Jumat, 07 Juni 2013

Ibnu Khaldun



A. Pendahuluan
            Ibnu Khaldun adalah seorang genial bangsa arab, kenapa demikian karena Ibnu Khaldun dalam masa hidupnya hampir hampir sisa hidupnya ia gunakan unutk bekerja, lebih tepatnya 54 tahun. 50 tahun untuk bekerja dan 4 tahun selanjutnya ia gunakan unutk melahirkan karya yang fenomenal. Yakni  kitab “Sejarah Alam Semesta, hasil karya yang tidak lagi diragukan. Hasil karya terbesar dalam hal sejarah dan hanya dalam tempo 4 tahun ia bisa menghasilkan karya tersebut[1].
 
A.      Biografi
Nama lengkap Ibn Khaldun adalah ‘Abd al-Rahman Abu Zaid Waliuddin ibn Khaldun. Namanya sendiri adalah ‘Abd al-Rahman. Nama keluarganya adalah Abu Zaid. Sedang gelarnya adalah Waliuddin. Dan ia terkenal dengan Ibn Khaldun. Dalam karyanya al-Ta’rif, yang dimulai dengan uraian tentang dirinya dan garis keturunannya, Ibn Khaldun berkata: “Ia adalah ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn ‘Abd al-Rahman ibn Khaldun”. Menurut ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, dalam karyanya ‘Abd al-Rahman ibn Khaldun; bahwa Ibn Hazm, dalam karyanya Jamharah Ansab al-‘Arab, menyebutkan bahwa keluarga Ibn Khaldun berasal dari Hadhramaut[2], Yaman, dan garis keturunannya berasal dari Wa’il bin Hajar, seorang sahabat Nabi yang terkenal. Khalid ibn ‘Utsman, yang kemudian terkenal dengan nama Khaldun dan salah seorang cucu Wa’il bin Hajar, memasuki Andalusia bersama-sama pasukan Kaum Muslimin dan bertempat tinggal di Carmona.[3]
‘Abd al-Rahman ibn Khaldun lahir di Tunis pada awal Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332. Seperti halnya kebiasaan pada waktu itu, ayahnya adalah guru pertamanya. Dan Tunisia ketika itu merupakan pusat berkumpulnya para ulama, dan para sastrawan di negara-negara Maghrib, serta menjadi pusat hijrah para ulama-ulama Andalusia yang menjadi korban kekacaubalauan situasi negeri yang tidak tenang. Diantara mereka adalah guru-guru Ibn Khaldun, disamping ayahnya sendiri. Dia belajar al-Qur’an dari mereka serta mendalami ketujuh macam cara membaca serta qira’at Ya’kub. Dia juga memperlajari ilmu-ilmu syari’at, antara lain tafsir, hadits, ushul, tauhid dan fiqih bermadzhabkan Imam Maliki . Disamping itu dia juga mempelajari ilmu-ilmu bahasa, seperti bahasa nahwu, sharaf, balaghah, dan kesusatraan. Kemudian juga mempelajari (logika), filsafat, serta ilmu-ilmu fisika dan matematika. Dalam semua bidang studinya, Ibn Khaldun membuat takjub seluruh gurunya. Dia selalu memperoleh ijazah dari mereka.[4]
Dalam berbagai karyanya Ibn Khaldun mencatat nama-nama gurunya, menuliskan riwayat hidupnya, meneliti kedudukan mereka dalam dunia ilmu dan karya-karya mereka.[5]Kemudian ia mempelajari bahasa pada sejumlah guru, yang terpenting ialah Abu ‘Abdillah Muhammad ibn al-‘Arabi al-Hashayiri dan Abu al-‘Abbas Ahmad ibn al-Qushshar serta Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Bahr. Ia mempelajari hadits kepada Syamsuddin Abu ‘Abdillah al-Wadiyasyi. Mengenai fiqh, ia belajar kepada sejumlah guru, di antaranya ialah Abu ‘Abdillah Muhammad al-Jiyani dan Abu al-Qasim Muhammad al-Qashir. Demikian halnya ia juga mempelajari ilmu-ilmu rasional atau filosofis, yaitu teologi, logika, ilmu-ilmu kealaman, matematika, dan astronomi kepada Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ibrahim al-Abili. Ia sangat mengagumi gurunya yang terakhir ini.[6]
Seperti kita lihat, pengetahuan Ibn Khaldun bercorak ensiklopedis. Namun begitu ia berusia dua puluh tahun ia berhenti belajar dan menerjunkan dirinya dalam kancah kehidupan politik yang penuh pergolakan yang mewarnai Maghrib ketika itu.[7]
Ibn khaldun meninggal dunia pada 25 Ramadhan 808 H (19 Maret 1406 M). Kematiannya mendadak, dan dimakamkan di makam para sufi di luar Bab al-Nashr, Kairo. Ibn Khaldn meninggal dunia pada usia 74 tahun menurut tahun Masehi, sedang menurut tahun Hijriyah ia berusia 76 tahun.[8]
            Ibnu Khaldun pernah menjabat sebagai perdana menteri di berbagai tempat contohnya ketika ia pergi ke afrika setelah perjalanan pulangya dari spanyol, ia diangkat oleh sultan Bougi di Aljazair menjadi perdana menteri.Pada tahun 1375 ia resmi meninggalkan segala jabatan kemudian ia dan keluarganya menetap di Istana Qal’at Ibnu salamah, dekat dengan Oran, dan selama empat tahun penuh ia menulis kitabnya Muqadimmah dan sejarah alam semesta (Kitab al-I’bar wa Diwan al Mubtada’ wal Khabar fi Aiyam al ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar.[9]  
            Namun pada tahun terakhir ketika ia kembali ke Mekkah ia diangkat kembali menajdi Ketua Mahkamah Agung, suatau jabatan ia pegang terus hingga tahun 1406[10], sampai ia meninggal dunia dalam usia tujuh puluh empat tahun. Dan dimakamkan di Kairo.
B.      Karya-karyanya
1.             Kitab al-I’bar wa Dhuan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-’Arab wa al-’Ajam wa al-Barbar wa man ‘Asharahiim min Dzawi al-Suthan al-Akbar.
2.             Kitab Muqaddimah Ibn Khaldun.
3.             Kitab al-Ta‘rif Ibn Khaldun wa Rihlatuhu Garban wa Syarqan.
4.             Karya-karya yang lain.

C.      Filsafat Sejarah Ibn Khaldun
Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah mengatakan: “Ilmu sejarah merupakan salah satu ilmu yang dikaji berbagai bangsa dan generasi. Pada lahiriahnya sejarah tidak lebih dari berita-berita tentang hari-hari, negara-negara, dan abad-abad yang silam. Ceritanya makin melebar, isinya makin ragam dan menjadi perbincangan berbagai kelompok dalam perayaan-perayaan. Berita-berita tentang kondisi ciptaan Tuhan ini menguraikan perubahan hal-ihwalnya, termasuk di antaranya perluasaan ruang lingkup dan kawasan negara-negara. Sedang pada batinnya, sejarah merupakan tinjauan dan pengkajian serta analisa tentang berbagai kejadian dan elemen-elemennya. Selain itu ia juga merupakan ilmu yang mendalam tentang berbagai peristiwa dan kausalitasnya. Oleh karena itu sejak lama telah timbul pikiran tentang hikmahnya.
Seperti diketahui, sewaktu Ibn Khaldun mengkaji karya-karya  sejarah para sejarahwan sebelumnya, ia melihat bahwa di dalamnya terdapat banyak kekeliruan. Karena itu ia berupaya menyusun asas-asas ilmu sejarah, yang diharapkan bisa dijadikan pedoman bagi para sejarahwan. Langkah Ibn Khaldun ini dapat diklasifikasikan sebagai salah satu aspek filsafat sejarah. Sebab ini berarti – seperti halnya setiap filsafat salah satu cabang ilmu pengetahuan – upaya membahas asas-asas ilmu sejarah.
Menurut Ibn Khaldun ada berbagai sebab yang mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam penulisan sejarah:
1.             Semangat tergolong (partisanship) kepada sesuatu kepercayaan atau pendapat.[11]
2.             Terlalu percaya kepada sumber-sumber seseorang.
3.             Tidak sanggupnya memahami apa yang sebenarnya yang dimaksud.
4.             Kepercayaan yang salah kepada kebenaran.
5.             Tidak sanggupnya dengan tepat menempatkan sesuatu kejadian dalam hubungan rentetan yang sebenarnya.
6.             Keinginan yang umum untuk mengambil hati orang-orang yang berkedudukan tinggi.[12]
7.             Tidak tahu tentang hukum-hukum mengenai perubahan masyarakat ummat manusia.[13]
Dibeberapa tempat dari kitab ‘Ibar-nya, Ibnu Khaldun menyimpang dari metode penulisan yang dicontohkannya kepada ahli-ahli sejarah didalam kitabnya al-Muqaddimah. Dan ia pun sering mengutip berita-berita lemah menurut ukuran kritik sosial, dan peristiwa-peristiwa sejarah yang tak bersumberkan fakta sejarah.[14]
Filsafat sejarah, dalam pengertian yang paling sederhana, adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofis untuk mengetahui faktor-faktor esensial yang mengendalikan perjalanan peristiwa-peristiwa historis itu, untuk kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap, yang mengarahkan perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi[15].
Thaha Hussein berpendapat bahwa Ibn Khaldun bukanlah pengasas sosiologi seperti yang dikatakan banyak penulis, antara lain Ferro dan Glumplowicz, tapi ia sekedar mengemukakan suatu filsafat sosial yang belum lagi mencapai peringkat ilmu, Ibn Khaldun mengkaji masyarakat agar dapat menginterpretasikan sejarah. Hal itu ia maksudkan untuk mengkaji hukum-hukum perkembangan manusia pada umumnya. Tujuan Ibn Khaldun sendiri adalah mengkaji peristiwa-peristiwa historis agar ia dapat mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang mengendalikan perjalanan peristiwa-peristiwa tersebut sepanjang zaman.[16] Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah sejarah itu terdapat factor-faktor yag mengendalikan sejarah atau apakah ada factor utama yang mengendalikan sejarah. Banyak pemikir yang berpendapat bahwa Allah-lah factor satu-satunya yang mengendalikan sejarah, dan sebagian pemikir lainya berpendapat bahwa pahlawan lah pengendali sejarah, ada juga yang berkata bahwa ekonomilah yang menjadi penggerak sejarah.[17]
Memang Ibn Khaldun tidak mempergunakan ungkapan “filsafat sejarah” sebagai sebutan kajiannya, tapi ia menyebutnya dengan nama “al-‘umran al-basyari”. Kata Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimahi: “al-‘umran al-Basyari adalah masyarakat manusia”. Apa sebenarnya makna “al-Umran” menurut Ibn Khaldun? Banyak para peneliti yang berpendapat bahwa yang dimaksud Ibn Khaldun dengan al-‘umran adalah kebudayaan.[18]
Adapun tujuan ilmu baru tersebut, seperti dikemukakan Muhsin Mahdi dalam karyanya Ibn Khaldun’s Philoshophy of History, adalah mengkaji aspek “internal” dari peristiwa-peristiwa eksternal sejarah, karena sejarah dan ilmu kebudayaan mengakaji dua aspek dari fakta yang sama. Jadi, apabila sejarah meneliti peristiwa-peristiwa historis dari lahiriahnya, sementara ilmu kebudayaan membahas watak dan sebab peristiwa-peristiwa itu. Jelas bahwa dalam hal ini kajian kebudayaan lebih dahulu ketimbang kajian sejarah.[19] Tujuan lainnya adalah dikatakan bahwa sejarah itu berjalan sesuai dengan sesuatu kerangka tertentu artinya sejarah itu berjalan sesuai dengan koridornya, bukan berjalan secara acak-acakan. Disinilah tujuan ilmu sejarah yakni ingin mengetahui kerangka sejarah tersebut.[20]
Ibn Khaldun, dalam menyusun ilmu barunya, tidak menimbanya dari para ilmuwan Muslim sebelumnya atau sezamannya. Hal ini karena ketika itu kebudayaan Arab-Islam telah memasuki fase kemunduran, dan pemikiran sangat diwarnai dengan corak keagamaan tanpa konsistensi terhadap metode ilmiah.[21]
Menurut Ibn Khaldun, masyarakat adalah makhluk historis yang hidup dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengannya. Hukum-hukum tersebut dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap sejumlah fenomena sosial. Ibn Khaldun berpendapat bahwa “ashabiah[22] merupakan asas berdirinya suatu negara dan faktor ekonomis adalah faktor terpenting yang menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat.[23]
Konsep gerak sejarah Ibn Khaldun mengikut pada tiga aliran Filsafat sejarah. Pertama, aliran sejarah sosial. Aliran ini berpendapat bahwa fenomena-fenomena sosial dapat ditafsirkan, dan teori-teorinya dapat dihuraikan dari fakta-fakta sejarah. Kedua, aliran ekonomi. Aliran ini menafsirkan sejarah secara materialis dan menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis. Setiap perubahan dalam masyarakat dan fenomena-fenomenanya merujuk pada faktor ekonomi. Karl Marx adalah tokoh yang mengembangkan aliran Filsafat sejarah ini. Ketiga, aliran geografis. Aliran ini memandang manusia sebagai putra alam lingkungan, dan kondisi-kondisi alam di sekitarnya. Oleh karena itu dalam penyejarahannya, seseorang, masyarakat dan tradisi-tradisinya dibentuk oleh lingkungan dan alam dimana ia berada. Alam dan lingkungan memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat, walaupun manusia sendiri juga bisa mempengaruhi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Ibn Khaldun fenomena-fenomena sosial tunduk pada hukum perkembangan. Demikian juga dengan gerak sejarah, ia mengalami perkembangan, yaitu mempunyai corak dialektis.
Selanjutnya dalam pandangan Ibn Khaldun ada tiga faktor dominan yang mempengaruhi dan mengendalikan perkembangan perjalanan sejarah dari waktu ke waktu. Pertama, faktor ekonomi. Menurut Ibn Khaldun kegiatan ekonomi menentukan bentuk kehidupan. Perbedaan agama seseorang bisa lahir karena penghidupan, keadaan dan waktu. Kegiatan ekonomi menjadi salah satu yang terpenting dalam mengendalikan kehidupan sosial, politik, moral masyarakat dan pikiran mereka. Kedua, faktor geografis, lingkungan dan iklim. Pengaruh geografi misalnya orang yang menempati kawasan yang kaya hasil bumi, biasanya cenderung malas-malasan dan pengaruhnya mereka akan malas serta lamban dalam berpikir. Sedangkan orang yang menempati kawasan yang miskin hasil bumi, cenderung rajin dalam bekerja karena makanannya terbatas tetapi minda mereka lebih tajam. Ketiga, faktor agama. Ibn Khaldun meyakini adanya pengaruh dan pengarahan Tuhan terhadap segala yang terjadi. Ia berkesimpulan bahwa hubungan antara Tuhan dan manusia wujud pada setiap ruang dan masa. Alam dan seisinya dibagikan kepada manusia sebagai khalifah-Nya. Sisi inilah yang membuktikan bahwa Ibn Khaldun merupakan seorang pemikir dan ahli Filsafat sejarah Islam. Ia mampu menghubungkan antara ekonomi, alam dan hukum determinisme dalam sejarah.
Berkaitan dengan hukum determinisme[24] sejarah, Ibn Khaldun menguraikannya dalam tiga hukum. Pertama, Hukum Sebab-Akibat (Legal Causality) yaitu hukum determinisme yang berkaitan dengan ilmu-ilmu kealaman pada asal mulanya. Khaldun menerapkan dan menjadikan hukum ini sebagai salah satu diantara dua prinsip Filsafatnya. Ia meyakini adanya hubungan sebab-akibat antara realitas dengan fenomena. Ia berasumsi bahwa semua realitas di alam ini dapat dicari hukum kausalitasnya. Kecuali mukjizat para nabi dan karomah para Wali. Kedua, Hukum Peniruan (Legal Copying). Menurut Khaldun peniruan itu sendiri merupakan satu hukum yang umum. Peniruan bisa menyebabkan kesamaan sosial. Ia menguraikan bahwa kelompok yang kalah selalu meniru kelompok yang menang dalam pakaian, tanda-tanda kebesaran, aqidah dan adat. Ketiga, Hukum Perbedaan (Legal Differences). Hukum ini juga diasumsikan sebagai salah satu hukum determinisme sejarah. Masyarakat menurut Ibn Khaldun tidaklah sama secara mutlak, tetapi terdapat perbedaan-perbedaan yang harus diketahui oleh sejarawan. Lebih jauh Ibn Khaldun menghubungkan bahwa perbedaan-perbedaan semakin membesar karena faktor geografis, fisik, ekonomi, politik, adat istiadat, tradisi dan agama.
Selain itu menurut Ibn Khaldun, sumber (rujukan) memainkan peranan menjadikan sebuah karya itu berwenang atau sebaliknya. Sumber bisa dibagi dua jenis yaitu sumber pertama yang disebut sebagai sumber primer dan sumber kedua yang disebut sebagai sumber sekunder. Sumber pertama adalah sumber yang berada dalam keadaan asli atau sebelum ditafsirkan. Sedangkan sumber kedua ialah merupakan hasil ataupun karya yang ditulis seseorang terhadap sesuatu peristiwa atau perkara yang didasarkan kepada sumber pertama. Ibn Khaldun telah menggunakan pendekatan atau kaidah ilmu hadits dalam menilainya terhadap sumber yang mengandung informasi berkaitan dengan syariat Islam. Kaidah ilmu hadits yang dimaksudkan disini dengan jalan mengkaji dari sudut periwayatan dari seorang individu kepada individu yang lain sehinggalah ianya sampai ke Nabi Muhammad SAW. Metode ini dapat dilihat melalui kitab-kitab Hadits seperti Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, di awal setiap hadits yang dikemukakan pastinya memaparkan periwayat-periwayat hadits tersebut sehingga ke periwayat yang mendengar sendiri daripada Rasullullah s.a.w. Kaidah ilmu hadits juga menekankan konsep tsiqah dalam menilai diri seseorang periwayat. Sekiranya dapat dibuktikan bahwa periwayat tersebut mempunyai sifat-sifat tercela seperti pembohong, pengkhianat bahkan banyak berkata yang sia-sia sekalipun, maka serta-merta hadits yang dibawa olehnya akan tertolak.
Ibn Khaldun telah membahas gejala-gejala kemasyarakatan atau fenomena sosial, dan dia meberinya istilah waqi’atu l’-umran al-basyari atau ahwaluh l-ijtima’ al-insani.[25]
Definisi dari gejala-gejala masyarakat, yaitu: kaidah-kaidah dan kecenderungan-kecenderungan umum yang dibentuk oleh individu-individu satu masyarakat sebagai dasar dalam mengatur masalah-masalah sosial yang terjadi di antara mereka, serta mempererat hubungan-hubungan yang mengikat mereka satu sama lainnya dan yang mengikat mereka dengan orang selain gorolongan mereka.[26]
Menurut ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, dalam salah satu kertas kerja yang diajukannya dalam Simposium Tentang Ibn Khaldun, Ibn Khaldun adalah orang yang pertama-pertama mengkaji fenomena-fenomena sosial dan kajiannya ini tidak dimaksudkan untuk menguraikan apa yang seharusnya berlaku pada suatu masyarakat.[27]
Metode yang dipergunakan Ibn Khaldun dalam mengkaji fenomena-fenomena sosial adalah metode yang ilmiah. Ibn Khaldun banyak menyandarkan pembahasan-pembahasannya terhadap pengamatannya atas gejala-gejala sosial yang terdapat pada bangsa-bangsa yang sempat diketahuinya dan pernah digantinya, hidup di tengah-tengah mereka, tanpa melupakan sejarah masa lalu dari bangsa-bangsa tersebut, juga bangsa-bangsa semacam atau menyamainya yang pernah diketahuinya dan pernah pula pula dialaminya hidup bersama mereka.[28]
Bukti bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang yang ahli sejarah dan yang menjadi pengasas ilmu tersebut ia banyak menulis permasalah-permasalahan yang fundamental seperti ia menulis bagaiman bahasa itu terbentuk, bagaimana bahasa itu berkembang sampai saat ini, ia juga benyak menulis tentang peradaban manusia dan mengupas permasaahan geografis, ekonomi, administrasi kenegaraan (hubungan Negara dan masyarakat) berbagai macam ilmu pengetahuan yang menjadi faktor pendukung pada sejarahnya atau yang membuktikan bahwa ia adalah tokoh sejarah bahkan bisa membuktikan bahwa memang dialah pengasas ilmu sejarah.
E. Kekuasaan dan Tanggung Jawab
            Dalam kitab muqadimmah-nya membahas permasalahan kekuasaan ia menggunakan kata ­“Al-Mulk”, kata ini banyak yang memberi interpretasi bahwa Ibnu Khaldun pernah merenungkan tentang kondisi social-politik Negara-negara Arab-Islam yang selalu dililit oleh konflik antar elit kekusaan. Dalam menjelaskan kekuasaan Ibnu Khaldun mengartiakan bahwa kekuasaan adalah terbentuk melalui kemenangan suatu kelompok tertentu atas lainnya. Ia mengambarkan bahwa kehidupan kekuasaan itu merupakan kedudukan yang menyenangkan, diliputi dengan kesenangan materi maupun maknawi, material maupun spiritual, sehingga untuk mencapai semua itu seringkali melalui kompetisi-kompetisi yang menggemparkan dan sedikit orang yang menyerahkan secara cuma-cuma.
            Untuk itu Ibnu Khaldun memberikan saran untuk mengemban amanat ini, atau sikap tanggung jawab seperti apa yang ditawarkan oleh beliau, kekuasan dan politik menurutnya memiliki tujuan substansial yang seharusnya diformulasikan untuk kemanusiaan, karena keduaanya secara naluri berkait dengan fitrah manusia dan pola pikirnya yang condong kepada maslahat. Dan permasalahan kekuasaan Ibnu Khaldun bermuara dari pemahaman bahwa kekuasaan dan politik merupakan tanggung jawab dan amanat dari Allah. Hematnya konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun adalah bagaimana agar kekuasaan ini senantiasa direfleksikan bergandengan dengna rasa kemanusiaan.[29]

F. Masyarakat dan Negara
            Dalam kehidupan bermasyarakat bernegara dan berperadaban itu tidak ada hubungannya dengan agama, dalam artian Negara dan budaya bisa tumbuh dan berkembang tanpa harus didatangi oleh ajaran-ajaran nabi. Bagi Ibnu Khaldun, keeksistensinya masyarakat, Negara, dan peradaban tidak tergantung oleh agama. Ia juga membedakan anatara mastarakat dan Negara, dalam pemikira yunani kuno bahwa Negara dan masyarakat itu identik. Berbeda dengan Ibnu Khaldun, ia berpendapat bahwa permasalah  ini berhungna dengan tabiat dan fitrah kejadiaanya, manusia memerlukan masyarakat, dalam artiaan manusia tidak bisa bertahan hidup tanpa adanya kerjasama dengan antar sesamanya. Namun Negara, Negara selalu dikaitkan dengan pemegang kekuasaan. Tetapi anatara keduanya tidak dapt dipisahkan, sebagaimana bentuk suatu benda tidak dapat dipisahkan dari isinya.[30]

G. Pendidikan
            Dalam Muqadimmahnya ia tidak cukup jelas dalam memberi penegrtian pada pendidikan, namun terdapat gambaran-gambaran secara umum, ia pernah mengatakan yang say kutip dari Al-allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukadimmah, diterjemahkan oleh Maturi Ilham dkk.
              “Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman,  maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata karma yang dibutuhkan sehubungan dengan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya”[31]
            Dari ungkapan beliau ini dapat diartikan bahwa pendidikan it tidak hanya dapat diperoleh melalui belajar yang dibatasi oleh  empat dinding atau sekolahan pada saat ini, tetapi dapat diperoleh dari beberapa hala yang lain seperti belajar dari alam, atau keadaan.
H. Bahasa
             Sebelumnya telah dikatakan bahwa Ibnu Khaldun juga tidak melupakan tentang permasalahan bahasa dalam muqadimahnya ia juga sedikit menyinggung tentang permasalaah bahasa. Ketahuilah, bahwa semau bahasa adalah malakah (kemampuan dan keistimewaan), serupa dengan keilmuan yang diupayakan. Tetapi beliau lebih memilih bahasa arab sebagai bahan untuk dijadikan pembahasanya seperti yang terdapat dalam kitab muqadimahnya, beliau lebih memilih bahasa arab sebagai pusat perhatiaanya.[32]
E.      Penutup
Pada hakikatnya sejarah dalam kata lainnya, mengandung penelitian dan usaha mencari kebenaran, penjelasan yang halus tentang sebab dan asal benda, pengertian dan pengetahuan tentang substansi, esensi dan pengetahuan tentang bagaimana dan sebab terjadinya peristiwa-peristiwa. Dengan demikian, sejarah benar-benar berakar dengan filsafat.














F.      Daftar Pustaka
al-Khudhairi,Zainab, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, Penerjemah Ahmad Rofi ‘Utsmani (Bandung, Pustaka, 1987).
Wafi,Ali Abd Wahid, Ibnu Khaldun (Riwayat dan Karya-karyanya), Penerjemah Akhmadi Thoha (Jakarta PT Grafitipers, 1985).
khaldun , Ibnu.  Filsafat Islam tentang Sejarah. diterjemahkan oleh Charles Issawi dan di salin lagi oleh Mukti Ali. Jakarta: Tintaemas Indonesia, 1976
Al-allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukadimmah, diterjemahkan oleh Maturi Ilham dkk, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001


[1] Ibnu Khaldun, Filsafat Islam tentang Sejarah, diterjemahkan oleh Charles Issawi, dan di salin lagi oleh Mukti Ali, (Jakarta: Tintaemas Indonesia, 1976), h. XXIV
[2] Suatu tanah pertanian yang agak subur di jazirah arab sebelah selatan. Dari Charles Issawi. h. 2
[3]  Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun,Penerjemah Ahmad Rofi ‘Utsmani(Bandung, Pustaka, 1987), h. 8.
[4]  Ali Abd Wahid Wafi, Ibnu Khaldun (Riwayat dan Karya-karyanya), Penerjemah Akhmadi Thoha (Jakarta PT Grafitipers, 1985), h. 11.
[5]  Ali Abd Wahid Wafi, Ibnu Khaldun (Riwayat dan Karya-karyanya), h. 12.
[6]  Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h. 10.
[7]  Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h. 10.
[8]   Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h. 19.
[9] Ibnu Khaldun, Filsafat Islam tentang Sejarah, diterjemahkan oleh Charles Issawi, dan di salin lagi oleh Mukti Ali, h. 4-5
[10] Ibnu Khaldun, Filsafat Islam tentang Sejarah, diterjemahkan oleh Charles Issawi, dan di salin lagi oleh Mukti Ali, h. 7
[11] Charles Issawi, M.A., Filsafat Islam Tentang Sejarah, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1976), h. 36.
[12] Charles Issawi, M.A., Filsafat Islam Tentang Sejarah, h. 37.
[13] Charles Issawi, M.A., Filsafat Islam Tentang Sejarah, h. 38.
[14]  Ali Abd Wahid Wafi, Ibnu Khaldun (Riwayat dan Karya-karyanya), h. 147.
[15] Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h. 54
[16]  Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h. 56.
[17] Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h. 55
[18] Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h. 57.
[19] Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h. 58.
[20] Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h. 54
[21] Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h. 60.
[22] Suatu suku yang mungkin dapat membentuk dan memelihara suatu Negara apabila suku itu memiliki sejumlah karakteristik social-politik tertentu, dan Ibnu Khaldun menyebut mereka dengan sebutan Ashabiyah dari Al-allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukadimmah, diterjemahkan oleh Maturi Ilham dkk, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. VIII
[23]  Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h. 62.
[24] paham yg menganggap setiap kejadian atau tindakan, baik yg menyangkut jasmani maupun rohani, merupakan konsekuensi kejadian sebelumnya dan ada di luar kemauan.

[25]   Ali Abd Wahid Wafi, Ibnu Khaldun (Riwayat dan Karya-karyanya), h. 84.
[26]   Ali Abd Wahid Wafi, Ibnu Khaldun (Riwayat dan Karya-karyanya), h. 85.
[27]   Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h. 70.
[28]   Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h. 70.
[29] Al-allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukadimmah, diterjemahkan oleh Maturi Ilham dkk, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. VII-VIII
[30] Al-allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukadimmah, diterjemahkan oleh Maturi Ilham dk, h. IX
[31] Al-allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukadimmah, diterjemahkan oleh Maturi Ilham dkk, h. XIII
[32] Al-allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukadimmah, diterjemahkan oleh Maturi Ilham dkk, h. 1027

0 komentar:

Posting Komentar