret, teori Animisme dari anthropolog inggris E.B. Taylor, dan teori monotheisme asli dari anthropolog jerman W. Schmidt.
            Teori dinamistis mengatakan bahwa bentuk kepercayaan yang paling tua adalah kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan yang tidak berpribadi yang merupakan sumber magi (sihir). Bagi manusia yang tingkat kepercayaan masih rendah sekali, tiap-tiap benda dipercayai memiliki kekuatan gaib yang misterius, dan tiap-tiap suku, bangsa, menamai kekuatan gaib tersebut berbeda-beda. Dalam ilmu sejarah agama dan ilmu perbandingan agama, kekuatan batin ini biasaya disebut dengan mana.
            Selain percaya kepada daya atau kekuatan atau kekuasaan gaib, di kalangan masyarakat primitive juga terdapat kepercayaan kepada adanya roh atau nyawa. Berbeda dengan dalam teori dinamistis yang ada kekuatan gaib yang tidak berpribadi, kali ini terdapat kekuatan gaib yang berpribadi yakni roh. Yang kemudian pandangan seperti ini disebut dengan istilah animism. Disini hubungan manusia dengan yang gaib dan suci lebih kongkrit dibandingkan pada dinamisme. Karena tata cara berhubungan dengan roh atau nyawa dilakukan dalam bentuk yang sangat jelas.
            Jika seperti itu apakah dimungkinkan terjadinya evolusi kepercayaan dalam masyarakat primitive, yang tadinya dinamistis menjadi animisme. Prof. DR. Harun Nasution membenarkan peristiwa evolusi kepercayaan tersebut, ia mengatakan bahwa kepercayaan dinamisme adalah yang pertama kali muncul, kemudian berkembang menjadi animisme. Pendapat seperti ini ditampik oleh Dr. A.G. Honig Jr. menurutnya kepercayaan manusia tidak bersifat evolusioner dari satu tingkat ke tingkat lain, karena kedua kepercayaan tersebut bisa timbul secara bersamaan.     
            Teori terakhir adalah monotheisme yakni bentuk kepercayaan yang mengakui adanya satu Tuhan, Tuhan semua manusia, semua bangsa dan seluruh alam semesta. Menurut keyakinan penulis, bentuk-bentuk kepercayaan dinamistik, animistic, politheistik serta monotheistic bisa muncul pada kurun waktu yang sama meskipun di tempat yang berbeda. Bahkan bentuk-bentuk kepercayaan ini bisa terjadi pada waktu yang sama dan pada tempat yang sama.

C. Gagasan Tentang Tuhan
            Untuk mengetahui gagasan tentang Tuhan itu tidak cukup hanya dengan menggali pemikiran dan pendapat manusia sekarang ini, tetapi perlu menulusri masa lampau dan menjelajahi semua kawasan. Dengan demikian akan tergambar pula sejauh mana kekuasaan Tuhan atas dunia ini dan bagaimana pula kedudukan manusia berhadapan dengan kekuasaan Tuhan itu. Pandangan manusia pada masyarakat sederhana Tuhan merupakan asal kehidupan dan sumber segala ajaran yang harus dilaksanakan segala ajaran yang harus dilaksanakan oleh manusia dalam berhubungan dengan Tuhan.
            Gagasan seperti inilah yang kemudian menegaskan bahwa Tuhan adalah yang memberi dan menetapkan peraturan sekali untuk seterusnya. Kepercayaan terhadap Tuhan tertinggi terdapat dalam semua bangsa. Seperti bangsa cina yang sejak zaman kuni telah meyakini akan Tuhan tertinggi, mereka percaya bahwa Tien atau Shang Ti sebagai Tuhan Tertinggi. Dalam kepercayaan mereka belum disebut secara jelas apakah Tuhan mereka juga sebagai pencipta, sedangkan yang lebih menonjol adalah tuntutan moral agar manusia hidup dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan.
            Dalam agama Zoroaster, Ahura Mazda atau Ormuz adalah Tuhan bagi mereka. Ahura mazda adalah penguasa dunia Karena ia yang menciptakan ruang dan waktu agar roh jahat terpenjara dan menderita hingga akhir zaman. Kemudian dalam agama hindu, Tuhan dipandang sebagai pencipta dan sumber dari segala sesuatu yang ada di dunia ini. Tuhan dalam tradisi hindu adalah transenden. Beralih pada Tuhan dalam agama-agama monotheisme, yakni yahudi, islam, Kristen, dan Islam pada dasarnya sama. Dia adalah transenden, dalam ketiga agama ini memandang Tuhan terlibat dalam berbagai kejadian dan kehidupan makhluknya di dunia ini. Gagasan-gagasan ketiga agama ini bersumber pada kitab suci masing-masing, yaitu Taurat, Injil, dan Al-Qur’an.     Jika kita perhatikan gagasan-gagasan tentang Tuhan dari agama-agama ternyata ada suatu persamaan yang jelas, yaitu bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta ini.
            Pembahasan Tuhan tidak hanya dalam agama, Tuhan juga merupakan objek pembahasan dalam filsafat. Filsuf kuno yang merumuskan gagasan tentang Tuhan antara lain adalah Plato. Gagasan tentang Tuhan menurut plato bisa dipahami ketika mengemukakan pandagannya tentang dunia idea. Dengan perkataan lain dan dalam istilah agama, semua berasal dari idea Tertinggi dan segalanya akan kembali kepadaNya. Kemudian filsuf lainnya, dalam metafisika Aristoteles, gagasan tentang Tuhan dapat dilihat dari pandangannya mengenai adanya gerak dalam pembentukan materi. Kehidupan dan waktu digerakkan oleh Tuhan, penggerak pertama yang tidak digerakkan penggerak lain di atasnya, sebab tidak ada yang lebih tinggi lagi dari Tuhan.
            Beralih ke masa modern dengan melewati abad pertengahan, salah satu filsuf ternama yang dijuluki bapak filsafat modern yakni Rene Descartes. Gagasannya mengenai Tuhan bertolah dari sebab-akibat. Tuhan merupakan penyebab satu-satunya, yang paling tinggi dan paling sempurna. Kemudian, baruch de Spinoza, menurutnya substansi satu-satunya adalah substansi Tuhan, yang sekaligus meliputi dunia dan manusia. Pandangannya seperti ini disebut dengan pantheisme, Karena menyamakan antara alam semesta dengan Tuhan. dan banyak lagi lainya.  
            Di zaman pencerahan, ada Francois Marie Arout yang lebih dikenal dengan Voltaire, padangannya mengenai Tuhan disebut dengan deisme. Yakni Tuhan dapat dibuktikan dengan akal, selain itu menurutnya Tuhan hanya sebatas pencipta dunia dan tidak campur tangan lagi sesudahnya. Selanjutnya filsfuf jerman, Imanuel Kant, walaupun pandangannya tentang Tuhan tidak begitu jelas, namun ia hanya berpandangan bahwa adanya Tuhan merupakan postulat yang tidak boleh tidak harus ada. Kant merumuskan bahwa pada tataran rasio praktis ada tiga postulat yakni kebebasan, immortal jiwa, dan adanya Tuhan. dengan menerima ketiga postulat tersebut dinamakan Kant sebagai kepercayaan (Glaube).    
            Di abad ke-20 para filsuf telah merumuskan pula gagasan tentang Tuhan. salah satunya Karl theodor Jasper, menurutnya dalam kehidupan kita terdapat situasi-situasi pembatasan. Lebih lanjut Tuhan adalah das Ugrefende aller ugreifen atau yang melingkupi segala sesuatu yang melingkupi. Dilanjutkan Gabriel filsuf paris, kehadiran Tuhan menurutnya termasuk suasana misteri yang tidak memerlukan pembuktian melainkan kepercayaan. Demikian beberapa gagasan-gagasan tentang Tuhan dari Yunani kuno sampai abad ke-20, rasa masih belum mewakili jika tidak diikutsertakan gagasan tentang Tuhan dari para filsuf Timur.
            Pada filsuf timur salah satu filsuf yang tenar adalah Confusius, di usia-usia  lima puluh tahun Confucius, ia hanya menyadari nilai-nilai  susila. Setelah melewati umur usia itu ia mulai menyadari bahwa nilai-nilai adi susila yang disebut alam ketuhananan. Namun, gagasan mengenai Tuhannya tidak begitu jelas. Selanjutnya filsuf timur yang terdapat gagasan tentang Tuhan adalah pada Taoisme. Tuhan dalam pandangan Taoisme adalah sumber segala sesuatu, Maha Esa dan abadi. Filsuf timur lain adalah Mahatma Ghandi, menurutnya Tuhan adalah kebenaran dan cinta, etika dan moral, sumber cahaya dan kehidupan, dan bahkan di atas segala-galanya.
            Gagasan-gagasan tentang Tuhan tersebut melahirkan paham-paham yang berkaitan dengan hubungan alam atau dunia dan Tuhan. setidaknya ada tiga paham yang dapat penulis kemukakan, yaitu theism, deisme, dan pantheisme.

D. Argumentasi Tentang Keberadaan Tuhan
             Dalam bab sebelumnya oleh agama dan filsuf, namun nampaknya hanya berbekal kepercayaan dan gagasan masih belum memuaskan kalangan filsuf. Oleh sebabnya mereka mengajukan argumentasi tentang keberadaan Tuhan. secara klasik ada empat argument yang terkemuka, yaitu argumentasi ontologis, argumentasi kosmologis argumentasi teleologis, dan argumentas moral.
            Argumentasi ontologis dapat ditemukan unsur-unsurnya dalam filsafat plato. Dengan teori idea, plato mencoba membuktikan bahwa alam bersumber pada sesuatu kekuatan gaib yang bernama The Absolut Good atau yang Mutlak Baik. Kemudian dalam filsafat St. Agustinus. Menurutnya manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam alam ada kebenaran. Kebenaran tetap dan kekal itu merupakan kebenaran mutlak dan kebenaran mutlak inilah yang disebut Tuhan.
            Ada anggapan yang pertama kali merumuskan argumentasi ontologis ini adalah St. Anselm Cantesbury. Secara tegas ia menyatakan “Seseorang yang memahami bahwa Tuhan ada, tidak dapat berpikir bahwa Tuhan tidak ada.” Berbeda dengan St. Thomas Aquinas, menurutnya ”keberadaan Tuhan adalah jelas, terbukti dengan sendirinya (self evident).” Kemudian argumentasi ontologis ini dirumuskan kembali oleh Rene Descartes, ia berpendapat idea tentang Tuhan adalah jelas dan terpilah (clear and distinct). Dilanjutkan oleh Imanuel Kant, dengan tegas ia mengatakan “bagi orang yang tidak percaya kepada Tuhan, akan sulit untuk menerimanya.”.
            Argumentasi lain yang mengemukakan akan keberadaan Tuhan adalah argumentasi Kosmologi. Argument yang beranjak dari dunia (kosmos). Yang melipti gerak, sebab, kontingensi dan keteraturan alam semesta ini. Argumentasi ini bisa ditemukan dalam filsafat plato yang berbicara mengenai prinsip-prinsip dasar yang mengatur keharmonisan alam yang ia sebut dengan Demiurgos (jiwa Dunia). Selanjutnya dikembangkan oleh Aristoteles, yang menjadi dasar Aristoteles bagi argumentasi kosmologis ini adalah mengenai konsep perubahan (gerak). Para filsuf islam yang banyak terpengaruh oleh aristoteles juga ikut meramaikan dalam memberikan pandangannya terhadap argumentasi ini.
            Seperti, al-kindi yang mengemukakan bahwa segala yang terjadi mempunyai sabab dan musabab dan berujung pada sebab pertama. Kemudian al-farabi, sama halnya dengan pendapat al-kindi, namun al-farabi memberikan kesimpulan bahwa suatu zat yang demikian sifatnya itu adalah Tuhan. selanjutnya ada Ibnu Sina dengan argumentasinya “Wujud Kosmos yang bersifat mungkin tergantung pada wajib Al-wujud (necessary being) yang menjadi dasar bagi segala sesuatu”. Argumentasi kosmologis ini disanggah oleh David Hume, menurutnya penalaran yang bermodalkan sebab-musabab adalah sangat lemah, karena kesimpulan yang ditarik dari akibat yang terbatas maka akan menghasilkan sebab yang terbatas juga. Namun pada dasarnya Hume percaya akan adanya hokum sebab-akibat. Berbeda dengan Kant, baginya, dunia noumena (esensi) tidak bisa disimpulkan dari dunia fenomena (gejala).
            Argumentasi selanjutnya adalah argumentasi teleology yang dikemukakan oleh William Paley. Argumentasi ini bertolak dari keteraturan alam yang bergerak dan menuju tujuan tertentu. Paley dengan melihat Unsur-unsur dunia yang sangat rumit tetapi Nampak teratur ini, akan mendorong manusia untuk berpikir tentang yang ada dibalik dunia ini sebagai pengaturnya. Argumentasi ini disanggah oleh Kant dengan mengatakan, jika begitu adanya maka yang merancang keburukan dan kejahatan adalah Tuhan pula.
            Argumentasi terakhir yang mencoba membutikan keberadaan Tuhan adalah Argumentasi moral yang dikemukakan oleh Imanuel Kant. Melakukan kewajiban karena mau memenuhi kewajiban itulah kehendak yang baik tanpa pembatasan, itulah yang disebut Kant dengan moralitas. Tujuan moralitas menurut Kant adalah kebaikan tertinggi (summum bonum), agar itu tercapai kita harus menerima tiga postulat, yakni kebebasan kehendak, keabadian jiwa, dan adanya Tuhan. karena ketiga postulat ini adalah tujua yang dicita-citakan dan diinginkan oleh manusia saat ini, di alam fana ini. Menurutnya perbuatan baik dan buruk itu sendiri mengandung arti nilai-nilai, nilai tersebut tidak didapat dari manusia melainkan dari Tuhan, “adanya nilai itu mengandung arti adanya pencipta nilai, pencipta nilai, itulah yang disebut Tuhan”. Argumentasi moral ini disanggah oleh Bertrand Russel, pendapat bahwa Tuhan dan kebaikan moral adalah sama merupakan kesalahan penalaran. Jika ada orang yang baik, tidak lantas disimpulkan bahwa kebaikan itu berasal dari pemberian Tuhan.

E. Sikap Manusia Terhadap Tuhan
            Secara garis besar ada dua yang secara diametral saling bertentangan, yaitu yang sepenuhnya percaya adanya Tuhan (Theisme) dan yang sepenuhnya menyangkal adanya Tuhan (Atheisme), ditambah dua sikap manusia yang mencoba menyangkal keberadaan Tuhan secara halus, yakni agnotisisme dan naturalism.
            Theisme adalah sikap percaya kepada satu-satunya wujud suci, yaitu Tuhan yang menciptkan dan mengurus alam ini, yang berbeda dengan segala yang ada. Dalam paham theisme ini, Tuhan dipandang sebagai sebab dari segala yang ada ini. Jadi theisme sebagai monotheisme dalam teori dan pemujaan hanya mengannut satu Tuhan. Hp Owen mengemukakan bahwa theisme mempunyai makna kepercayaan kepada satu Tuhan yang pribadi, tujuan yang terpuji, terpisah dari dunia tapi tidak melepaskan dunia.
            Sikap lain tentang keberadaan Tuhan adalah sikap skeptic atau ragu terhadap Tuhan. sikap ini terlihat dalam pandangan agnostisisme. Seperti yang dikemukakan oleh Ronald W. Hepburn “dalam pemakaian istilah yang sangat umum, agnostisisme adalah pandangan bahwa kita tidak tahu apakah Tuhan ada atau tidak”. Sikap seperti ini sudah ada sejak zaman purba, salah seorang sejak zaman kuna yang berpaham seperti ini adalah Protagoras. Sikap seperti ini terutama diterakan kepada penangguhan kepercayaan berkenaan dengan Tuhan.  agnostisisme sebagai sikap dan pendapat falsafati menunjukkan dan mempertahankan bahwa yang mengatasi indera tidak dapat diketahui. Sikap yang mengenyampingkan pandangan-pandangan yang bersifat metafisis. Agnostisisime modern ini bersangkut-paut dengan aliran empiris dan positivisme.
            Karena dalam pandangan aliran filsafat ini, ilmu-ilmu berkembang atas dasar prinsip bahwa hanya dapat diketahui apa yang tidak melebihi pengalaman. Aliran ini pertama kali disebut sebagai agnostisisme adalah oleh Thomas Huxley, yang menganut paham positivism juga. Menurutnya agnostisisme adalah pengakuan ketidak mampuan manusia terhadap segala yang melebihi pengalaman (ilmiah). Sikap lain yang mengemukakan dalam kaiatanya dengan pandangan tentang keberadaan Tuhan adalah paham naturalism. Dalam pandangan naturalism , semua obyek da kejadian merupakan data alam bisa didapati keberannya. Prinsip dasar yang menjadi acuan paham naturalism adalah prinsip-prinsip ilmiah. Paham ini juga bersifat monistik, karena ada satu-satunya yang diakui adalah hanya alam semesta ini. Jadi, naturalism hanya mengakui satu-satunya realitas, yakni alam. Tidak ada yang di atas atau di balik realitas alam ini. Oleh karena itu paham ini lebih mengarah kepada paham atheisme, paham ini juga sejalan dengan aliran-aliran materialisme dan positivisme.

F. Atheisme dan Argumentasinya
            Atheisme mengandung berbagai pengetian, antara lain; keyakinan bahwa Tuhan tidak ada, ketidakpercayaan terhadap eksistensi adikodrati yang diandaikan mempengaruhi alam semesta, dan tidak adanya keyakinan akan Tuhan yang khusus. Sejalan dengan ini Richard H.Popkin dan Arvum Stroll mengemukakan: “Atheisme adalah teori yang menyatakan bahwa Tuhan  tidak ada, atau anda kata ada, Tuhan tidak dapat melibatkan diri terhadap keberadaan manusia dengan jalan apapun”. Namun menurut Mircae Eliade, atheisme bukan hanya sekedar teori , tetapi ajaran (doctrin). Ia juga mengemukakan bahwa “atheisme adalah ajaran bahwa Tuhan tidak ada, kepercayaan akan adanya Tuhan adalah kepercayaan yang salah.”
            Charles Bradlough menyatakan dalam bukunya Plea for Atheism, dalam buku tersebut ia menulis. “seorang atheis tidak mengatakan ‘Tuhan tidak ada’, tetapi ia mengatakan ‘saya tidak tahu apa yang anda maksud dengan Tuhan; saya tidak mempunyai gagasan tentang Tuhan; kata Tuhan bagiku merupakan suara atau pernyataan yang tidak jelas”. Dari tulisan ini namak begitu jelas bahwa pengertian atheisme menjadi lebih luas, tidak sekedar teori tentang penyangkalan akan adanya Tuhan. atheisme juga merupakan ajaran, kesangsian, dan sikap tidak ingin tahu tentang adanya Tuhan.
            Argumentasi yang digunakan oleh atheisme yang dikemukakan secara tradisional ada dua. Pertama, argumentasi keabadian materi. Argument ini didasarkan kepada ajaran tentan keabadian materi atau dibawa kepaa yang lebih sesuai teori fisika dewasa ini, keabadian “massenergy”. Hanya materi sajalah yang merupakan kenyataan yang sebenarnya dalam alam semesta ini. Argumentasi ini disangkal oleh paham kreasionisme, yang menyatakan tidak ada materi yang kekal, karena semuanya diciptakan. Pengalaman menunjukkan bahwa segala pengada  mempunyai awal dalam eksistensinya. Kedua, argumentasi adanya kejahatan dan ketidak sempurnaan alam lainnya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa karena kejahatan ada, maka Tuhan tidak ada. Seandainya Tuhan baik ada pasti tidak ada kerusakan. Secara lebih rinci St. Thomas Aquinas merumuskan “seandainya Allah ada, tak aka nada satu tempat pun di mana kejahatan ditemukan. Padahal kejahatan ditemukan di dunia. Maka Tuhan tidak ada.”
            Argumentas ini kemudian disanggah oleh Prof. Dr. Louis Leahy SJ, ia menulis: “kepada orang yang mengatakan ‘kejahatan ada, maka Allah tidak ada’, kita menjawab serta merta: ‘kebaikan ada maka Allah ada’. Namun, kedua pernyataan ini tidak berdiri sama tinggi atas dasar dua alas an. Pertama, kebaikanlah yang berdaulat, sedangkan kejahatan hanyalah sebuah “kecalakaan/aksiden” yang tidak dapat meniadakan makna pokok. Kedua, kebaikan tidak dapat dimengert tanpa (adanya) Tuhan, tetapi tidak pasti bahwa kejahatan tidak dapat dimengerti dengan (adanya) Tuhan. menanggapi masalah ini W. Leibniz berpendapat bahwa Tuhan menciptakan yag baik saja, sedangkan adanya kejahatan merupakan syarat untuk bertumbuhnya yang baik di dunia. Oleh karena itu jelaslah bahwa pengingkaran akan adanya Tuhan sebagai pencipta dunia ini karena ada kejahatan di dunia tersebut merupakan hal yang kontradiktif. Leahy menambahkan “setidak-tidaknya kita dapat melihat bahwa adanya kejahatan di dunia bukanlah alasan yang cukup untuk mengingkari eksistensi/adanya Tuhan.

G. Perkembangan Atheisme         
            Pada masa cina kuna, pemikiran atheistic telah muncul seiring dengan perkembangan konsep ketuhananan. Bagi Confucius, kepaTuhan kepada  Tuhan semata-mata ditunjukkan ole pelaksanaan hokum moral. Berbeda dengan pandangan Confucius, Mo-tzu memandang bahwa Tuhan memiliki sifat kasih terhadap dunia. Ia juga mengakui roh-roh orang mati bukan sekedar landasan upacara agama. Kemudian pandangan Mo-tzu ini ditentang oleh Hsun-tzu, menurutnya konsep ketuhananan tidak lebih hanya sebagai penggambaran untuk proses alamiah tentang pahala bagi kebaikan dan hukuman bagi kejahatan. Sedangkan kegiatan keagamaan tidak mempunyai pengaruh sama sekali. Ia juga tidak mengakui kekuatan adikodrati, dewa dan roh-roh mati. Karena inilah ia dikategorikan/dimasukkan sebagai orang atheis.
            Beralih ke india, pemikiran atheistic di india telah muncul pula pada masa kuna. Itu disebabkan adanyazaz sikap penolakan terhadap otoritas veda, adanya roh, asal mula kejadian dan kehidupan setelah mati oleh aliran Carvaka. Yang kemudian diikuti oleh Jaina dan Buddha. Aliran lain yang menyangkal adanya Tuhan adalah aliran samkhya salah satu aliran filsafat Hindu orthodox. Menurut aliran ini adanya Tuhan tidak dapat dibuktikan.
            Di dunia barat atheisme berkembang sejak zaman Yunani kuna hingga dewasa ini. Filsuf yunani kuna yang berpendangan atheistic adalah Democritos. Menurutnya, kenyataan satu-satunya yang ada adalah atom. Selain democritos ada Protagoras, Theodoret, dan Cyrrhus. Theodoret secara tegas menyatakan bahwa menerima keberadaan Tuhan manapun”.  Filsus zaman modern ada Thomas Hobbes, menurutnya, kenyataan yang ada hanyalah materi. Selain materi tidak merupakan kenyataan alias nonsense. Setelah proses sekularasi di Eropa Barat di abad ke-17 muncul atheisme ilmiah. Salah seorang ilmuan yang menyangkal adanya Tuhan adalah Pierre-Simon de Laplace. Menuruntnya, kepercayaan akan adanya Tuhan adalah berlebihan. Sebab dunia ini ada dengan sendirinya, buka diciptakan Tuhan. kemudian muncul positivisme yang dibangun oleh August Comte. Atheisme dalam sudur pandang positivisme ini jelas didasari sifat khasnya bahwa fenomena berdasarkan hokum alam yang tidak berubah, maka akibatnya ialah menolak akan adanya sebab pertama maupun yang terakhir (final); tegasnya tidak ada penciptaan, tidak ada Tuhan sebagai pencipta.
            Kemudian F.W .Nietze filsuf jerman ini beranggapan bahwa dunia adalah satu-satunya hakekat yang ada, jika kemudian timbul hal yang baru di dunia ini, maka hal itu dianggap bersifat siklis, suatu proses bulat alam semesta. Ilmuan sosiolog yang terkenal Emile Durkheim juga mempunyai pandangan yang demikian. Ia mengakui kenyataan agama dan kekuatan moral. Namun tidak berasal dari Tuhan, tetapi dari masyarakat itu sendiri. Sigmund Freud seorang ahlu psikoanalisa juga mempunyai pandangan sendiri ‘ Apabila umat manusia telah mencapai kedewasaan psikologi, maka dengan sendirinya agama akan lenyap”. Tokoh dari filsafat eksistensialisme, Paul satre, ada Tuhan dan ada manusia secara bersama-sama tidak mungkin terjadi. Kalau ada yang satu merupakan kenyataan maka ada yang harus disangkal. Karena yang jelas-jelas ada adalah manusia dengan segala kebebasannya, maka dengan sendirinya Tuhan tidak ada. Padangan Sartre ini bukan saja sebagai penolakan akan adanya Tuhan, tetapi juga merupakan sikap perlawanan kepada Tuhan. kemudian kita kenal dengan Karl Marx tokoh filsafat materialisme. Menurut Marx agama adalah candu yang meninabobokan manusia karena mimpi-mimpi surgawinya. Maka agama tidak ada gunanya bagi manusia. Agama hanyalah merupakan realisasi fantastis makhluk manusia belaka. Untuk itu agama harus dihilangkan dalam pergaulan dan kehidupan manusia.
            Di abad dua puluhan muncul gerakan dari Wiena, gerakan ini disebut Wiener kreis (lingkaran Wiena), cara berpikir gerakan ini disebut dengan berbagai istilah seperti, neopositivisme dan positiviesme logis. Jelasnya aliran ini merupakan aliran filsafat bahasa. Aliran ini berpendapat bahwa berbicara harus mengatakan suatu cara berpikir yang bersifat empiris. Sebab menuru aliran ini bicara harus mempunyai arti, dan ari hanya dapat diberikan kepada sesuatu yang bersifat empiris. “adanya Allah tak dapat diverifikasi sama sekali; akibatnya allah tidak dapat disebut benar.”
            Dengan demikian jelaslah kepada kita bahwa atheisme tidak pernah surut dari masa ke masa. Atheisme muncul dan berkembang melalui berbagai aliran filsafat dan ilmu pengetahuna, termasuk aliran-aliran filsafat bahasa.

H. Agama sebagai Jalan Hidup
            Secara garis besar terdapat dua sikap, di satu pihak, manusia yang percaya akan adanya Tuhan dan di pihak lain manusia yang tidak percaya kepada-Nya. Sejak zaman dahulu kala banyak manusia menyembah kekuata-kekuatan yang diyakini lebih tinggi dan lebih berkuasa dari manusia sendiri, Karena dipandang menguasai hidupnya. Dengan demikian, manusia bukan hanya mengungkapkan keyakinanya tentang adanya yang Maha tinggi, tetapi juga tentang makhluk lainnya yang menjadi lingkungan hidup manusia. Sepanjang sejarah umat manusia agama mempunyai fungsi tertentu dalam kehidupannya, istilah fungsi yang dimaksud adalah sumbangan yang diberikan agama kepada manusia dalam meniti kehidupannya di dunia ini. Dalam cara hidup ini terkandung norma-norma moral dan keseluruhan aturan-aturan hidup manusia. Adapun yang dimaksud dengan norma-norma moral, menurut Franz Magnis-Suseno adalah ajaran-ajaran, wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan entah lisa atau tertulis, tentang bagaimana mnausia harus hidup dan bertidak agar manusia menjadi baik. Peter berger mengemukakan, bahwa agama adalah suatu kebutuhan dasar manusia. Tidak ada jalan lain untuk membela diri terhadap-terhadap kekuatan-kekuatan negative dari pada jalan agama. Maka agama menjamin kepastian hidup. Maka dalam menanamkan nilai-nilai agama perlu adanya pendidikan agama kepada manusia sejak masa kanak-kanak yang akan memberi ketahanan batin dalam menempuh kehidupannya. Namun perlu untuk dikemukakan, bahwa pendidikan agama baik terhadap individu maupun masyarakat harus dilakukan secara kritis.           
            Dr. W. Drijarkoro SJ mengatakan: gejala (keagamaan-pen). Sedala, itu tidak bisa tidak berakar kepada kodrat manusia sendiri. Karena religi (agama) merupakan perkembangan, jadi manusia merupakan bakat atau dinamik kea rah itu. Karena di situ yang dicurahkan itu seluruh kodrat, jadi yang berupa dinamik itu bukanlah hanya sebagian dari kodrat manusia, melainkan seluruh kodrat manusia sebagai keseluruhan. Pembawaan ingin beragama ini telah menjadi fitrah kejadian manusia, yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dalam diri manusia. Ditambah dengan suasana kehidupan di muka bumi ini mendorong manusia pula untuk beragama. Dr. Muhammad Iqbal berkata: “Agama bukan soal sebagian-sebagian: ia bukanlah akal semata-mata, tidak pula hanya perasaan saja, atau pun tindakan semata-mata; ia adalah ekspresi dari seluruh (potensi) manusia.”
            Namun sekarang ini terdapat kecenderugan bahwa dunia semakin kacau dan manusia semakin kejam,. Menurut paryana, akibatnya tumbuh egoism, liberalism, materialism, kapitalisme, dan akhirnya imprerialisme. Imperlisme ini lah yang kemudian melahirkan peperangan yang tiada henti, pasang surutya perang yang silih berganti. Dari perang dunia I sampai perang dunia II berkahir. Namun masih tetap tejadi peperangan dimana-mana. Kapan dunia akan damai? William Penn mengatakan bahwa dunia baru (yang damai) tidak mulai dengan ditandatanganinya naskah-naskah di meja perjanjian. Dunia baru aka nada jika Tuhan menuliskan kehendaknya di dalam hati manusia. Oleh karena itu cita-cita perdamaian akan tercapa, manakala manusia telah berpegang kepada ikatan-ikatan normative  dan tata nilai Tuhan yang absolut itu. Karena jauhnya manusia dari perasaan keagamaan, membuat manusia mengadakan penyelesaian berbagai masalah secara kejam yang justru menyulitkan kehidupannya sendiri. “maka terjadilah frustasi, pembunahan, free sex, bunuh diri dan lain-lain.
            Karena itulah dibutuhkan agama (Tuhan), agama merupakan pelajaran mewujudkan rasa kemanusiaan setingi-tinginya dalam susunan yang teratur, agar bisa bermanfaat sebanyak-banyaknya untuk kehidupan manusia. Untuk mencapai cita-cita tersbut, harus ada tiga bentuk atau arah komunikasi, ialah manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam atau lingkungan hidupnya. Untuk mengendalikan atau mengawasi perkembangan akal dan keinginanmanusia itu diperlukan ajaran-ajaran agama. Jika sepanjang manusia berpegang kepada agama, maka tanggung jawab moral akan lebih besar, karena ia merasa selalu diawasi oleh Tuhan dalam setiap tingkah laku dan perbuatannya.
            Namun, suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah begitu saja, bahwa sebagian manusia menjadi lupa daratan di kala mendapat suatu kenikmatan daam hidupnya. Tuhan dipandang sebagai benda mati tidak berkuasa, bahkan ada yang menganggap bahwa Tuhan itu tidak ada. Tetapi, apabila kesulitan tiba, sedangkan tidak ada seorang pun yang dapat dimintai pertolongan; baik sadar atau tidak, seorang yang mengaku atheis pun akhirnya mengakui akan adanya Tuhan. sebab sebagaimana pun angkuh dan sombingnya manusia pada akhirnya ia harus mengakui secara jujur bahwa dirinya tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Oleh karena itu sadar atau tidak, manusia akan mengakui kewujudan Tuhan.

I. Penutup
            Munculnya agama du dunia ini adalah seiring dengan timbulnya kepercayaan manusia akan adanya Yang Maha Kuasa di luar diriya. Inti dari agama adalah Tuhan, yang dipercaya sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta. Namun konsepsi mengenai Tuhan sepanjang sejarah manusia dan agam berbeda-beda. “dalam pemikiran filsafat hanya ada satu Tuhan yang benar, akan tetapi mempunyai perbedaan nama dalam agama yang beragam. Selain sikap manusia yang percaya aka adanya Tuhan, terdapat pula sikap yang menyangkal keberadaan Tuhan dan segala yang bersifat adikodrati, yang dikenal sebagai paham atheisme. Tetapi kenyataan membuktikan bahwa banyak manusia yangtidak percaya kepada Tuhan atau meninggalkna Tuhan, pada situasi dan kondisi tertentu mereka akan kembali kepada Tuhan.
            Agama tidak akan memberikan makna kepada kehidupan, agama juga akan kehilangan fungsinya, jika kepercayaan kepada Tuhan atau pengakuan sebagai manusia beragama hanya diyatakan dengan lisan tanpa menghayati dengan keyakinan dan diaktualisasikan dalam  perbuatan. Sebagai orang beragama harus tercermin dalam dua arah. Pertama, hubungannya dengan Tuhan harus tercermin dalam bentuk kesalehan ritual. Kedua, hubungan dengan makhluk lainnya harus dilandasi rasa cinta dan kasih sayng dan diaktualisasikan dalm kesalehan social.
Dalam hubungannya dengan manusia, ada tiga cara yang harus dilakukan. Pertama, ta’aruf, saling kenal mengenal. Kedua, taaluf menyatukan hati dengan segenap perasaan. Ketiga, ta’awun kerjasama dalam melakukan sesuatu. Kemudian dalam membina hubungan dengan alam yang menjadi lingkungan hidup manusia, hendaknya dilakukan dengan penuh kesadaran dan sikap positif, bahwa alam ini adalah anugerah nikmat dan amanat Tuhan. semua itu harus melalui jalan agama, tanpa melalui jalan agama, maka manusia akan sesat dan aniaya.
3. Analisa kritis
a. kelebihan
            buku ini sangat bagus untuk menjadi bahan bacaan bagi mahasiswa khususnya dan masyarakat secara umum. Bahasa yang digunakan sangat mudah dipahami dan tidak begitu sulit untuk diresapi. Sebagai bahan diskusi, buku ini cocok untuk para intelek yang membutuhkan argument dari berbagai filsuf dan pandangan tokoh agama. Buku ini juga tidak rasis yang lebih menonjolkan satu golongan atau satu agama saja. Buku ini bisa menempatkan argument para filsuf dan tokoh agama tepat pada proposinya masing-masing.
            Buku ini juga melakukan pendekatan filsafat yang mudah untuk dimengerti, tidak terlalu sulit seperti pemikiran filsuf pada umumnya. Untuk itu bagi pemula yang ingin belajar agama buku bagus untuk dijadikan referensi. Karena referensi dalam buku ini tidak hanya berasal dari buku sekunder namun yang digunakan langsung diambil dari buku primernya.

b. kelemahan
            ada sedikit kekurangan dalam buku ini, terdapat pembahasan yang berbeda namun pemikiran yang dipakai hanya satu tokoh. Jadi sulit untuk menentukan bahwa tokoh yang memberikan argumentnya ini tergolong dalam paham apa. Misalnya dalam bab argumentasi tentang keberadaan Tuhan. Dalam bab ini ada 4 argumenatasi tentang keberadaan Tuhan, dan tiap argumentasi terdapat tokoh yang sama. Jadi sangat sulit untuk mengetahui tokoh yang memberikan pandangan ini termasuk dalam argumentasi yang mana. Kemudian dalam susunan bab yang harus di bahas seharusnya bab perkembangan kepercayaan tentang Tuhan ditempatkan setelah bab argumentasi tentang keberadaan Tuhan. sehingga susunan buku menurt saya akan lebih sistematis. Karena dalam bab setelahnya terdapat pembahasan tentang perkembangan atheisme ditempatkan setelah atheisme dan argumentasinya. Artinya kita mengenal dulu kata atheisme kemudian baru dibahas perkembangannya.

C rekomendasi pada buku ini
            Semoga buku ini terus untuk diterbitkan kembali, buku ini diterbitkan terakhir kali tahun 2003. Jika bisa dalam pembahasanya dalam sikap manusia terhadap Tuhan ditambahkan subbabnya karena sekarang tidak hanya atheisme yang berkembang, namun masih banyak lagi sikap manusia terhadap Tuhan. sekarang ini ada sikap manusia yang disebut anti theisme, masih belum ada gambaran secar umum apa itu yang disebut dengan anti theis. Apakah anti theis ini perkembangan dari atheisme atau terpisah dari atheisme tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar