1.
Pendahuluan
Tasawuf merupakan aspek mistisisme dalam Islam, dalam artian disini
adanya kesadaran manusia kontak langsung
dengan Tuhan sang Khaliq. Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai
pengalaman spiritual manusia dengan Tuhan.
Dalam pembicaraan tentang sejarah dan pemikiran tasawuf
di Indonesia, Aceh memainkan peranan yang sangat penting. Karena dilihat dari
tokoh-tokohnya mereka adalah para pemikir Islam yang sangat progres dalam
memajukan perkembangan ilmu Islam, tterutama Tasawwuf. Salah satu
tokohnya adalah Abdurrauf As-Sinkli.
Oleh karena itu, untuk lebih jelasnya dibawah ini akan diuraikan
mengenai biografi, pendidikan, serta pokok pemikiran dari Abdurrauf As-Sinkli
itu sendiri.
B.
Pembahasan
Biografi
Setelah diketahui tokoh terpenting di Aceh yakni Ar-Raniri, ada
tokoh terkemuka lainnya yang berpengaruh besar yakni Abdurrauf As-Sinkli. Tokoh
utama dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke-17 (1606-1637 M) ini mempunyai
nama lengkap Abdurrauf bin Ali Al-Jawi Al-Fansuri As-Sinkli. Ayahnya adalah
seorang Arab yang bernama Ali.[1]
Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti, adapun beliau wafat sekitar
tahun 1016 H/1607 M.[2]
Pendidikan awal As-Sinkli dimulai dari lingkungan keluarganya,
terutama dari ayahnya. Ayahnya dikenal sebagai orang alim yang mendirikan
madrasah yang menjadi tempat belajar para murid di Kesultanan Aceh. Kemudian,
As-Sinkli melanjutkan pendidikan ke Banda Aceh, ibu kota Kesultanan Aceh, untuk
menimba ilmu dari para ulama yang ada disana.[3]
As-Sinkli sempat menerima bai’at tarekat Syattâriyyah[4]
disamping ilmu-ilmu sufi yang lain, termasuk sekte dan bidang ruang lingkup
ilmu pengetahuan yang ada hubungan dengannya. Abdurrauf As-Sinkli adalah ulama
Aceh yang berupaya “mendamaikan” ajaran martabat alam tujuh –yang
dikenal di Aceh sebagai faham wahdatul wujud atau wujudiyyah
(pantheisme)- dengan faham sunnah. Meskipun demikian, Abdurrauf As-Sinkli
tetap menolak faham wujudiyyah yang menganggap adanya penyatuan antara
Tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian diambil oleh muridnya yaitu Syekh
Abd. Muhyi Pamijahan ke Jawa.[5]
Ketika di Arabia, Syekh Abdurrauf memperoleh pendidikan kesufian
dari dua orang guru terkemuka, yaitu seorang ulama besar sufi Mekah Syekh
Shafiuddin Ahnad Ad-Dajjani Al-Qusyasyi (1583-1660) dan seorang ulama Madinah
Syekh Ibrahim Al-Kurani (1616-1689).
Berkenaan dengan perjalanan rohaninya, As-Sinkli diperbolehkan
memakai Khirqah[6].
Selendang berwarna putih yang menandakan bahwa Ia telah dilantik sebagai khalifah
mursyid dalam tarekat Syattâriyyah. Maka dari itu Ia dibolehkan membai’at
orang lain. Diakui pula bahwa Ia mempunyai silsilah yang bersambung dari
gurunya hingga kepada Nabi Muhammad SAW.
As-Sinkli mempunyai banyak murid, diantaranya adalah Syekh
Burhanuddin Ulakkan (w. 1111 H/ 1691 M) yang juga ikut aktif mengembangkan
tarekat Syattâriyyah. Selain itu, tarekat Syattâriyyah ini tersebar hingga ke
Sumatra Barat, menyusur hingga ke Sumatra Selatan, dan berkembang pula hingga
Cirebon Jawa Barat.[7]
Sebagai bukti, tarekat Syattâriyyah pernah mendapat tempat yang
utama, Prof. Dr. Hamka menulis dalam bukunya “Antara Fakta dan Khayal Tuanku
Rao” bahwa di zaman perjuangan fisik (1945-1948) ada satu barisan pemberontak
yang disebut “PEMSYI”, yaitu “Persatuan Muslimin Syattâriyyah Indonesia” yang
namanya turut terdaftar sebagai anggota “Front Pertahanan Nasional”.[8]
Karya-Karya As-Sinkli
Bidang Fiqh:
a.
Mir’ah at-Tullâb fi Taysîr al-‘Ahkâm al-Syar’iyyah li al-Mâlik
al-Wahhâb (Cermin Para
Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Mengetahui Hukum-hukum Syara’ Tuhan),
b.
Bayân al-Arkân (Penjelasan
Rukun-rukun),
c.
Bidâyah al—Balîghah (Permulaan
yang Sempurna),
d.
Majmȗ’ al-Masâ’il (Kumpulan
Masalah),
e.
Fatîhah Syekh Abd. Al-Ra’uf (Metode Bacaan Fatihah Abd. Rauf),
f.
Tanbîh al-‘Âmil fî Tahqîq al-Kalâm al-Nawâfil (Peringatan Bagi Orang yang Mentahqiqkan Kalam Shalat Sunnah),
g.
Do’a yang Dianjurkan Oleh Syekh Abdurrauf Kuala Aceh, dan lain sebagainya.
Bidang Tasawwuf:
a.
Tanbîh al-Mâsyî al-Mansȗb ilâ Tarîq al-Qusyâsyî (Pedoman Bagi Orang yang Menempuh Tarekat al-Qusyasyi),
b.
‘Umdat al-Muhtajîn ‘ilâ Sulȗk Maslak al-Mufradîn (Pijakan Bagi Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf),
c.
Sullâm al-Mustaffidîn
(Tanggap Setiap Orang yang Mencari Faedah),
d.
Piagam Tentang
Dzikir,
e.
Kifâyah al-Muhtajîn ilâ Masyârab al-Muwahhidîn al-Qâ’ilîn bi Wahdah
al-Wujȗd (bekal Bagi
Orang yang Membutuhkan Minuman Ahli Tauhid Penganut Wahdat al-Wujud), dan lain
sebagainya.
Bidang Tafsir dan Hadis:
a.
Tarjuman al-Mustafid
bi al-Jâwîy, yang merupakan tafsir pertama di dunia Islam
dalam bahasa Melayu,
b.
Al-Arba’în Hadîtsan li al-Imâm al-Nawawiyyah (Penjelasan Terperinci atas Kitab Empat Puluh Hadis Karangan Imam
Nawawi), dan
Tarekat Syattâriyyah
Tarekat Syattâriyah merupakan salah satu tarekat terpenting dalam proses islamisasi di
dunia Melayu-Indonesia, salah satu tokoh yang menyebarkan tarekat ini adalah
Abdurrauf As-Sinkili. Salah satu ajaran Tarekat Syattâriyyah yang dikutip As-Sinkili
dari Jawâhir al-Khamsah, dan tidak dijumpai dalam kitab-kitab karangan
al-Qusyâsyî dan al-Kȗrânî adalah berkaitan dengan apa yang disebut sebagai al-Asyqal
al-Syaththâri (amalan-amalan kaum Syattâri), yakni berbagai amalan yang
secara khusus harus dilakukan oleh para pengikut Tarekat Syattâriyyah. Dalam Tanbîh
al-Mâsyî, amalan-amalan tersebut dikemukakan dalam bentuk rumus-rumus atau
kode-kode rahasia yang hanya dapat diketahui melalui pejelasan guru (syekh).[10]
Sebelum As-Sinkli membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah
berkembang ajaran tasawuf falsafi yaitu tasawuf wujudiyyah, yang
dikenal dengan nama Wahdat al-Wujud. Telah disebutkan, bahwasanya ajaran
tasawuf Wujudiyyah dianggap Ar-Raniri sebagai ajaran sesat dan
penganutnya dianggap murtad.. Beliau mencoba untuk mencoba untuk “mendamaikan” ajaran martabat alam
tujuh - yang dikenal di aceh dengan
paham Wahdatul Wujud atau Wujudiyyah (pantheisme) - dengan Sunnah. Namun, As-Sinkli menolak ajaran tersebut, akan tetapi As-Sinkli tidak
sekeras Ar-Raniri dalam menanggapi persoalan wujudiyah tersebutt, yang menganggap adanya penyatuan antara
Tuhan dan hamba.[11]
Dalam memahami wahdatul wujud, abdur rauf
memulainya dengan pembicaraan tentang tauhid. Tauhid dalam pengertian secara
etimologi berasal dari bahasa arab, wahhada yuwahiddu tauhid, yang
berarti “mengesakan”. Mereka para sufi menegaskan bahwa arti ‘mengesakan’ dalam
konteks Tuhan adalah mengaitkan Esa dengan Tuhan, bukan menjadikan Tuha Esa.
Dalam Tanbih al- Masyi, Abdurrauf mengemukakan hal tersebut sebagai
berikut :
والتو حيد تفعيل للنسبة كا لتصد يق و التكذ يب لا للجعل
(ص . ٢)
“Tauhid adalah tindakan mengaitkan, -
seperti mengaitkan sesuatu dengan kebenaran, atau mengaitkan sesuatu dengan
kebohongan – bukan menjadikan ….”
Oleh karena itu, - menurut abdurrauf – jika
mengatakan wahhadtu Allaha [aku
mengesakan Allah], maka yang dimaksud adalah nasabtuhu ila al-wahdaniyyah [aku
mengaitkan Allah dengan sifat Esa], bukan ja’altuhu wahidan [aku
menjadikan Allah Esa]. Hal seperti ini oelh abdurrauf merupakan hal yang harus
ditegaskan, karena sifat esa bagi allah itu sudah melekat pada zat allah
sendiri, bukan karena oleh pihak lain.[12]
Pemikiran tasawuf As-Sinkli dapat dilihat antara lain pada
persoalan untuk merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat.
Kendati demikian, ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsuddin As-Sumatrani dan
Nuruddin Ar-Raniri, yaitu menganut faham satu-satunya wujud hakiki, yakni
Allah. Alam ciptaan-Nya bukan merupakan wujud hakiki, tetapi bayangan dari yang
hakiki. Dengan demikian, jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam. Walaupun
begitu, antara bayangan (alam) dan yang memancarkan bayangan (Allah) memiliki
kesamaan; sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayangan Allah, seperti hidup,
mengetahui, dan melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan manusia adalah
perbuatan Allah.
As-Sinkli memiliki pemikiran lain yakni tentang dzikir.
Dalam pandangannya, dzikir merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri
dari sifat lalai dan lupa. Dalam ungkapan lainnya beliau menyebut, bahwa dzikir
itu ialah membersihka diri dari goflat dan nisyan (lupa) dengan menghadirkan
yang Hak didalam hati secara terus menerus. Dengan dzikir hati selalu
mengingat Allah. Tujuan dzikir adalah mencapai fana’ (tidak ada
wujud selain wujud Allah). Berarti wujud hati yang ber-dzikir dekat
dengan wujud-Nya. Adapun tingkatan-tingkatan orang yang melaksanakan Dzikir
menurut Abdurrauf, sebagai berikut:
a)
Tingkat Mubtadi: yang masih nyata sifat bersyariatnya dan
was-wasnya pada saat dzikir, artinya belum dapat melupakan atau
menghilangkannya, maka ia membaca dalam kalimat dzikir itu adalah: “La
ma’bud illallah”.
b)
Tingkat Mutawassit: yang telah bersih sifat basyariatnya dan
was-wasnya, hanya mengarah pada Tuhan dengan dzauq dan kalimat dzikir yang
dibacanya ialah “La mathlub illallah”.
c)
Tingkat Muntahi: yaitu dimana segala segala kekhawatiran dan
was-was apa saja dalam hatinya telah hapus dan lenyap sama sekali dalam dzikir,
ingatannya hanya Allah semata-mata, karena pada saat itu ia memandang dan
merasakan bahwa adanya dia dengan kalimat yang diucapkan itu adalah bersama
Allah dan dzikir yang diucapkannya ialah: “La maujud illallah”.
Selain itu, Abdurrauf juga membagi tingkatan kualitas pelaksanaan
dzikir, yaitu:
a)
Dzikir Hasanat: yaitu yang dilaksanakan tanpa mengikuti
aturan-aturan khusus, dimana dan kapan saja dapat dilakukan dengan pengertian
bahwa seseorang tidak boleh terlepas dari melaksanakan dzikir.
b)
Dzikir Darajat: yaitu melakukan dzikir dengan berpedoman pada
aturan-aturan tersendiri. Dimulai dengan taubat thaharah dengan pakaian
putih-duduk bersila menghadap kiblat-dalam keadaan gelap untuk memudahkan
konsentrasi-memejamkan mata mengharap dengan sepenuh hati dari dan akan
kemuliaan Tuhan-mengucapkan “ya syekh” aku minta bantuan engkau (yang dimaksud
syekh disini hakikatnya ialah Rasulullah) dan mengucapkan kalimat “La ilaha
illallah”.[13]
Ajaran taswuf As-Sinkli yang lain adalah bertalian dengan martabat
perwujudan. Menurutnya ada tiga martabat perwujudan; pertama, martabat ahadiyyah
atau la ta’ayyun, alam pada waktu itu merupakan hakikat gaib yang
masih berada dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta’ayyun
awwal, yang sudah tercipta haqiqat Muhammadiyah yang potensi
bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahidiyyah atau ta’ayyun
tsani, yang disebut juga dengan a’ayan ats-tsabitah,
dan dari sinilah alam tercipta. Tingkat itulah yang dimaksud Ibn ‘Arabi dalam
syair-syairnya. Oleh karenanya, bagi As-Sinkli, jalan untuk mengesakan Tuhan
adalah dengan ber-dzikir “la ilaha illa’llah”
hingga tercapai kondisi fana’.[14]
Selain itu, dalam menanggapi persoalan wahdah al-wujud sendiri,
Abdur Rauf memulai hal tersebut dengan pembicaraan tentang tauhid yang dikaitkan
dengan ajaran tasawuf. Tauhid diartikan sebagai pengakuan tentang keesaan
Allah, yang penegasannya terungkap dalam syahadah, yakni kesaksian bahwa
tiada Tuhan selain Allah. Tauhid baginya poros dasar sebagai jalan terdekat
menuju Allah melalui dzikir. Kalimat tauhid yang paling baik sebagai ucapan
dzikir adalah “La ilaha illallah wahdahu la syarika lah”. Baik itu
diucapkan secara nyaring (zahry) maupun pelan (khafy).
Dalam menanggapi paham wujudiyah sendiri, Syekh Abdur Rauf
ini terlihat sangat hati-hati, bahkan ia cenderung melakukan reinterpretasi
terhadap doktrin wahdah al-wujud agar selaras dengan al-Quran dan Hadis
Nabi. Adapun tanggapannya tentang wahdat al-wujud, yaitu:
1)
Alam semesta adalah bayangan Allah semata, bukan dzaat al-Haqq;
2)
Hal ini dikarenakan tiada dalil (al-Quran) yang meyatakan bahwa
Allah Swt menciptakan dzat-Nya sendiri; dan
3)
Alam semesta tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan dirinya
sendiri.[15]
Dalam mengemukakan
ajaran-ajarannya, As-Sinkli selalu mengambil rujukan dari Al-Quran dan hadis
Nabi SAW. Hadis yang dirujuk juga kebanyakan hadis shahih yang diriwatkan
Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan lain sebagainya. Adapun silsilah
mengenai Tarekat Syattâriyyah sebagai berikut:
Siisilah perkembangan tarekat
Syathariyah sampai pada Syekh Abdul Muhyi
Ali bin Abi Thalib
|
Zaenal Abidin
|
Abu Yazid al-Bisthami
|
Ja’far al-Shadiq
|
Syekh Hudaquli Mawuri al-Nahari
|
Sayyid Muhammad ‘Arif
|
Qadli al-Syaththari
|
Quthub Abu Muzhaffar Maulana Rumi al-Thusi
|
Quthub Abu Hasan al-Harqani
|
Hidayatullah Sarmats
|
Syekh Abdullah al-Syaththari
|
Sayyid Muhammad ‘Asyiq
|
Husein al-Syahid
|
Syekh Muhammad Maghrib
|
Muhammad al-Baqis
|
Rasulullah SAW
|
Syekh ‘Arabi Yazid al-Ghisqi
|
Syekh Haji Hushuri
|
Sayyid Wajihuddin
|
Syekh Ahmad al-Qusyasyi
|
Syekh Haji Abdul Muhyi
|
Syekh Ahmad bin Muhamad
|
Abu Muwahab Abdullah Ahmad
|
Syekh Ahmad al-Qusyasyi
|
Syekh Abdul Ra’uf al-Sinkli
|
Sayyid Shibghatullah
|
Sayyid Muhammad Ghauts
|
Sumber : M. Wildan Yahya, “Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh
Abdul Muhyi.[16]
Adapun perkembangan Tarekat Syattâriyah di Indonesia yakni terdapat
di daerah Sulawesi, yang dibawa oleh salah seorang murid Syekh Abdurrauf bin
Ali Fansuri beliau ialah Syekh Yusuf Tajul Khalwati Makassar. Beliau
mengkombinasikan Tarekat Syattâriyah dengan tarekat lainnya terutama Tarekat
Qadiriyyah yang beliau terima dari Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Yang kemudian
ditambahnya pula dengan Tarekat Naqsabandiyyah. Kemudian Syekh Yusuf Makassar
melanjutkan perjuangan ke Banten. Di Banten beliau menikah dengan puteri Sultan
Ageng Tirtayasa. Bahwa sebelumnya sultan ini adalah sahabat dan muridnya.
Akibat dari peperangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya Sultan
Haji yang dibantu oleh Belanda, Syekh Yusuf ditangkap oleh Belanda karena
beliau berpihak kepada Sultan Ageng. Akhirnya beliau dibuang ke pulau Ceylon
namun dalam tahanan beliau masih sempat menjalankan kegiatan. Beliau meneruskan
ajaran Islam aliran Tasawuf dan Thariqat-thariqatnya, masih sempat pula menulis
kitab-kitab mengenai Shufi yang kemudian dikirim ke Banten dan Sulawesi melalui
orang-orang haji yang kembali dari Mekkah yang singgah di pulau Ceylon itu. Karena
menghawatirkan bagi Belanda akhirnya beliau dibuang ke Afrika Selatan,
disanalah beliau wafat.[17]
Penutup
Tasawuf merupakan kajian yang mencakup orang-orang khusus. Dalam
artian tidak sembarang orang dapat memasuki dunia tasawuf. Banyak kaidah dan
ajaran yang disajikan oleh para guru sufi sendiri. Pada abad XVI-XVIII
merupakan kejayaan intelektual sufisme di Nusantara. Banyak tokoh-tokoh
terkemuka yang muncul seperti Abdurrauf As-Sinkli. Beliau merupakan salah satu
tokoh yang cukup berhasil dalam mengembangkan tarekat Syattariyahnya. Tidak
banyak terjadi konflik dalam mengajarkan tarekatnya. Lain halnya dengan tokoh
lain seperti Hamzah Fansuri, yang menimbulkan perseteruan dalam mengajarkan
ilmu tarekatnya di masyarakat, sehingga sangat disayangkan ajaran tarekatnya
hanya mati ditempat. Tapi perlu diketahui juga bahwa dalam beberapa buku
dijelaskan pula tentang percampuran tarekat Abdurrauf As-Sinkli seprti halnya
beliau juga belajar tarekat Qadariyyah dan Naqsabandiyah. Untuk itu belum pasti
fakta yang terjadi seperti apa?........
Mungkin ini erlu diadakan kajian analisis mengenai ajaran yang
pasti yang dianut oleh Abdurrauf As-Sinkli. Semoga kedepan bisa meemukan jawabannya.
Amin.....
Demikian yang dapat saya sampaikan, masih banyak yang perlu
diperbaiki dalam tulisan ini. Kritik dan saran dari pembaca yang dibutuhkan,
semoga bermanfaat.
Daftar Pustaka
Abdullah,
Hawash. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokoh di Nusantara.
Surabaya: Al-Ikhlas.
Anwar Rosihan,
Dkk. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2001.
Azra,
Azyumardi. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Angkasa. 2008.
Fathurahman, Oman. Tanbih Al-Masyi; Menyoal Wahdatul Wujud, Kasus
Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17. Bandung: Mizan, 1999.
Mulyati, Sri. Tarekat-Tarekat
Muktabarah Di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2004.
Mulyati, Sri. Tasawuf
Nusantara : Rangkaiaan Mutiara Sufi Terkemuka. Bandung: Kencana. 2006.
Mufid, Ahmad
Syafi’i. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa.
Jakarta: Yayasan Obor Indoesia. 2006.
Said, Usman.
dkk. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera Utara: Proyek Pembinaan PTAIN
Sumatera Utara. 1981-1982.
Shihab, Alwi. Islam
Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya Hingga Kini Di Indonesia.
Bandung: Mizan. 2001.
Siregar, H.A.
Rivay. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. 2002.
Solihin, Muh. Sejarah
Dan Pemikiran Tasawuf Di Indonesia. Bandung: Pustaka
Setia. 2001.
Yahya, M.
Wildan. Mengungkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul Muhyi – Menapaki
Jejak Para Tokoh Sufi Nusantara Abad XVII & XVIII. Bandung: PT. Ratika
Aditma. 2007.
[1]Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaiaan Mutiara Sufi Terkemuka,
Jakarta: Kencana, 2006, h. 99.
[2]Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf, h. 54
[4] Diambil dari buku karangan Rivay Siregar. Menurut tarekat Syattariyah,
sufisme dibedakan kepada tiga tingkatan, yakni: Al-Ahyar adalah
mengutamakan kesempurnaan ibadah formal; Al-Abrar adalah lebih
berorientasi pada pembinaan kesempurnaan rohaniah; dan Al-Syattar adalah
yang lebih mengutamakan pendalaman spiritual dalam segala aspek kehidupan
(esoterisme religious).
[5] M.Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung:
Pustaka Setia, h. 49-50.
[6]Yaitu pertanda telah lulus dalam pengujian secara suluk (perjalanan
sufi).
[7]Rosihan Anwar,dkk, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2011,
h. 253
[8]Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokoh di
Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, h. 51
[9]Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf, Bandung: Angkasa, 2008, h.
58
[10]Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2004, h. 156
[12]Oman Fathurahman, Tanbih Al-Masyi; Menyoal
Wahdatul Wujud, Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, (Bandung: Mizan,
1999), cet II, h. 43-44
[13] Usman Said. dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf, Sumatera Utara: Proyek
Pembinaan PTAIN Sumatera Utara. 1981-1982. H. 207-208.
[14] M.Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung:
Pustaka Setia, h. 51-52
[15] M. Wildan Yahya, Mengungkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul
Muhyi-Menapaki Jejak Para Tokoh Sufi Nusantara Abad XVII & XVIII,
Bandung: PT. Ratika Aditama, 2007, h. 96.
[16] M. Wildan Yahya, Mengungkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul
Muhyi-Menapaki Jejak Para Tokoh Sufi Nusantara Abad XVII & XVIII,
Bandung: PT. Ratika Aditama, 2007, h. 80-81
[17] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokoh di
Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, 52-53.
0 komentar:
Posting Komentar