Jumat, 07 Juni 2013

KONSEP KENABIAN AL-FĀRĀBĪ





            Al-Fārābī, yang dikenal di dunia barat dengan nama alpharabius adalah orang pertama yang mengemukakan dan menngeluarkan statemen kenabian[1], teori kenabian ini merupakan bagian tertinggi di dalam pandangan filosofisnya, teorinya berlandaskan pada sendi-sendi jiwa dan metafisika bahkan amat berhubungan dengan politik dan moral[2]. Ia mencoba untuk mendamaikan dan merujukkan antara agama dengan filsafat melalui jalan teori kenabiannya[3]. Jadi, dari konsep kenabian mencoba dan berusaha untuk merujukkan antara rasional dengan tradisional. Menurutnya ciri seorang Nabi adalah orang yang mempunyai daya imajinasi yang sangat tinggi[4] sehingga ia mampu berkomunikasi dengan aql fa’al, intelegensi agent atau akal kesepuluh dalam teori emanasinya atau Malaikat Jibril[5]  dalam penjelasan selanjutnya. Dari kemampuan ini patutlah seorang Nabi berhak mendapat penghormatan dari para failosof khususnya filosof Islam. Degan demikian dapat dikatakan bahwa tidaklah sejajar seorang Nabi dan filsuf tingkatannya, karena Nabi itu sudah tentu seorang filsuf namun filsuf belum tentu seorang Nabi. Filsafat Al-Fārābīpun banyak yang berhubungan dengan teori kenabiannya contoh dalam politiknya ia menginginkan seorang pemimpin  itu mampu sampai ke derajat aql fa’al,[6]  yakni derajat para Nabi yang mampu menerima pesan dari intelegensi agent atau aql fa’al tersebut.
            Filsafat kenabian Al-Fārābī terkait erat dengan hirarki daya-daya jiwa manusia, menurutnya manusia mempunyai kemampuan pengindraan dan kemampuan pengindraan manusia ini  terbagi dalam lima tahap, yakni pertumbuhan, pengindraan, bernafsu, berkhayal dan berfikir. Dan manusia memperoleh sebuah pengatahuan diperoleh dari daya  pengindraan, berkhayal, dan berfikir. Daya pengindraan merujuk pada daya internal dan berkhayal dan berfikir merujuk dari daya eksternal.  Menurut Al-Fārābī manusia dapat mencapai derajat aql fa’al melalui dua cara yakni dengan penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau intuisi ( wahyu)[7]. Cara yang pertama dapat di lakukan oleh pribadi-pribadi yang mampu berfikir  dan menembus alam materi, sedangkan cara yang kedua hanya bisa dilakukan oleh Nabi. Tentunya tidak semua jiwa mampu melakukan hubungan ini, tetapi yang mampu naik kepadanya hanyalah jiwa-jiwa suci yang mampu menembus tabir-tabir ghaib dan mampu mepersepsikan alam cahaya[8]. Sama dengan yang dikutip oleh Ibrahim Madkour dalam buku Al-Fārābī Al-Tsamroh al-Mardliyyah.
     “jiwa yang suci tidak disibukkan oleh oleh arah bawah dari arah atas, indra luar tidak akan menenggelamkan indra batinnya. Pengaruhnya bisa menjalar dari tubuhnya sampai benda-benda alam dan apa yang ada didalamnya, serta ia menerima berbagai pengetahuan dari Ruh dan Malaikat dengan tanpa melalui pendidikan dari manusia”. [9]   
            Dari keterangan diatas juga bisa disimpulkan bahwa pegetahuan seorang Nabi tidak lagi melalui pendidikan dari manusia melainkan langsung dari Malaikat dengan Aql Fa’alnya. Dan ciri seorang Nabi dan sifat utama Nabi ialah ia memiliki daya imajinasi yang sangat tinggi, yang melalui kemampuan ini Nabi bisa berhubungan langsung dengan para malaikat dikala tidur maupun terjaga. Adapun wahyu hanyalah sebagai hasil dari pancaran tuhan yang dibawa oleh malaikat dan di sampaikan pada Nabi[10]. Agama yang dimaksud Al-Fārābī adalah agama samawi atau agama langit, yakni agama yang membutuhkan seorang Nabi sebagai pembawa misi dari Tuhan untuk menyampaikan dan diajarkan kepada manusia di muka bumi, menurutnya banyak orang yang mempunyai imajinasi kuat tapi bukan seorang nabi, karena dia hanya bisa melakukannya disaat ia tidur, ia pun tidak bisa menangkap apa maksud dari mimpinya dan tidak bisa berhubungan dengan aql fa’al. Sedangkan orang yang tidak bisa menerima di saat ia tidur maupun terjaga maka ia termasuk orang yang mempunyai daya imajinasi lemah atau rendah[11].
            Akibat teori kenabian ini pada abad ke 3 H dan 4 H/ abad ke 9 dan 10 M terjadi gelombang skeptisme pada orang-orang yang tidak percaya pada kenabian. Dan orang yang keras menolak kenabian terutama menolak setiap upaya untuk merujukkan agama dan filsafat adalah Muḥammad bin Zakariā Al-Razī, menurutnya fislafat adalah satu-satunya jalan untuk memperbarui pribadi kita dan masyarakat. Sedangkan agama hanyalah menjadi sumber konflik dan perselisihan[12]. Dari sinilah Al-Fārābī mencoba untuk menarangkan kenabian secara rasional dan menafsirkannya secara ilmiah. Ia menerangkan nya dengan dasar Aristoteles yang di pekernalkan kepada dunia Arab. Walaupun Arsitoteles sendiripun menolak bahwa mimpi itu berasal dari Tuhan dan menolak peramalan-peramalan yang dilakukan oleh para Nabi dari mimpi-mipi tersebut. Jika itu terjadi banyak orang akan mengakui bahwa dirinya bisa melihat masa depan melalui sebuah mimpi[13].
Al-Fārābī pertama berpendapat bahwa imajinasi jika telah terlepas dari perbuatan-perbuatan diwaktu terjaga maka saat sedang tidur ia mempergunakan sebagian fenomena psikologis. Kemudian ia menciptakan ilustrasi-ilustrasi baru atau mengumpulkan ilustrasi-ilustrasi konsepsial yang telah ada sebelum dalam berbagai bentuk, dengan cara meneruskan dan terpengaruh oleh sebagian pencerapan inderawi dan perasaan jasmaniah atau emosi-emosi psikologis dan persepsi-persepsi rasional. Karena imajinasi adalah salah satu potensi kreatif yang mampu mencipta, mewujudkan serta mengilustrasikan dan membentuk, mempunyai kemampuan besar untuk menirukan dan berimitasi, di samping ia mengandung kesiapan besar bagi emosi dan daya untuk mempengaruhi[14]. Jika potensi imajinasi ada pada seseorang maka akan menjadi kekuatan yang benar-benar sempurna. Jika kemampuan imajinasi sudah mencapai kesempurnaan maka tidak bisa dihalanggi bahwa pada waktu terjaga ia bisa menerima detalitas-detalitas masa sekarang dan masa yang akan datang dari aql fa’al atau menirukannya melalui fakta-fakta empirik serta menerima imitasi akal yang tidak ada pada benda dan wujud-wujud mulia yang lain bahkan melihatnnya, sehingga bagaimana objek pemikiran (kategori) yang diterimanya menjadi kenabian paling sempurna yang bisa dicapai oleh kekuatan imajinasi dan merupakan tingkatan paling sempurna yang bisa dicapai oleh manusia melalui potensi imajinasi[15].
 Teori kenabian Al-Fārābī juga mempunyai pengaruh pada dunia barat dan timur. Pada abad pertengahan pun banyak yang mengikuti teorinya contoh Ibnu Sina dan Ibn Rusd. Dan ketika teori ini dikenalkan pada pemikir-pemikir Yahudi. Maimonides mengambilnya dan menunjukan keminatannya pada teori kenabian Al-Fārābī. Dan di gunakan pula oleh filosof Muslim modern seperti Jamal Al-din Afghani dan Muḥammad Abduh. Perlu diketahui perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah untuk hubungan dengan aql fa’al, Nabi menggunkan imajinasi tinggi sedangkan filosof menggunakan analisa dan study[16].

Daftar Pustaka
Dr. Ibrahim Madkour, Filsafat Islam (Metode dan Penerapa) ,(Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 1968), h. 86
Otto Horrasowitz, Welbaden. Para Folosof Muslim, Terj. M.M. Syarif, M.A, (Bandung: Mizan, 1994). Cet. VII, h. 73
Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A. Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), Cet. IV. H. 44



[1] Dr. Ibrahim Madkour, Filsafat Islam (Metode dan Penerapa) ,(Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 1968), h. 86
[2] Otto Horrasowitz, Welbaden. Para Folosof Muslim, Terj. M.M. Syarif, M.A, (Bandung: Mizan, 1994). Cet. VII, h. 73
[3]. Ibid. H. 73
[4]. Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A. Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), Cet. IV. H. 44
[5].  Ibid, h. 44
[6]  Dr. Ibrahim Madkour, h. 90
[7]  Dr. Ibrahim Madkour, h. 91
[8]. Ibid, h. 91
[9]. Ibid, h. 91-92 Dari buku Al-Fārābī Al-Tsamroh al-Mardliyyah,  h. 75
[10] M.M. Syarif, M.A, h. 76
[11] Dr. Ibrahim Madkour, h. 97
[12] . sama dengan yang dikutip oleh M.M. Syarif, M.A, h. 76 dari Kraus et Piness, Encyc de l’Islam, Vol. IV, h. 1136
[13]. sama dengan yang dikutip oleh M.M. Syarif, M.A,  h. 77 dari Idem, La Divination, Vol. I, h. 2-3
[14]. Sama dengan yag dikutip oleh Dr. Ibrahim Madkour, h. 94 dari Al-Fārābī, al-Madinah, h. 48-49
[15]. Ibid, h. 96 dari Al-Fārābī, al-Madinah, h. 51-52
[16]. Dr. Ibrahim Madkour, h. 98

0 komentar:

Posting Komentar