Jumat, 07 Juni 2013

Abdur Ro'uf Singkel




 1.      Pendahuluan
Tasawuf merupakan aspek mistisisme dalam Islam, dalam artian disini adanya kesadaran manusia  kontak langsung dengan Tuhan sang Khaliq. Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai pengalaman spiritual manusia dengan Tuhan.
Dalam pembicaraan tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di Indonesia, Aceh memainkan peranan yang sangat penting. Karena dilihat dari tokoh-tokohnya mereka adalah para pemikir Islam yang sangat progres dalam memajukan perkembangan ilmu Islam, tterutama Tasawwuf. Salah satu tokohnya adalah Abdurrauf As-Sinkli.
Oleh karena itu, untuk lebih jelasnya dibawah ini akan diuraikan mengenai biografi, pendidikan, serta pokok pemikiran dari Abdurrauf As-Sinkli itu sendiri.     
B.     Pembahasan
Biografi
Setelah diketahui tokoh terpenting di Aceh yakni Ar-Raniri, ada tokoh terkemuka lainnya yang berpengaruh besar yakni Abdurrauf As-Sinkli. Tokoh utama dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke-17 (1606-1637 M) ini mempunyai nama lengkap Abdurrauf bin Ali Al-Jawi Al-Fansuri As-Sinkli. Ayahnya adalah seorang Arab yang bernama Ali.[1] Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti, adapun beliau wafat sekitar tahun 1016 H/1607 M.[2]
Pendidikan awal As-Sinkli dimulai dari lingkungan keluarganya, terutama dari ayahnya. Ayahnya dikenal sebagai orang alim yang mendirikan madrasah yang menjadi tempat belajar para murid di Kesultanan Aceh. Kemudian, As-Sinkli melanjutkan pendidikan ke Banda Aceh, ibu kota Kesultanan Aceh, untuk menimba ilmu dari para ulama yang ada disana.[3]
As-Sinkli sempat menerima bai’at tarekat Syattâriyyah[4] disamping ilmu-ilmu sufi yang lain, termasuk sekte dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ada hubungan dengannya. Abdurrauf As-Sinkli adalah ulama Aceh yang berupaya “mendamaikan” ajaran martabat alam tujuh –yang dikenal di Aceh sebagai faham wahdatul wujud atau wujudiyyah (pantheisme)- dengan faham sunnah. Meskipun demikian, Abdurrauf As-Sinkli tetap menolak faham wujudiyyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian diambil oleh muridnya yaitu Syekh Abd. Muhyi Pamijahan ke Jawa.[5]
Ketika di Arabia, Syekh Abdurrauf memperoleh pendidikan kesufian dari dua orang guru terkemuka, yaitu seorang ulama besar sufi Mekah Syekh Shafiuddin Ahnad Ad-Dajjani Al-Qusyasyi (1583-1660) dan seorang ulama Madinah Syekh Ibrahim Al-Kurani (1616-1689).      
Berkenaan dengan perjalanan rohaninya, As-Sinkli diperbolehkan memakai Khirqah[6]. Selendang berwarna putih yang menandakan bahwa Ia telah dilantik sebagai khalifah mursyid dalam tarekat Syattâriyyah. Maka dari itu Ia dibolehkan membai’at orang lain. Diakui pula bahwa Ia mempunyai silsilah yang bersambung dari gurunya hingga kepada Nabi Muhammad SAW.
As-Sinkli mempunyai banyak murid, diantaranya adalah Syekh Burhanuddin Ulakkan (w. 1111 H/ 1691 M) yang juga ikut aktif mengembangkan tarekat Syattâriyyah. Selain itu, tarekat Syattâriyyah ini tersebar hingga ke Sumatra Barat, menyusur hingga ke Sumatra Selatan, dan berkembang pula hingga Cirebon Jawa Barat.[7]
Sebagai bukti, tarekat Syattâriyyah pernah mendapat tempat yang utama, Prof. Dr. Hamka menulis dalam bukunya “Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao” bahwa di zaman perjuangan fisik (1945-1948) ada satu barisan pemberontak yang disebut “PEMSYI”, yaitu “Persatuan Muslimin Syattâriyyah Indonesia” yang namanya turut terdaftar sebagai anggota “Front Pertahanan Nasional”.[8]  
Karya-Karya As-Sinkli
Bidang Fiqh:
a.       Mir’ah at-Tullâb fi Taysîr al-‘Ahkâm al-Syar’iyyah li al-Mâlik al-Wahhâb (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Mengetahui Hukum-hukum Syara’ Tuhan),
b.      Bayân al-Arkân (Penjelasan Rukun-rukun),
c.       Bidâyah al—Balîghah (Permulaan yang Sempurna),
d.      Majmȗ’ al-Masâ’il (Kumpulan Masalah),
e.       Fatîhah Syekh Abd. Al-Ra’uf (Metode Bacaan Fatihah Abd. Rauf),
f.        Tanbîh al-‘Âmil fî Tahqîq al-Kalâm al-Nawâfil (Peringatan Bagi Orang yang Mentahqiqkan Kalam Shalat Sunnah),
g.       Do’a yang Dianjurkan Oleh Syekh Abdurrauf Kuala Aceh, dan lain sebagainya.
Bidang Tasawwuf:
a.       Tanbîh al-Mâsyî al-Mansȗb ilâ Tarîq al-Qusyâsyî (Pedoman Bagi Orang yang Menempuh Tarekat al-Qusyasyi),
b.      ‘Umdat al-Muhtajîn ‘ilâ Sulȗk Maslak al-Mufradîn (Pijakan Bagi Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf),
c.       Sullâm al-Mustaffidîn (Tanggap Setiap Orang yang Mencari Faedah),
d.      Piagam Tentang Dzikir,
e.       Kifâyah al-Muhtajîn ilâ Masyârab al-Muwahhidîn al-Qâ’ilîn bi Wahdah al-Wujȗd (bekal Bagi Orang yang Membutuhkan Minuman Ahli Tauhid Penganut Wahdat al-Wujud), dan lain sebagainya.
Bidang Tafsir dan Hadis:
a.       Tarjuman al-Mustafid bi al-Jâwîy, yang merupakan tafsir pertama di dunia Islam dalam bahasa Melayu,
b.      Al-Arba’în Hadîtsan li al-Imâm al-Nawawiyyah (Penjelasan Terperinci atas Kitab Empat Puluh Hadis Karangan Imam Nawawi), dan
c.       Al-Mawâ’idz al-Badî’ah (Petuah-petuah Berharga).[9]
Tarekat Syattâriyyah
Tarekat Syattâriyah merupakan salah satu  tarekat terpenting dalam proses islamisasi di dunia Melayu-Indonesia, salah satu tokoh yang menyebarkan tarekat ini adalah Abdurrauf As-Sinkili. Salah satu ajaran Tarekat Syattâriyyah yang dikutip As-Sinkili dari Jawâhir al-Khamsah, dan tidak dijumpai dalam kitab-kitab karangan al-Qusyâsyî dan al-Kȗrânî adalah berkaitan dengan apa yang disebut sebagai al-Asyqal al-Syaththâri (amalan-amalan kaum Syattâri), yakni berbagai amalan yang secara khusus harus dilakukan oleh para pengikut Tarekat Syattâriyyah. Dalam Tanbîh al-Mâsyî, amalan-amalan tersebut dikemukakan dalam bentuk rumus-rumus atau kode-kode rahasia yang hanya dapat diketahui melalui pejelasan guru (syekh).[10]
Sebelum As-Sinkli membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf falsafi yaitu tasawuf wujudiyyah, yang dikenal dengan nama Wahdat al-Wujud. Telah disebutkan, bahwasanya ajaran tasawuf Wujudiyyah dianggap Ar-Raniri sebagai ajaran sesat dan penganutnya dianggap murtad.. Beliau mencoba untuk mencoba untuk “mendamaikan” ajaran martabat alam tujuh  - yang dikenal di aceh dengan paham Wahdatul Wujud atau Wujudiyyah (pantheisme)  - dengan Sunnah. Namun, As-Sinkli menolak ajaran tersebut, akan tetapi As-Sinkli tidak sekeras Ar-Raniri dalam menanggapi persoalan wujudiyah tersebutt, yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba.[11]
Dalam memahami wahdatul wujud, abdur rauf memulainya dengan pembicaraan tentang tauhid. Tauhid dalam pengertian secara etimologi berasal dari bahasa arab, wahhada yuwahiddu tauhid, yang berarti “mengesakan”. Mereka para sufi menegaskan bahwa arti ‘mengesakan’ dalam konteks Tuhan adalah mengaitkan Esa dengan Tuhan, bukan menjadikan Tuha Esa. Dalam Tanbih al- Masyi, Abdurrauf mengemukakan hal tersebut sebagai berikut :
والتو حيد تفعيل للنسبة كا لتصد يق و التكذ يب لا للجعل (ص . ٢)
            Tauhid adalah tindakan mengaitkan, - seperti mengaitkan sesuatu dengan kebenaran, atau mengaitkan sesuatu dengan kebohongan – bukan menjadikan ….”
Oleh karena itu, - menurut abdurrauf – jika mengatakan  wahhadtu Allaha [aku mengesakan Allah], maka yang dimaksud adalah nasabtuhu ila al-wahdaniyyah [aku mengaitkan Allah dengan sifat Esa], bukan ja’altuhu wahidan [aku menjadikan Allah Esa]. Hal seperti ini oelh abdurrauf merupakan hal yang harus ditegaskan, karena sifat esa bagi allah itu sudah melekat pada zat allah sendiri, bukan karena oleh pihak lain.[12]
Pemikiran tasawuf As-Sinkli dapat dilihat antara lain pada persoalan untuk merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Kendati demikian, ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsuddin As-Sumatrani dan Nuruddin Ar-Raniri, yaitu menganut faham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah. Alam ciptaan-Nya bukan merupakan wujud hakiki, tetapi bayangan dari yang hakiki. Dengan demikian, jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam. Walaupun begitu, antara bayangan (alam) dan yang memancarkan bayangan (Allah) memiliki kesamaan; sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayangan Allah, seperti hidup, mengetahui, dan melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan manusia adalah perbuatan Allah.
As-Sinkli memiliki pemikiran lain yakni tentang dzikir. Dalam pandangannya, dzikir merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dalam ungkapan lainnya beliau menyebut, bahwa dzikir itu ialah membersihka diri dari goflat dan nisyan (lupa) dengan menghadirkan yang Hak didalam hati secara terus menerus. Dengan dzikir hati selalu mengingat Allah. Tujuan dzikir adalah mencapai fana’ (tidak ada wujud selain wujud Allah). Berarti wujud hati yang ber-dzikir dekat dengan wujud-Nya. Adapun tingkatan-tingkatan orang yang melaksanakan Dzikir menurut Abdurrauf, sebagai berikut:
a)      Tingkat Mubtadi: yang masih nyata sifat bersyariatnya dan was-wasnya pada saat dzikir, artinya belum dapat melupakan atau menghilangkannya, maka ia membaca dalam kalimat dzikir itu adalah: “La ma’bud illallah”.
b)      Tingkat Mutawassit: yang telah bersih sifat basyariatnya dan was-wasnya, hanya mengarah pada Tuhan dengan dzauq dan kalimat dzikir yang dibacanya ialah “La mathlub illallah”.
c)      Tingkat Muntahi: yaitu dimana segala segala kekhawatiran dan was-was apa saja dalam hatinya telah hapus dan lenyap sama sekali dalam dzikir, ingatannya hanya Allah semata-mata, karena pada saat itu ia memandang dan merasakan bahwa adanya dia dengan kalimat yang diucapkan itu adalah bersama Allah dan dzikir yang diucapkannya ialah: “La maujud illallah”.
Selain itu, Abdurrauf juga membagi tingkatan kualitas pelaksanaan dzikir, yaitu:
a)      Dzikir Hasanat: yaitu yang dilaksanakan tanpa mengikuti aturan-aturan khusus, dimana dan kapan saja dapat dilakukan dengan pengertian bahwa seseorang tidak boleh terlepas dari melaksanakan dzikir.
b)      Dzikir Darajat: yaitu melakukan dzikir dengan berpedoman pada aturan-aturan tersendiri. Dimulai dengan taubat thaharah dengan pakaian putih-duduk bersila menghadap kiblat-dalam keadaan gelap untuk memudahkan konsentrasi-memejamkan mata mengharap dengan sepenuh hati dari dan akan kemuliaan Tuhan-mengucapkan “ya syekh” aku minta bantuan engkau (yang dimaksud syekh disini hakikatnya ialah Rasulullah) dan mengucapkan kalimat “La ilaha illallah”.[13]
Ajaran taswuf As-Sinkli yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan. Menurutnya ada tiga martabat perwujudan; pertama, martabat ahadiyyah atau la ta’ayyun, alam pada waktu itu merupakan hakikat gaib yang masih berada dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta’ayyun awwal, yang sudah tercipta haqiqat Muhammadiyah yang potensi bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahidiyyah atau ta’ayyun tsani, yang disebut juga dengan a’ayan ats-tsabitah, dan dari sinilah alam tercipta. Tingkat itulah yang dimaksud Ibn ‘Arabi dalam syair-syairnya. Oleh karenanya, bagi As-Sinkli, jalan untuk mengesakan Tuhan adalah dengan ber-dzikirla ilaha illa’llah” hingga tercapai kondisi fana’.[14]
Selain itu, dalam menanggapi persoalan wahdah al-wujud sendiri, Abdur Rauf memulai hal tersebut dengan pembicaraan tentang tauhid yang dikaitkan dengan ajaran tasawuf. Tauhid diartikan sebagai pengakuan tentang keesaan Allah, yang penegasannya terungkap dalam syahadah, yakni kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah. Tauhid baginya poros dasar sebagai jalan terdekat menuju Allah melalui dzikir. Kalimat tauhid yang paling baik sebagai ucapan dzikir adalah “La ilaha illallah wahdahu la syarika lah”. Baik itu diucapkan secara nyaring (zahry) maupun pelan (khafy).
Dalam menanggapi paham wujudiyah sendiri, Syekh Abdur Rauf ini terlihat sangat hati-hati, bahkan ia cenderung melakukan reinterpretasi terhadap doktrin wahdah al-wujud agar selaras dengan al-Quran dan Hadis Nabi. Adapun tanggapannya tentang wahdat al-wujud, yaitu:
1)      Alam semesta adalah bayangan Allah semata, bukan dzaat al-Haqq;
2)      Hal ini dikarenakan tiada dalil (al-Quran) yang meyatakan bahwa Allah Swt menciptakan dzat-Nya sendiri; dan
3)      Alam semesta tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan dirinya sendiri.[15]
Dalam mengemukakan ajaran-ajarannya, As-Sinkli selalu mengambil rujukan dari Al-Quran dan hadis Nabi SAW. Hadis yang dirujuk juga kebanyakan hadis shahih yang diriwatkan Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan lain sebagainya. Adapun silsilah mengenai Tarekat Syattâriyyah sebagai berikut:  
Siisilah perkembangan tarekat Syathariyah sampai pada Syekh Abdul Muhyi
Ali bin Abi Thalib
Zaenal Abidin
Abu Yazid al-Bisthami
Ja’far al-Shadiq
Syekh Hudaquli Mawuri al-Nahari
Sayyid Muhammad ‘Arif
Qadli al-Syaththari
Quthub Abu Muzhaffar Maulana Rumi al-Thusi
Quthub Abu Hasan al-Harqani
Hidayatullah Sarmats
Syekh Abdullah al-Syaththari
Sayyid Muhammad ‘Asyiq
Husein al-Syahid
Syekh Muhammad Maghrib
Muhammad al-Baqis

Rasulullah SAW








Syekh ‘Arabi Yazid al-Ghisqi
 
Syekh Haji Hushuri
Sayyid Wajihuddin
Syekh Ahmad al-Qusyasyi
Syekh Haji Abdul Muhyi
Syekh Ahmad bin Muhamad
Abu Muwahab Abdullah Ahmad
Syekh Ahmad al-Qusyasyi
Syekh Abdul Ra’uf al-Sinkli
Sayyid Shibghatullah
Sayyid Muhammad Ghauts








Sumber : M. Wildan Yahya, “Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul Muhyi.[16]
Adapun perkembangan Tarekat Syattâriyah di Indonesia yakni terdapat di daerah Sulawesi, yang dibawa oleh salah seorang murid Syekh Abdurrauf bin Ali Fansuri beliau ialah Syekh Yusuf Tajul Khalwati Makassar. Beliau mengkombinasikan Tarekat Syattâriyah dengan tarekat lainnya terutama Tarekat Qadiriyyah yang beliau terima dari Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Yang kemudian ditambahnya pula dengan Tarekat Naqsabandiyyah. Kemudian Syekh Yusuf Makassar melanjutkan perjuangan ke Banten. Di Banten beliau menikah dengan puteri Sultan Ageng Tirtayasa. Bahwa sebelumnya sultan ini adalah sahabat dan muridnya. Akibat dari peperangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya Sultan Haji yang dibantu oleh Belanda, Syekh Yusuf ditangkap oleh Belanda karena beliau berpihak kepada Sultan Ageng. Akhirnya beliau dibuang ke pulau Ceylon namun dalam tahanan beliau masih sempat menjalankan kegiatan. Beliau meneruskan ajaran Islam aliran Tasawuf dan Thariqat-thariqatnya, masih sempat pula menulis kitab-kitab mengenai Shufi yang kemudian dikirim ke Banten dan Sulawesi melalui orang-orang haji yang kembali dari Mekkah yang singgah di pulau Ceylon itu. Karena menghawatirkan bagi Belanda akhirnya beliau dibuang ke Afrika Selatan, disanalah beliau wafat.[17]
Penutup
Tasawuf merupakan kajian yang mencakup orang-orang khusus. Dalam artian tidak sembarang orang dapat memasuki dunia tasawuf. Banyak kaidah dan ajaran yang disajikan oleh para guru sufi sendiri. Pada abad XVI-XVIII merupakan kejayaan intelektual sufisme di Nusantara. Banyak tokoh-tokoh terkemuka yang muncul seperti Abdurrauf As-Sinkli. Beliau merupakan salah satu tokoh yang cukup berhasil dalam mengembangkan tarekat Syattariyahnya. Tidak banyak terjadi konflik dalam mengajarkan tarekatnya. Lain halnya dengan tokoh lain seperti Hamzah Fansuri, yang menimbulkan perseteruan dalam mengajarkan ilmu tarekatnya di masyarakat, sehingga sangat disayangkan ajaran tarekatnya hanya mati ditempat. Tapi perlu diketahui juga bahwa dalam beberapa buku dijelaskan pula tentang percampuran tarekat Abdurrauf As-Sinkli seprti halnya beliau juga belajar tarekat Qadariyyah dan Naqsabandiyah. Untuk itu belum pasti fakta yang terjadi seperti apa?........
Mungkin ini erlu diadakan kajian analisis mengenai ajaran yang pasti yang dianut oleh Abdurrauf As-Sinkli. Semoga kedepan bisa meemukan jawabannya. Amin.....
Demikian yang dapat saya sampaikan, masih banyak yang perlu diperbaiki dalam tulisan ini. Kritik dan saran dari pembaca yang dibutuhkan, semoga bermanfaat.            



















Daftar Pustaka
Abdullah, Hawash. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokoh di Nusantara. Surabaya: Al-Ikhlas.
Anwar Rosihan, Dkk. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2001.
Azra, Azyumardi. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Angkasa. 2008.
Fathurahman, Oman. Tanbih Al-Masyi; Menyoal Wahdatul Wujud, Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17. Bandung: Mizan, 1999.
Mulyati, Sri. Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2004.
Mulyati, Sri. Tasawuf Nusantara : Rangkaiaan Mutiara Sufi Terkemuka. Bandung: Kencana. 2006.
Mufid, Ahmad Syafi’i. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indoesia. 2006.
Said, Usman. dkk. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera Utara: Proyek Pembinaan PTAIN Sumatera Utara. 1981-1982.
Shihab, Alwi. Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya Hingga Kini Di Indonesia. Bandung: Mizan. 2001.
Siregar, H.A. Rivay. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
Solihin, Muh. Sejarah Dan Pemikiran Tasawuf  Di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia. 2001.
Yahya, M. Wildan. Mengungkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul Muhyi – Menapaki Jejak Para Tokoh Sufi Nusantara Abad XVII & XVIII. Bandung: PT. Ratika Aditma. 2007.


[1]Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaiaan Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta: Kencana, 2006, h. 99.
[2]Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf, h. 54
[3]Ibid, h. 54 
[4] Diambil dari buku karangan Rivay Siregar. Menurut tarekat Syattariyah, sufisme dibedakan kepada tiga tingkatan, yakni: Al-Ahyar adalah mengutamakan kesempurnaan ibadah formal; Al-Abrar adalah lebih berorientasi pada pembinaan kesempurnaan rohaniah; dan Al-Syattar adalah yang lebih mengutamakan pendalaman spiritual dalam segala aspek kehidupan (esoterisme religious).  
[5] M.Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, h. 49-50.
[6]Yaitu pertanda telah lulus dalam pengujian secara suluk (perjalanan sufi).
[7]Rosihan Anwar,dkk, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2011, h. 253
[8]Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokoh di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, h. 51
[9]Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf, Bandung: Angkasa, 2008, h. 58
[10]Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004, h. 156
[11]M.Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, h. 59-60
[12]Oman Fathurahman, Tanbih Al-Masyi; Menyoal Wahdatul Wujud, Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, (Bandung: Mizan, 1999), cet II, h. 43-44
[13] Usman Said. dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf, Sumatera Utara: Proyek Pembinaan PTAIN Sumatera Utara. 1981-1982. H. 207-208. 
[14] M.Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, h. 51-52
[15] M. Wildan Yahya, Mengungkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul Muhyi-Menapaki Jejak Para Tokoh Sufi Nusantara Abad XVII & XVIII, Bandung: PT. Ratika Aditama, 2007, h. 96.
[16] M. Wildan Yahya, Mengungkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul Muhyi-Menapaki Jejak Para Tokoh Sufi Nusantara Abad XVII & XVIII, Bandung: PT. Ratika Aditama, 2007, h. 80-81
[17] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokoh di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, 52-53.

0 komentar:

Posting Komentar