A.
Pendahuluan
Pada pembahasan kali ini , yakni
pembahasan mengenai tokoh dari mazhab Franfurt yang ketiga Jurgen Habermas,
pada perkulian yang lalu telah dijelaskan beberapa tokoh dari mazhab Frankfurt
dan Habermas adalah tokoh terakhir dari
mazhab ini. Dalam pendahuluan ini kami mencoba memulai dari sebuah pertanyaan,
apakah Jurgen Habermas dalam pemikirannya sama dengan pendahulunya, atau
berbeda dari pendahulunya dalam mazhab Frankfurt ini. Dalam makalah yang bapak
berikan minggu lalu terdapat pengertian bahwa mazhab Frankfurt ini adalah
sebuah istiah yang dipakai untuk menunjukkan sekolompok cendikiawan yang
tergabung dalam Institut fur Sozialforschung (Isntitut untuk riset
social) yang berfokus pada teori Kritis Masyarkat.
B.
Jurgen Habermas
Habermas lahir di Dusseldorf pada
tahun 1929[1]
dan besar di Gummersbach, kota kecil dari Dusseldorf, German. diusia remajanya
yang bertepatan saat berkahirnya perang dunia II, ia juga ikut merasakan
kejahatan yang ada di bangsanya, kejahatan yang dilakukan oleh rezim
nasional-sosialis Hitler. Yang dikemudian hari menjadi inspirasi baginya
mengenai pentingnya demokrasi dalam pemikiran politiknya. Dalam urusan
pendidikan ia belajar di Universitas kota Gottingen disana ia mempelajari
kesusastraan, sejarah, dan filsafat, dan ia juga mengikuti kuliah di bidang
psikologi dan ekonomi. Kemudian melanjutkan kuliah filsafat di Universitas Bonn
dan mendapat gelar “doktor filsafat” pada tahun 1954, dengan disertasi yang
berjudul Das Absolute und die geschichte (Yang Absolut dan sejarah),
yakni studi mengenai Schelling.[2]
Disamping itu ia juga aktif dalam diskusi-diskusi politik, anatar lain
perdebatan yang hangat tentang masalah persejentaan kembali (rearmament) di
Jerman setelah kata dalam Perang Dunia II. Aktivitas ini mendorong ia bergabung
dalam partai National Socialist Germany.[3]
Pada tahun 1956,
ia diangkat sebagai asisten pada isntitut fur Sozialdorschung Universitas
Frankfurt di bawah pimpinan Max Horkeimer. Di Frankfurt inilah disela-sela
kesibukanya bekerja ia berkenalan juga secara lebih mendalam dengan pemikiran
Marxisme[4].
dan di tahun 1964, ia menjadi professor di Heidelberg dan dua tahun kemudian
menggantikan Adorno sebagai professor untuk filsafat dan sosiologi di
Frankfurt.
Sebagai seorang pemikir marxis, yang
ia pelajari sehingga menjadikannya cukup dikenal oleh aktivitas gerakan
mahasiswa Frankfurt, dimana pada waktu itu tengah marak gerakan-gerakan
mahasiswa. Seperti “Neue Linke” (gerakan mahasiswa kiri Baru yang
radikal). Tidak hanya dikenal dikalangan gerakan mahasiswa, bahkan sempat
menjadi ideolognya, meski keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang pemikir
Marxis. Habermas juga sangat popular di kalangan kelompok yang menamakan
dirinya Sozialistischer Deutche Studentenbund (Kelompok Mahasiswa
Sosialis Jerman), tapi kedekatannya dengan kelompok mahasiswa beraliran kiri
radikal ini tidak lama, dikarenakan aksi-aksi mahasiswa yang terlampau melewati
batas, yang menggunakan kekerasan, dan Habermas memberikan kritiknya terhadap
mahasiswa tersebut. Atas kritikya tersebut menjadikannya harus bernasib sama
dengan pendahulunya di mazhab Frankfurt, seperti Horkheimer dan Adorno, yang terlibat
konflik dengan mahasiswa. Melalui bukunya protestbewegung und
Hochschulreform (Gerakan oposisi dan Pembahasan Perguruan Tinggi), ia
mengkritik secara pedas aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh gerakan
mahasiswa kiri. Aksi-aksi itu dikecamnya sebagai “revolusi palsu”, bentuk
pemerasan yang diulang kembali.
Akibat konfrontasi dengan mahasiswa
inilah menjadikan alasan bagi Habermas untuk mengundurkan diri dari Universitas
Frankfurt dan menerima tawara di Stanberg, ia menjadi peneliti di Max-Planck
Institut zut Erfoschung der Lebensbedingungen der Wissenschaftichischen Welt (Institut
Nax-Planck untuk penelitian Kondisi-kondisi Hidup di Dunia Teknis-Ilmiah).kemudian
di tahun 1972 ia diangkat menjadi direktur di institute tersebut.[5]
Selama 10 tahun ia bekerja di Max-Planck, yakni sampai 1981 ketika pusat
penilitian social ini terpaksa bubar, setelah stafnya tidak berhasil mencapai
kesepakatan tentang arah perkembangan selanjutnya. 10 tahun bekerja di Stanberg
menjadikan pemikiran filosis Habermas mencapai tahap kematangan. Dibuktikan
dengan diterbitkannya buku-buku, dan puncak seluruh usaha ilmianya adalah theorie
des kommunikativen handelns (teori tentang praksis komunikatif), du jilid,
karya yang meliputi 1200 halaman ini merupakan suatu teori menyeluruh tentang
kehidupan social yang pantas disejajarkan dengna karya-karya para sosiolog
besat seperti Max Weber dan Talcott Parsons.[6]
Setelah institut Max-Planck ditutup,
Habermas memutuskan untuk kembali ke Frankfurt sebagai professor filsafat. Ia
mengaar di Universitas Frankfurt sampai memasuki masa pensiunnya pada tahun
1994[7],
dan reputasi telah diakui di dunia internasioanl sehingga banyak tawaran untuk
menjadi pembicara pada pertemuan ilmiah di luar negeri. setelah ia pensiun ia
kembali ke Stanberg dan tinggal disana.[8]
C.
Epistemologi Jurgen Habermas
Pemikiran Habermas terbentuk dilatar
belakangi oleh sebuah dialektika. Dialektika dengan pemikiran Marxian dan
utamanya mazhab Frankfurt, dan sebuah aliran neo-marxisme juga. Habermas
berusaha untuk mengatasi segala bentuk kemacetan yang telah diurai oleh Mazhab
Frankfurt, menurutnya dalam teori kritis setidaknya ada enam tema, yaitu: bentuk-bentuk
integrasi social masyarakt post-liberal, sosialisasi dan perkembangna ego,
media massa dan kebudayaan massa, psikologi social protes, teori seni dan
kritik atas positivesme. Keenam tema penting inilah yang menjadi inspirasi bagi
gerakan mahasiswa yang dikenal dnegan “The New Left Movement”.
Dari segi
epistemology, Teori Kritis itu berupaya untuk melakukan kritik atas masalah
positivism dalam ilmu-ilmu social, yang beranggapan bahwa ilmu-ilmu social itu
bebas nilai (value-free),dan mereka terlepas dari praktik sosial dan
moralitas, dapat dipakai untuk prediksi, bersifat obyektif dan sebagainya.
Akibatnya menimbulkan putusan bahwa pengentahuna yang dianggap benat hanyalah
pengetahuan ilmiah dan pengetahuan semacam itu diperoleh dari metode ilmu-ilmu
lama. Oleh karena itulah Teori Kritik mengkritik bahwa anggapan tersebut
merupakan sebagai(ilmu) yang menyebunyikan dukungan terhadap status quo masyarakat
dibalik kedok obyektivitas. Keyataan inilah oleh Horkheimer dikatakan bahwa
tidak lain digunakan sebagai Ideologi. Yang kemudian melahirkan perdebatan
panjang antara Positivisme yang diwkaili oleh Karl R. Popper dengan Teodor W.
Adorno dari mazhab Franfurt. Dan dilajutkan oleh murid-muridnya dari positivime
diwakili oleh Hans Albert dan dari Mazhab Franfurt diwakili oleh Jurgen Habermas.
Menjawab kritik yang dilontakan oleh
positivesme yang menganggap bahwa ilmu-ilmu social itu bebas nilai. Habemas,
yang kemudian menyempurnakan pendasaran epistemologi teori kritis yaitu teori
yang memihak pada praxis emansipatoris masyarakat, mengatakan bahwa
segala bentuk ilmu harus dialamatkan kepada kepentingan kognitif, sehingga ia
tidak bebas nilai. Setiap ilmu dan teori apapun harus memilki pertautan dengan
nilai dan kepentingan.[9]
Kembali pada subjudul mengenai
epistemologi Habermas dengann mendasarkan diri pada fenomenologi Edmund
Husserl, Habermas melakukan kritik atas krisisnya ilmu pengetahuan. Dalam
pemahaman Husserl, krisis ilmu pengetahuan itu dikatikan dengan teori, karena
konsep teori sejati telah dilupakan oleh banyak disiplin yang maju dalam
kebudayaan ilmiah dewasa ini. Kritik Husserl dilakukan dengan 3 langkah; Pertama, ilmu telah
berkembang menjadi objektivitas semu, yaitu sebagai cara berpikir yang
memandnag dunia sebagai susunan fakta-fakta obyektif, kedua, subyek atau
kesadaran manusia telah menjadi penafsiran yang melaui obyektifitis, dan ketiga,
krisis disebabkan oleh kesalahan disiplin-disiplin ilmiah terhadap konsep
teori sejati. Dalam hal ini Habermas selaras dengan kritik yang lontorkan oleh
Husserl dalam tiga langkah tersebut, namun Habermas menghapus langkah yang
ketiga yakni konsep teori sejati, ia tidak setuju dengan tujuan akhir dari
fenomenologi yang dari konsep teori sejati ini menghasilkan teori murni yang
diyakini juga bahwa teori murni tersebut dapat diterpkan pada praktik.
Dalam hal ini Husserl bisa dikatakan
berhasil mengkritik positivesme, namun Hussel tidak melihat kaitan positivism
dan ontologi dalam pemahaman teori
murninya. Oleh karena itu Habermas mencoba mengembalikan pendasaran
epistemologinya pada konsep asli tentang “Theoria” yang artinya
kontemplasi dengan kosmos atau realitas, yang berakar pada tradisi kontemplasi
Yunani Kuno. Melalui kontemplasi inilah filsuf dapat memisahkan unsur-unsur yag
tetap dan yang berubah-ubah. Usaha untuk menemukan tatanan yang abadi di dalam
kosmos dan seluruh relaitas itulah yang merupakan dasar proses perubahan teori
menjadi ontologi. Yang ingin dicapai oleh ontologi adalah sebuah penjelasan
obyektif tentang seluruh realiatas, atau dengan jata lain, teori murni.[10]
D.
Pemikiaran Filosofis
Untuk memahami pemikiran filosfisnya
Habermas K. Bertens membagi menjadi tiga tahap, tahap pertama yakni antara
tahun 1960 sampai 1970, di tahun ini Habermas bergumul dengan teori ilmu
pengetahuan dan ia masih mencari-cari dalam memecahkan masalah-masalah yang
digelutinya. Tahap kedua di tahun 1970 sampai 1981, ia memilih pendekatan lain
untuk mempelajari praksis komukatif atau realitas sosial. Yaitu unsur-unsur
dari filsafat bahasa anglosakon dan sedikit demi sedikit mempersiapkan fondasi
untuk analisis kritiknya tentang masyarakat.dan tahap terakhir ditahun 1981 ia
menyajikan pemikirannya yang matang dan menyeluruh tentang realitas
kemasyarakatan.
1.
tahap pertama 1960-1970
Diperiode ini Habermas dikatakan
tidak berhasil, karena ia tidak bisa memperlihatkan mengapa masyarakat bebas-penguasan lebih baik dari
masyarakat tirani dan mengapa harus mewujudkan masyarakat bebas-penguasan dan
menolak masyarakat tirani. Sehingga ia tidak mampu menyediakan dasar normatid
yang meyakinkan analisisnya. Ini dimulai saat ia mengkritik positivisme tentang
ilmu pengetahuan dan ia berusaha menghidupkan kembali pemikiran marx dalam
mengerti ilmu pengetahuan dengan lebih kritism sambil mengiktui jejak Max
Horkheimer dan Theodor Adorno. Dalam buku pengenalan dan kepentingan
manusiawi, memaparkan bahwa manusia tidaklah memperoleh pengetahuan beru
berdasarkan suatu hubungan netral terhdapa kenyataan, tatapi manusia dalam
memperoleh pengetehuan baru mereka selalu di tuntun oleh
kepentingan-kepentingan tertentu.
Habermas membagi kepentingan menjadi
tiga macam kepentingan; kepentingan pengenalan teknis, kepentingan pengenalan
praktis, dan kepentingan pengenalan emasipatoris. Pengenalan berdasarkan
Kepentingan pengenalan teknis adalah pengenalan ilmu alam dan pengenalan
social-teknologis, yang hanya dapat dipakai untuk memecahkan masalah-masalah
teknis, tapi tidak berguna untuk melestarikan proses-proses komunikatif atau
mengurangi ketidaksamaan kuasa. Kemudian pengenalan berdadarkan kepentingan
pengenalan praktis, misalnya pengenalan tentang masa lampau yang dicari dlam
ilmu sejarah dan pengertian diupayakan dalam ilmu-ilmu hermeneutism tetapi
pengenalan semacam ini tidak dapat dipakai untuk memecahkan masalah-masalah
teknis tetapi cocok untuk tujuan komunikatif, dan terkahit pengenalan
berdasatkan kepentingan pengenalan emansipatoris, seperti pengertian
psikoanalitik dan teori-teori kritik tentang masyarakat, yang terarah pada
emansipasi dan pembebasan dari keadaan kekuasaan serta ketergantungan. Dari
ketiga pengenalan keperntingan ini Habermas memasukkan positivisme kedalam
kepentingan pengenalam teknis. Yang bisa
diartikan bahwa positivisme hanya mampu menyelesaikan kepentingan teknis yang
tidak mampu menyelesaikan dalam hal
komunikatif.
2.
Tahap Kedua 1970-1981
Dalam periode ini ada tiga unsur
yang menjadi pemikiran penting dan kemudian menjadi unsur-unsur yang hakiki
dalam menciptkan sinstesis besar dari karya utamanya tahun 1981.
a.
Teori Perbuatan-tutur
Alasan kenapa Habermas keberatan
dengan pemikiran Positivisme adalah bahwa mereka mengabaikan logika khusus dari
proses-proses komunikatif. Pada periode
yang kedua ini Habermas berfokus pada struktur praksis komunikatif. Dalam
periode ini ia berhasil dan secara rinci menganilisis struktur praksis
komunikatif tersebut, dan khususnya tentang pengandaian-pengandaian normative
yang berperan didalamnya, dengan memanfaatkan filsafat bahasa Anglosakson. Dari
praksis komunikatif ini Habermas menjadi mengerti tentang keseluruhan perbuatan
manusia yang bertujuan mencapai persetujuan dengan orang lain dalam konteks
kemasyarkatan.
Praksis komunikatif ini harus
dibedakan dari praksis instrumental (atau pekerjaan), misalnya menciptakan
hubungan paling cepat atau paling ekonomis antara dua kelompok. Selanjutnya
praktis komunikatif juga harus dibedakan dengan praksis strategis. Lebih lanjut
Habermas menjelaskan, memang benar praksis strategis ini berhubugan dengan
orang lain, tetapi bukan demi tercapainya persetujuan dengan mereka, melainkan
demi terlaksanakaannya suatu tujuan pribadi. Dalam praksis strategis ini ia
membaginya menjadi dua, yakni; praksis strategis terbuka, seperti persaingan
antar pelaku-pelaku bisnis di pasaran yang sama, dan praksis strategi
tersembunyi seperti memeras uang dari seseorang dengan membohongi dia.
Teori
perbuatan-tutur (speech acts) diadopsi dari John Austin dan John Searle.
Inti dari pemikiran mereka adalah bahwa berbahasa atau berbicara harus
dimengerti sebagai melakukan perbuatn-perbuatan yang tertentu. Artinya setiap
perbuatan didalamnya terdapat du bagaian; bagian proposional yang menunjukan
fakta atau kenyataan tertentu dan bagian performatif, di mana si penutur
menjelaskan bagaimana kenyataan itu harus dipahami oleh si pendengar. Contoh
kata-kata “saya melarang saudara merokok di ruangan ini”, bagian proposional
adalah “merokok” (=menghisap rokok dari tembakau yang digulung dengan cara
ternetu), dan bagian performatifnya adalah melarang (untuk merokok).[11]
b.
teori argumentasi
Menurut Habermas yang dapat disebut
benar adalah ucapan-ucapan yang diterima berdasarkan konsesus rasional di
antara semua pihak yang bersangkutan. Selanjutnya Consensus bisa dikatakan
rasional jika semua peserta diskusi dapat mengemukakan semua argument yang
relevan pada saat itu. Jika syarat-syarat tersebut dipenuhi maka consensus
tersebut bisa dikatakan sebagai consensus rasional, asalkan disertai dengan
argument-argumen yang terbaik. Lalu bagaiamana argument-argumen terbaik
tersebut dapat menyakinkan. Maka syarat-sayarat yang harus dipenuhi adalah
dibutuhkan situasi percakapan yang ideal (the Ideal Speech situation). Situasi
yang tidak terdistorsi sedikit pun ini terwujud, jika;
·
Semua peserta
mempunyai peluang yang sama untuk memulai suatu diskusi dan dalam diskusi itu
mempunyai peluang yang sama untuk mengemukakan argument-argumen dan mengkritik
argument-argumen lain;
·
Diantara peserta
tidak ada perbedaan kekuasaaan yang dapat menghindari bahwa argument-argumen
yang mungkin relevan sungguh-sungguh diajukan juga;
·
Semua peserta
mengungkapkan pemikirannya dengan ikhlas, sehingga tidak mungkin terjadi yang
satu memanipulasi yang lain tanpa disadarinya.
c.
teori evolusi sosial
Unsur terakhir dalam pemikiran
habemas di periode kedua ini adalah pembentuka suatu kerangka teoritis tentang
evolusi masyarakat di mana ditinggalkan optimism filsafat sejarah unlinier
(=berbentuk garis lurus)yang menandai tradisi marxisme, tapi tetap
dipertahankan paham ‘kemajuan” dalam
konteks perkembangan masyarakat dan sejarah. Inti dari teori evolusi sosial
adalah perbedaan antar dua macam proses belajar; di satu pihak proses-proses
belajar teknis yang membawakan penguasa alam lebih besar dan peningkatan
produktivitas kerja dan di pihak lain proses-proses belajar komunikatif yang
menghasilkan perbaikan kualitas komunikatif dari ralasi-relasi diantara
manusia.
3.
tahap ketiga 1981
Dikatakan bahwa Habermas adalah ahli
waris marxisme barat, berbeda dari pendekatan marxisme ortodoks yang memusatkan
analisisnya pada basis ekonomi, teori krits mengarahkan diri pada “
gejala-gejala seperstruktur” dengan menyingkap watak ideologis dari proses
rasionalisasi dalam modernitas kapitalistis. horkheimer, Adorno dan Marcuse
yang menjadi tokoh dari tradisi ini, meneruskan warisan kritik ideology Karl
Marx dalam bentuk ktitik atas rasionalitas. Dan figure terakhir yang meneruskan
tradisi ini adalah Jurgen Habermas yang
sedikit memberi nuansa baru dalam teori kritis dengan mengubahnya menjadi teori
tindak komunikatif. Menurutnya revolusi masih mungkin terjadi di dlam masyarakat
kapitalis barat. Misalnya dalam karya mamutnya theorie des komunitiven
handels (teori tindakan komunikatif0, ia melancarkan kritiknya atas
kapitalis dengan menunjukkan “patologi-patologi” modernitas kapitalistis
sebagai bentuk “kolonisasi” sistem birokrasi dan ekonomi ata dunia-kehidupan
sosiokultural.[12]
Dikatakan bahwa buku tersebut adalah buku terakhir yang berisi tentang
kapitalis dari seorang Habermas, mungkin deikarenakan perang dingin antara
kapitalis dan komunis sudah mereda sehingga tidak ada lagi buku yang berisi
tentang kritik atas kapitalis. Kemudian di tahun 1990 ia mengalihkan pusat
perhatiannya dari teori kritik menjadi diskursus etika.. kritik tidak lagi
dipahami sebagai konstruksi ilmiah yang mencurigai ideology, melainkan sebgai
bagian dari proses mencapai consensus tanpa paksaan. Kritik mentransormasikan
menjadi teori normative tentang demokrasi.
E.
Tranformasi Kritik menjadi Diskursus
Apa yang melatar belakangi pemikiran
Habermas dari kritik menjadi diskursus, sorang kritikus, Jozef Keulartz,
mengatakan bahwa Habermas sebenarnya menemui jalan buntu dalam bukunya Erkenntnis
und Interesse dalam buku ini, kritik sebagai kritik ideology
mengkombinasikan konsep kritik Marxian (kritik atas kesadaran palsu) dan konsep
kritik Freudian (kritik atas represi Pkisis) dengan titik berat pada model
dialog-dialog terapeutis antara analis dan pasien dalam praksis psikoanalisis).
Dengan mentranformasikan kritik
menjadi diskursus ini Habermas dapat memperluas konteks Teori Kritisnya
melampaui tembok-tembok disiplin-disiplin ilmiah. Yang akhirnya mengarah pada
permasalahan tentang demokrasi. Dan mencapai puncamya dengan terbitnya buku Fuktizitat
und Geltung (fakta dan kesahihan). Buku ini adalah suatu aplikasi kritik
sebgai diskursus dalam konteks teori tentang negara hukum demokrasi.[13]
F.
Etika Diskursus Habermas
Anggapan
Kant bahwa sebuah norma hanya berlaku secara moral apabila diuniversalisasikan
menjadi titik tolak etika diskursus Habermas. Namun Habermas menolak cara Kant
memastikan keberlakuan universal itu. Habermas mengkritik cara ini sebagai
monologis. Baginya, tidaklah benar apabila kesadaran moral individu menjadi
tolak ukur pembenaran keharusan moral. Yang menentukan keberlakuan universal
keharusan moral adalah apa yang dapat disepakati sebagai normatif dalam sebuah
pembicaraan bersama. Dengan demikian Habermas melakukan sebuah perubahan
paradigma radikal dari ‘filsafat subjek’ ke’ filsafat komunikasi’, dari
filsafat kesadaran ke filsafat bahasa.
Dengan
pertimbangan di atas, maka Habermas menggantikan imperatif kategoris dengan
prinsip penguniversalisasian “U” berikut:
“Sebuah
norma moral hanya boleh dianggap sah kalau “akibat-akibat dan efek-efek
sampingan yang diperkirakan akan mempengaruhi pemuasan kepentingan siapa saja
andaikata norma itu ditaati secara umum, dapat disetujui tanpa paksaan oleh
semua.”
Untuk
memastikan semua yang bersangkutan menyetujui akibat dan efek-efek dari norma
itu apabila diberlakukan secara universal hanya bisa melalui satu cara yang
wajar yakni diskursus argumentatif bersama. Hal ini dirumuskan Habermas dalam Prinsip
Etika Diskursus “D” berikut:
“hanya
norma-norma yang disetujui (dapat disetujui) oleh semua yang bersangkutan
sebagai peserta sebuah diskursus praktis boleh dinggap sah.”[14]
Lalu
timbul pertanyaan bagaimana norma-norma moral dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional? Menurutnya, hanya norma yang dapat diberlakukan secara
universal dapat dianggap bersifat moral. Lalu keberlakuan sebuah norma moral
dapat dipertanggungjawabkan secara rasional apabila disetujui oleh semua yang
terlibat dalam diskursus moral.[15]
G.
Demokrasi dilebaratif dan ruang publik
Dalam perubahan dari kritik ke
diskursus ini habermas masih tetap konsisten pada pemikirannya dalam tesis
awalnya dalam Theorie des kommunikativen handels, bahwa msyarakat – termasuk masyarkat kmpleks
dewasa ini – hanya dapat terintegrasi melalui tindakan komunikatif. Dalam
diskursusu ini habermas memunculkan sebuah teori tentak demokrasi deliberative
yakni suatu upaya untuk merekonstruksi proses komunikasi dalam konteks negara
demokratis.
Demikrasi deliberative ini ingin
meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam prose pembentukan
aspirasi dan opini agar kebijakan-kebijakan dan undang-unfang yang dihasilkan
oleh pihak pemerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah. Dengan
proses dilebarasi lewat diskursus publik itu merupakan jalan untuk
merealisasikan konsep demokrasi itu sendiri, yakni Regierung der regierten (pemerintahan
oleh yang diperintah). Dalam demokrasi
dilebaratif ini yang menjadi penting adalah prosedur atau bagaimana cara opini
mayoritas dalam proses pengambilan keputusan publik itu diperoleh. Berbeda
dengan pengertian demokrasi klasik yang mementingkan produk huku dan ripada
proses legislasi hukum.[16]
Daftar
Pustaka
Santoso,
Listiyono dkk. Epistemologi Kiri. Jogjakarta; Ar-Ruzz Media, 2009
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer
Inggris-jerman, Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama, 2002
Suseno, Franz magniz-, 12 Tokoh Etika abad ke-20,
Jojakarta, Kanisius, 2004
hardiman, F. Budi, filsafat Fragmentaris, Jogjakarta;
Kanisius, 2011
[1] Dalam literature lain
dijelaskan bahwa Jurgen Habermas dilahirkan di jerman 18 Juni 1929, Listiyono
Santoso , dkk, Epistemologi Kiri, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2009),
cet. VII, h. 219
[2] K. Bertens, Filsafat Barat
Kontemporer Inggris-jerman, (Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama, 2002), cet. Ke
4, h. 236
[3] Listiyono Santoso , dkk, Epistemologi
Kiri, h. 220
[4] K. Bertens, Filsafat Barat
Kontemporer Inggris-jerman, h. 236
[5] Listiyono Santoso , dkk, Epistemologi
Kiri, h. 221
[6] K. Bertens, Filsafat Barat
Kontemporer Inggris-jerman, h. 241
[7] K. Bertens, Filsafat Barat
Kontemporer Inggris-jerman, h. 241
[8] Franz magniz-suseno, 12 Tokoh Etika abad
ke-20, (Jojakarta, Kanisius, 2004), cet. IV, h. 215
[9] Listiyono Santoso , dkk, Epistemologi
Kiri, h. 224-225
[10] Listiyono Santoso , dkk, Epistemologi
Kiri, h. 231-232
[11] Franz magniz-suseno, 12 Tokoh Etika abad
ke-20, (Jojakarta, Kanisius, 2004), cet. IV, h. 244-245
[12] F. Budi hardiman, filsafat
Fragmentaris, (Jogjakarta; Kanisius, 2011), cet. V, h. 115-116
[13] F. Budi hardiman, filsafat
Fragmentaris, (Jogjakarta; Kanisius, 2011), cet. V, h. 116-118
[14] Frans Magnis – Suseno, 12
Tokoh Etika Abad ke-20, (Jakarta: Kanisius, 2000) hal. 226
[15] Ibid, hal. 232
0 komentar:
Posting Komentar