Jumat, 07 Juni 2013

Jurgen Habermas



A. Pendahuluan
            Pada pembahasan kali ini , yakni pembahasan mengenai tokoh dari mazhab Franfurt yang ketiga Jurgen Habermas, pada perkulian yang lalu telah dijelaskan beberapa tokoh dari mazhab Frankfurt dan  Habermas adalah tokoh terakhir dari mazhab ini. Dalam pendahuluan ini kami mencoba memulai dari sebuah pertanyaan, apakah Jurgen Habermas dalam pemikirannya sama dengan pendahulunya, atau berbeda dari pendahulunya dalam mazhab Frankfurt ini. Dalam makalah yang bapak berikan minggu lalu terdapat pengertian bahwa mazhab Frankfurt ini adalah sebuah istiah yang dipakai untuk menunjukkan sekolompok cendikiawan yang tergabung dalam Institut fur Sozialforschung (Isntitut untuk riset social) yang berfokus pada teori Kritis Masyarkat.
B. Jurgen Habermas
            Habermas lahir di Dusseldorf pada tahun 1929[1] dan besar di Gummersbach, kota kecil dari Dusseldorf, German. diusia remajanya yang bertepatan saat berkahirnya perang dunia II, ia juga ikut merasakan kejahatan yang ada di bangsanya, kejahatan yang dilakukan oleh rezim nasional-sosialis Hitler. Yang dikemudian hari menjadi inspirasi baginya mengenai pentingnya demokrasi dalam pemikiran politiknya. Dalam urusan pendidikan ia belajar di Universitas kota Gottingen disana ia mempelajari kesusastraan, sejarah, dan filsafat, dan ia juga mengikuti kuliah di bidang psikologi dan ekonomi. Kemudian melanjutkan kuliah filsafat di Universitas Bonn dan mendapat gelar “doktor filsafat” pada tahun 1954, dengan disertasi yang berjudul Das Absolute und die geschichte (Yang Absolut dan sejarah), yakni studi mengenai Schelling.[2] Disamping itu ia juga aktif dalam diskusi-diskusi politik, anatar lain perdebatan yang hangat tentang masalah persejentaan kembali (rearmament) di Jerman setelah kata dalam Perang Dunia II. Aktivitas ini mendorong ia bergabung dalam partai National Socialist Germany.[3]
            Pada tahun 1956, ia diangkat sebagai asisten pada isntitut fur Sozialdorschung Universitas Frankfurt di bawah pimpinan Max Horkeimer. Di Frankfurt inilah disela-sela kesibukanya bekerja ia berkenalan juga secara lebih mendalam dengan pemikiran Marxisme[4]. dan di tahun 1964, ia menjadi professor di Heidelberg dan dua tahun kemudian menggantikan Adorno sebagai professor untuk filsafat dan sosiologi di Frankfurt.
            Sebagai seorang pemikir marxis, yang ia pelajari sehingga menjadikannya cukup dikenal oleh aktivitas gerakan mahasiswa Frankfurt, dimana pada waktu itu tengah marak gerakan-gerakan mahasiswa. Seperti “Neue Linke” (gerakan mahasiswa kiri Baru yang radikal). Tidak hanya dikenal dikalangan gerakan mahasiswa, bahkan sempat menjadi ideolognya, meski keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang pemikir Marxis. Habermas juga sangat popular di kalangan kelompok yang menamakan dirinya Sozialistischer Deutche Studentenbund (Kelompok Mahasiswa Sosialis Jerman), tapi kedekatannya dengan kelompok mahasiswa beraliran kiri radikal ini tidak lama, dikarenakan aksi-aksi mahasiswa yang terlampau melewati batas, yang menggunakan kekerasan, dan Habermas memberikan kritiknya terhadap mahasiswa tersebut. Atas kritikya tersebut menjadikannya harus bernasib sama dengan pendahulunya di mazhab Frankfurt, seperti Horkheimer dan Adorno, yang terlibat konflik dengan mahasiswa. Melalui bukunya protestbewegung und Hochschulreform (Gerakan oposisi dan Pembahasan Perguruan Tinggi), ia mengkritik secara pedas aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa kiri. Aksi-aksi itu dikecamnya sebagai “revolusi palsu”, bentuk pemerasan yang diulang kembali.
            Akibat konfrontasi dengan mahasiswa inilah menjadikan alasan bagi Habermas untuk mengundurkan diri dari Universitas Frankfurt dan menerima tawara di Stanberg, ia menjadi peneliti di Max-Planck Institut zut Erfoschung der Lebensbedingungen der Wissenschaftichischen Welt (Institut Nax-Planck untuk penelitian Kondisi-kondisi Hidup di Dunia Teknis-Ilmiah).kemudian di tahun 1972 ia diangkat menjadi direktur di institute tersebut.[5] Selama 10 tahun ia bekerja di Max-Planck, yakni sampai 1981 ketika pusat penilitian social ini terpaksa bubar, setelah stafnya tidak berhasil mencapai kesepakatan tentang arah perkembangan selanjutnya. 10 tahun bekerja di Stanberg menjadikan pemikiran filosis Habermas mencapai tahap kematangan. Dibuktikan dengan diterbitkannya buku-buku, dan puncak seluruh usaha ilmianya adalah theorie des kommunikativen handelns (teori tentang praksis komunikatif), du jilid, karya yang meliputi 1200 halaman ini merupakan suatu teori menyeluruh tentang kehidupan social yang pantas disejajarkan dengna karya-karya para sosiolog besat seperti Max Weber dan Talcott Parsons.[6]
            Setelah institut Max-Planck ditutup, Habermas memutuskan untuk kembali ke Frankfurt sebagai professor filsafat. Ia mengaar di Universitas Frankfurt sampai memasuki masa pensiunnya pada tahun 1994[7], dan reputasi telah diakui di dunia internasioanl sehingga banyak tawaran untuk menjadi pembicara pada pertemuan ilmiah di luar negeri. setelah ia pensiun ia kembali ke Stanberg dan tinggal disana.[8]
C. Epistemologi Jurgen Habermas
            Pemikiran Habermas terbentuk dilatar belakangi oleh sebuah dialektika. Dialektika dengan pemikiran Marxian dan utamanya mazhab Frankfurt, dan sebuah aliran neo-marxisme juga. Habermas berusaha untuk mengatasi segala bentuk kemacetan yang telah diurai oleh Mazhab Frankfurt, menurutnya dalam teori kritis setidaknya ada enam tema, yaitu: bentuk-bentuk integrasi social masyarakt post-liberal, sosialisasi dan perkembangna ego, media massa dan kebudayaan massa, psikologi social protes, teori seni dan kritik atas positivesme. Keenam tema penting inilah yang menjadi inspirasi bagi gerakan mahasiswa yang dikenal dnegan “The New Left Movement”.
            Dari segi epistemology, Teori Kritis itu berupaya untuk melakukan kritik atas masalah positivism dalam ilmu-ilmu social, yang beranggapan bahwa ilmu-ilmu social itu bebas nilai (value-free),dan mereka terlepas dari praktik sosial dan moralitas, dapat dipakai untuk prediksi, bersifat obyektif dan sebagainya. Akibatnya menimbulkan putusan bahwa pengentahuna yang dianggap benat hanyalah pengetahuan ilmiah dan pengetahuan semacam itu diperoleh dari metode ilmu-ilmu lama. Oleh karena itulah Teori Kritik mengkritik bahwa anggapan tersebut merupakan sebagai(ilmu) yang menyebunyikan dukungan terhadap status quo masyarakat dibalik kedok obyektivitas. Keyataan inilah oleh Horkheimer dikatakan bahwa tidak lain digunakan sebagai Ideologi. Yang kemudian melahirkan perdebatan panjang antara Positivisme yang diwkaili oleh Karl R. Popper dengan Teodor W. Adorno dari mazhab Franfurt. Dan dilajutkan oleh murid-muridnya dari positivime diwakili oleh Hans Albert dan dari Mazhab Franfurt diwakili oleh Jurgen Habermas.
            Menjawab kritik yang dilontakan oleh positivesme yang menganggap bahwa ilmu-ilmu social itu bebas nilai. Habemas, yang kemudian menyempurnakan pendasaran epistemologi teori kritis yaitu teori yang memihak pada praxis emansipatoris masyarakat, mengatakan bahwa segala bentuk ilmu harus dialamatkan kepada kepentingan kognitif, sehingga ia tidak bebas nilai. Setiap ilmu dan teori apapun harus memilki pertautan dengan nilai dan kepentingan.[9]                                                                       
            Kembali pada subjudul mengenai epistemologi Habermas dengann mendasarkan diri pada fenomenologi Edmund Husserl, Habermas melakukan kritik atas krisisnya ilmu pengetahuan. Dalam pemahaman Husserl, krisis ilmu pengetahuan itu dikatikan dengan teori, karena konsep teori sejati telah dilupakan oleh banyak disiplin yang maju dalam kebudayaan ilmiah dewasa ini. Kritik Husserl dilakukan dengan 3  langkah; Pertama, ilmu telah berkembang menjadi objektivitas semu, yaitu sebagai cara berpikir yang memandnag dunia sebagai susunan fakta-fakta obyektif, kedua, subyek atau kesadaran manusia telah menjadi penafsiran yang melaui obyektifitis, dan ketiga, krisis disebabkan oleh kesalahan disiplin-disiplin ilmiah terhadap konsep teori sejati. Dalam hal ini Habermas selaras dengan kritik yang lontorkan oleh Husserl dalam tiga langkah tersebut, namun Habermas menghapus langkah yang ketiga yakni konsep teori sejati, ia tidak setuju dengan tujuan akhir dari fenomenologi yang dari konsep teori sejati ini menghasilkan teori murni yang diyakini juga bahwa teori murni tersebut dapat diterpkan pada praktik.          
            Dalam hal ini Husserl bisa dikatakan berhasil mengkritik positivesme, namun Hussel tidak melihat kaitan positivism dan ontologi  dalam pemahaman teori murninya. Oleh karena itu Habermas mencoba mengembalikan pendasaran epistemologinya pada konsep asli tentang “Theoria” yang artinya kontemplasi dengan kosmos atau realitas, yang berakar pada tradisi kontemplasi Yunani Kuno. Melalui kontemplasi inilah filsuf dapat memisahkan unsur-unsur yag tetap dan yang berubah-ubah. Usaha untuk menemukan tatanan yang abadi di dalam kosmos dan seluruh relaitas itulah yang merupakan dasar proses perubahan teori menjadi ontologi. Yang ingin dicapai oleh ontologi adalah sebuah penjelasan obyektif tentang seluruh realiatas, atau dengan jata lain, teori murni.[10]
D. Pemikiaran Filosofis
            Untuk memahami pemikiran filosfisnya Habermas K. Bertens membagi menjadi tiga tahap, tahap pertama yakni antara tahun 1960 sampai 1970, di tahun ini Habermas bergumul dengan teori ilmu pengetahuan dan ia masih mencari-cari dalam memecahkan masalah-masalah yang digelutinya. Tahap kedua di tahun 1970 sampai 1981, ia memilih pendekatan lain untuk mempelajari praksis komukatif atau realitas sosial. Yaitu unsur-unsur dari filsafat bahasa anglosakon dan sedikit demi sedikit mempersiapkan fondasi untuk analisis kritiknya tentang masyarakat.dan tahap terakhir ditahun 1981 ia menyajikan pemikirannya yang matang dan menyeluruh tentang realitas kemasyarakatan.
1. tahap pertama 1960-1970
            Diperiode ini Habermas dikatakan tidak berhasil, karena ia tidak bisa memperlihatkan mengapa  masyarakat bebas-penguasan lebih baik dari masyarakat tirani dan mengapa harus mewujudkan masyarakat bebas-penguasan dan menolak masyarakat tirani. Sehingga ia tidak mampu menyediakan dasar normatid yang meyakinkan analisisnya. Ini dimulai saat ia mengkritik positivisme tentang ilmu pengetahuan dan ia berusaha menghidupkan kembali pemikiran marx dalam mengerti ilmu pengetahuan dengan lebih kritism sambil mengiktui jejak Max Horkheimer dan Theodor Adorno. Dalam buku pengenalan dan kepentingan manusiawi, memaparkan bahwa manusia tidaklah memperoleh pengetahuan beru berdasarkan suatu hubungan netral terhdapa kenyataan, tatapi manusia dalam memperoleh pengetehuan baru mereka selalu di tuntun oleh kepentingan-kepentingan tertentu.          
            Habermas membagi kepentingan menjadi tiga macam kepentingan; kepentingan pengenalan teknis, kepentingan pengenalan praktis, dan kepentingan pengenalan emasipatoris. Pengenalan berdasarkan Kepentingan pengenalan teknis adalah pengenalan ilmu alam dan pengenalan social-teknologis, yang hanya dapat dipakai untuk memecahkan masalah-masalah teknis, tapi tidak berguna untuk melestarikan proses-proses komunikatif atau mengurangi ketidaksamaan kuasa. Kemudian pengenalan berdadarkan kepentingan pengenalan praktis, misalnya pengenalan tentang masa lampau yang dicari dlam ilmu sejarah dan pengertian diupayakan dalam ilmu-ilmu hermeneutism tetapi pengenalan semacam ini tidak dapat dipakai untuk memecahkan masalah-masalah teknis tetapi cocok untuk tujuan komunikatif, dan terkahit pengenalan berdasatkan kepentingan pengenalan emansipatoris, seperti pengertian psikoanalitik dan teori-teori kritik tentang masyarakat, yang terarah pada emansipasi dan pembebasan dari keadaan kekuasaan serta ketergantungan. Dari ketiga pengenalan keperntingan ini Habermas memasukkan positivisme kedalam kepentingan pengenalam teknis.  Yang bisa diartikan bahwa positivisme hanya mampu menyelesaikan kepentingan teknis yang tidak mampu menyelesaikan  dalam hal komunikatif.
2. Tahap Kedua 1970-1981
            Dalam periode ini ada tiga unsur yang menjadi pemikiran penting dan kemudian menjadi unsur-unsur yang hakiki dalam menciptkan sinstesis besar dari karya utamanya tahun 1981.
a. Teori Perbuatan-tutur
            Alasan kenapa Habermas keberatan dengan pemikiran Positivisme adalah bahwa mereka mengabaikan logika khusus dari proses-proses komunikatif.  Pada periode yang kedua ini Habermas berfokus pada struktur praksis komunikatif. Dalam periode ini ia berhasil dan secara rinci menganilisis struktur praksis komunikatif tersebut, dan khususnya tentang pengandaian-pengandaian normative yang berperan didalamnya, dengan memanfaatkan filsafat bahasa Anglosakson. Dari praksis komunikatif ini Habermas menjadi mengerti tentang keseluruhan perbuatan manusia yang bertujuan mencapai persetujuan dengan orang lain dalam konteks kemasyarkatan.
            Praksis komunikatif ini harus dibedakan dari praksis instrumental (atau pekerjaan), misalnya menciptakan hubungan paling cepat atau paling ekonomis antara dua kelompok. Selanjutnya praktis komunikatif juga harus dibedakan dengan praksis strategis. Lebih lanjut Habermas menjelaskan, memang benar praksis strategis ini berhubugan dengan orang lain, tetapi bukan demi tercapainya persetujuan dengan mereka, melainkan demi terlaksanakaannya suatu tujuan pribadi. Dalam praksis strategis ini ia membaginya menjadi dua, yakni; praksis strategis terbuka, seperti persaingan antar pelaku-pelaku bisnis di pasaran yang sama, dan praksis strategi tersembunyi seperti memeras uang dari seseorang dengan membohongi dia.
Teori perbuatan-tutur (speech acts) diadopsi dari John Austin dan John Searle. Inti dari pemikiran mereka adalah bahwa berbahasa atau berbicara harus dimengerti sebagai melakukan perbuatn-perbuatan yang tertentu. Artinya setiap perbuatan didalamnya terdapat du bagaian; bagian proposional yang menunjukan fakta atau kenyataan tertentu dan bagian performatif, di mana si penutur menjelaskan bagaimana kenyataan itu harus dipahami oleh si pendengar. Contoh kata-kata “saya melarang saudara merokok di ruangan ini”, bagian proposional adalah “merokok” (=menghisap rokok dari tembakau yang digulung dengan cara ternetu), dan bagian performatifnya adalah melarang (untuk merokok).[11]

b. teori argumentasi
            Menurut Habermas yang dapat disebut benar adalah ucapan-ucapan yang diterima berdasarkan konsesus rasional di antara semua pihak yang bersangkutan. Selanjutnya Consensus bisa dikatakan rasional jika semua peserta diskusi dapat mengemukakan semua argument yang relevan pada saat itu. Jika syarat-syarat tersebut dipenuhi maka consensus tersebut bisa dikatakan sebagai consensus rasional, asalkan disertai dengan argument-argumen yang terbaik. Lalu bagaiamana argument-argumen terbaik tersebut dapat menyakinkan. Maka syarat-sayarat yang harus dipenuhi adalah dibutuhkan situasi percakapan yang ideal (­the Ideal Speech situation). Situasi yang tidak terdistorsi sedikit pun ini terwujud, jika;
·         Semua peserta mempunyai peluang yang sama untuk memulai suatu diskusi dan dalam diskusi itu mempunyai peluang yang sama untuk mengemukakan argument-argumen dan mengkritik argument-argumen lain;
·         Diantara peserta tidak ada perbedaan kekuasaaan yang dapat menghindari bahwa argument-argumen yang mungkin relevan sungguh-sungguh diajukan juga;
·         Semua peserta mengungkapkan pemikirannya dengan ikhlas, sehingga tidak mungkin terjadi yang satu memanipulasi yang lain tanpa disadarinya.
c. teori evolusi sosial
            Unsur terakhir dalam pemikiran habemas di periode kedua ini adalah pembentuka suatu kerangka teoritis tentang evolusi masyarakat di mana ditinggalkan optimism filsafat sejarah unlinier (=berbentuk garis lurus)yang menandai tradisi marxisme, tapi tetap dipertahankan paham  ‘kemajuan” dalam konteks perkembangan masyarakat dan sejarah. Inti dari teori evolusi sosial adalah perbedaan antar dua macam proses belajar; di satu pihak proses-proses belajar teknis yang membawakan penguasa alam lebih besar dan peningkatan produktivitas kerja dan di pihak lain proses-proses belajar komunikatif yang menghasilkan perbaikan kualitas komunikatif dari ralasi-relasi diantara manusia.
3. tahap ketiga 1981
            Dikatakan bahwa Habermas adalah ahli waris marxisme barat, berbeda dari pendekatan marxisme ortodoks yang memusatkan analisisnya pada basis ekonomi, teori krits mengarahkan diri pada “ gejala-gejala seperstruktur” dengan menyingkap watak ideologis dari proses rasionalisasi dalam modernitas kapitalistis. horkheimer, Adorno dan Marcuse yang menjadi tokoh dari tradisi ini, meneruskan warisan kritik ideology Karl Marx dalam bentuk ktitik atas rasionalitas. Dan figure terakhir yang meneruskan tradisi ini adalah Jurgen Habermas  yang sedikit memberi nuansa baru dalam teori kritis dengan mengubahnya menjadi teori tindak komunikatif. Menurutnya revolusi masih mungkin terjadi di dlam masyarakat kapitalis barat. Misalnya dalam karya mamutnya theorie des komunitiven handels (teori tindakan komunikatif0, ia melancarkan kritiknya atas kapitalis dengan menunjukkan “patologi-patologi” modernitas kapitalistis sebagai bentuk “kolonisasi” sistem birokrasi dan ekonomi ata dunia-kehidupan sosiokultural.[12] Dikatakan bahwa buku tersebut adalah buku terakhir yang berisi tentang kapitalis dari seorang Habermas, mungkin deikarenakan perang dingin antara kapitalis dan komunis sudah mereda sehingga tidak ada lagi buku yang berisi tentang kritik atas kapitalis. Kemudian di tahun 1990 ia mengalihkan pusat perhatiannya dari teori kritik menjadi diskursus etika.. kritik tidak lagi dipahami sebagai konstruksi ilmiah yang mencurigai ideology, melainkan sebgai bagian dari proses mencapai consensus tanpa paksaan. Kritik mentransormasikan menjadi teori normative tentang demokrasi.
E. Tranformasi Kritik menjadi Diskursus
            Apa yang melatar belakangi pemikiran Habermas dari kritik menjadi diskursus, sorang kritikus, Jozef Keulartz, mengatakan bahwa Habermas sebenarnya menemui jalan buntu dalam bukunya Erkenntnis und Interesse dalam buku ini, kritik sebagai kritik ideology mengkombinasikan konsep kritik Marxian (kritik atas kesadaran palsu) dan konsep kritik Freudian (kritik atas represi Pkisis) dengan titik berat pada model dialog-dialog terapeutis antara analis dan pasien dalam praksis psikoanalisis).
            Dengan mentranformasikan kritik menjadi diskursus ini Habermas dapat memperluas konteks Teori Kritisnya melampaui tembok-tembok disiplin-disiplin ilmiah. Yang akhirnya mengarah pada permasalahan tentang demokrasi. Dan mencapai puncamya dengan terbitnya buku Fuktizitat und Geltung (fakta dan kesahihan). Buku ini adalah suatu aplikasi kritik sebgai diskursus dalam konteks teori tentang negara hukum demokrasi.[13]
F. Etika Diskursus Habermas
Anggapan Kant bahwa sebuah norma hanya berlaku secara moral apabila diuniversalisasikan menjadi titik tolak etika diskursus Habermas. Namun Habermas menolak cara Kant memastikan keberlakuan universal itu. Habermas mengkritik cara ini sebagai monologis. Baginya, tidaklah benar apabila kesadaran moral individu menjadi tolak ukur pembenaran keharusan moral. Yang menentukan keberlakuan universal keharusan moral adalah apa yang dapat disepakati sebagai normatif dalam sebuah pembicaraan bersama. Dengan demikian Habermas melakukan sebuah perubahan paradigma radikal dari ‘filsafat subjek’ ke’ filsafat komunikasi’, dari filsafat kesadaran ke filsafat bahasa.
Dengan pertimbangan di atas, maka Habermas menggantikan imperatif kategoris dengan prinsip penguniversalisasian “U” berikut:
“Sebuah norma moral hanya boleh dianggap sah kalau “akibat-akibat dan efek-efek sampingan yang diperkirakan akan mempengaruhi pemuasan kepentingan siapa saja andaikata norma itu ditaati secara umum, dapat disetujui tanpa paksaan oleh semua.”
Untuk memastikan semua yang bersangkutan menyetujui akibat dan efek-efek dari norma itu apabila diberlakukan secara universal hanya bisa melalui satu cara yang wajar yakni diskursus argumentatif bersama. Hal ini dirumuskan Habermas dalam Prinsip Etika Diskursus “D” berikut:
“hanya norma-norma yang disetujui (dapat disetujui) oleh semua yang bersangkutan sebagai peserta sebuah diskursus praktis boleh dinggap sah.”[14]
Lalu timbul pertanyaan bagaimana norma-norma moral dapat dipertanggungjawabkan secara rasional? Menurutnya, hanya norma yang dapat diberlakukan secara universal dapat dianggap bersifat moral. Lalu keberlakuan sebuah norma moral dapat dipertanggungjawabkan secara rasional apabila disetujui oleh semua yang terlibat dalam diskursus moral.[15]
G. Demokrasi dilebaratif dan ruang publik
            Dalam perubahan dari kritik ke diskursus ini habermas masih tetap konsisten pada pemikirannya dalam tesis awalnya dalam Theorie des kommunikativen handels,  bahwa msyarakat – termasuk masyarkat kmpleks dewasa ini – hanya dapat terintegrasi melalui tindakan komunikatif. Dalam diskursusu ini habermas memunculkan sebuah teori tentak demokrasi deliberative yakni suatu upaya untuk merekonstruksi proses komunikasi dalam konteks negara demokratis.
            Demikrasi deliberative ini ingin meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam prose pembentukan aspirasi dan opini agar kebijakan-kebijakan dan undang-unfang yang dihasilkan oleh pihak pemerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah. Dengan proses dilebarasi lewat diskursus publik itu merupakan jalan untuk merealisasikan konsep demokrasi itu sendiri, yakni Regierung der regierten (pemerintahan oleh yang diperintah).  Dalam demokrasi dilebaratif ini yang menjadi penting adalah prosedur atau bagaimana cara opini mayoritas dalam proses pengambilan keputusan publik itu diperoleh. Berbeda dengan pengertian demokrasi klasik yang mementingkan produk huku dan ripada proses legislasi hukum.[16]

           












Daftar Pustaka
Santoso, Listiyono dkk. Epistemologi Kiri. Jogjakarta; Ar-Ruzz Media, 2009
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-jerman, Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama, 2002
Suseno, Franz magniz-, 12 Tokoh Etika abad ke-20, Jojakarta, Kanisius, 2004
hardiman, F. Budi, filsafat Fragmentaris, Jogjakarta; Kanisius, 2011



[1] Dalam literature lain dijelaskan bahwa Jurgen Habermas dilahirkan di jerman 18 Juni 1929, Listiyono Santoso , dkk, Epistemologi Kiri, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2009), cet. VII, h. 219
[2] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-jerman, (Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama, 2002), cet. Ke 4, h. 236
[3] Listiyono Santoso , dkk, Epistemologi Kiri, h. 220
[4] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-jerman, h. 236
[5]  Listiyono Santoso , dkk, Epistemologi Kiri, h. 221
[6] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-jerman, h. 241
[7] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-jerman, h. 241
[8]  Franz magniz-suseno, 12 Tokoh Etika abad ke-20, (Jojakarta, Kanisius, 2004), cet. IV, h. 215
[9] Listiyono Santoso , dkk, Epistemologi Kiri, h. 224-225
[10] Listiyono Santoso , dkk, Epistemologi Kiri, h. 231-232 
[11]  Franz magniz-suseno, 12 Tokoh Etika abad ke-20, (Jojakarta, Kanisius, 2004), cet. IV, h. 244-245
[12] F. Budi hardiman, filsafat Fragmentaris, (Jogjakarta; Kanisius, 2011), cet. V, h. 115-116
[13] F. Budi hardiman, filsafat Fragmentaris, (Jogjakarta; Kanisius, 2011), cet. V, h. 116-118
[14] Frans Magnis – Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, (Jakarta: Kanisius, 2000) hal. 226
[15] Ibid, hal. 232
``             [16] F. Budi hardiman, filsafat Fragmentaris, (Jogjakarta; Kanisius, 2011), cet. V, h. 126-127

0 komentar:

Posting Komentar