A. Pendahuluan
Ibnu Khaldun adalah seorang
genial bangsa arab, kenapa demikian karena Ibnu Khaldun dalam masa hidupnya
hampir hampir sisa hidupnya ia gunakan unutk bekerja, lebih tepatnya 54 tahun.
50 tahun untuk bekerja dan 4 tahun selanjutnya ia gunakan unutk melahirkan
karya yang fenomenal. Yakni kitab “Sejarah
Alam Semesta, hasil karya yang tidak lagi diragukan. Hasil karya terbesar
dalam hal sejarah dan hanya dalam tempo 4 tahun ia bisa menghasilkan karya
tersebut[1].
A. Biografi
Nama lengkap Ibn
Khaldun adalah ‘Abd al-Rahman Abu Zaid Waliuddin ibn Khaldun. Namanya sendiri
adalah ‘Abd al-Rahman. Nama keluarganya adalah Abu Zaid. Sedang gelarnya adalah
Waliuddin. Dan ia terkenal dengan Ibn Khaldun. Dalam karyanya al-Ta’rif, yang dimulai dengan uraian tentang
dirinya dan garis keturunannya, Ibn Khaldun berkata: “Ia adalah ‘Abd al-Rahman
ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn
Ibrahim ibn ‘Abd al-Rahman ibn Khaldun”. Menurut ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, dalam
karyanya ‘Abd al-Rahman ibn Khaldun;
bahwa Ibn Hazm, dalam karyanya Jamharah
Ansab al-‘Arab, menyebutkan bahwa keluarga Ibn Khaldun berasal dari
Hadhramaut[2],
Yaman, dan garis keturunannya berasal dari Wa’il bin Hajar, seorang sahabat
Nabi yang terkenal. Khalid ibn ‘Utsman, yang kemudian terkenal dengan nama
Khaldun dan salah seorang cucu Wa’il bin Hajar, memasuki Andalusia bersama-sama
pasukan Kaum Muslimin dan bertempat tinggal di Carmona.[3]
‘Abd al-Rahman
ibn Khaldun lahir di Tunis pada awal Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332. Seperti
halnya kebiasaan pada waktu itu, ayahnya adalah guru pertamanya. Dan Tunisia
ketika itu merupakan pusat berkumpulnya para ulama, dan para sastrawan di
negara-negara Maghrib, serta menjadi pusat hijrah para ulama-ulama Andalusia
yang menjadi korban kekacaubalauan situasi negeri yang tidak tenang. Diantara
mereka adalah guru-guru Ibn Khaldun, disamping ayahnya sendiri. Dia belajar
al-Qur’an dari mereka serta mendalami ketujuh macam cara membaca serta qira’at Ya’kub. Dia juga memperlajari ilmu-ilmu
syari’at, antara lain tafsir, hadits, ushul, tauhid dan fiqih bermadzhabkan
Imam Maliki . Disamping itu dia juga mempelajari ilmu-ilmu bahasa, seperti
bahasa nahwu, sharaf, balaghah, dan kesusatraan. Kemudian juga mempelajari
(logika), filsafat, serta ilmu-ilmu fisika dan matematika. Dalam semua bidang
studinya, Ibn Khaldun membuat takjub seluruh gurunya. Dia selalu memperoleh
ijazah dari mereka.[4]
Dalam berbagai
karyanya Ibn Khaldun mencatat nama-nama gurunya, menuliskan riwayat hidupnya,
meneliti kedudukan mereka dalam dunia ilmu dan karya-karya mereka.[5]Kemudian
ia mempelajari bahasa pada sejumlah guru, yang terpenting ialah Abu ‘Abdillah
Muhammad ibn al-‘Arabi al-Hashayiri dan Abu al-‘Abbas Ahmad ibn al-Qushshar
serta Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Bahr. Ia mempelajari hadits kepada Syamsuddin
Abu ‘Abdillah al-Wadiyasyi. Mengenai fiqh, ia belajar kepada sejumlah guru, di
antaranya ialah Abu ‘Abdillah Muhammad al-Jiyani dan Abu al-Qasim Muhammad
al-Qashir. Demikian halnya ia juga mempelajari ilmu-ilmu rasional atau
filosofis, yaitu teologi, logika, ilmu-ilmu kealaman, matematika, dan astronomi
kepada Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ibrahim al-Abili. Ia sangat mengagumi gurunya
yang terakhir ini.[6]
Seperti kita
lihat, pengetahuan Ibn Khaldun bercorak ensiklopedis. Namun begitu ia berusia
dua puluh tahun ia berhenti belajar dan menerjunkan dirinya dalam kancah
kehidupan politik yang penuh pergolakan yang mewarnai Maghrib ketika itu.[7]
Ibn khaldun
meninggal dunia pada 25 Ramadhan 808 H (19 Maret 1406 M). Kematiannya mendadak,
dan dimakamkan di makam para sufi di luar Bab al-Nashr, Kairo. Ibn Khaldn
meninggal dunia pada usia 74 tahun menurut tahun Masehi, sedang menurut tahun
Hijriyah ia berusia 76 tahun.[8]
Ibnu Khaldun pernah menjabat sebagai
perdana menteri di berbagai tempat contohnya ketika ia pergi ke afrika setelah
perjalanan pulangya dari spanyol, ia diangkat oleh sultan Bougi di Aljazair
menjadi perdana menteri.Pada tahun 1375 ia resmi meninggalkan segala jabatan
kemudian ia dan keluarganya menetap di Istana Qal’at Ibnu salamah, dekat dengan
Oran, dan selama empat tahun penuh ia menulis kitabnya Muqadimmah dan sejarah
alam semesta (Kitab al-I’bar wa Diwan al Mubtada’ wal Khabar fi Aiyam al ‘Arab
wal ‘Ajam wal Barbar.[9]
Namun pada tahun terakhir ketika ia
kembali ke Mekkah ia diangkat kembali menajdi Ketua Mahkamah Agung, suatau
jabatan ia pegang terus hingga tahun 1406[10],
sampai ia meninggal dunia dalam usia tujuh puluh empat tahun. Dan dimakamkan di
Kairo.
B. Karya-karyanya
1.
Kitab
al-I’bar wa Dhuan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-’Arab wa al-’Ajam wa
al-Barbar wa man ‘Asharahiim min Dzawi al-Suthan al-Akbar.
2.
Kitab
Muqaddimah Ibn Khaldun.
3.
Kitab
al-Ta‘rif Ibn Khaldun wa Rihlatuhu Garban wa Syarqan.
4.
Karya-karya
yang lain.
C. Filsafat Sejarah Ibn Khaldun
Ibn Khaldun
dalam al-Muqaddimah mengatakan: “Ilmu sejarah merupakan salah satu ilmu yang
dikaji berbagai bangsa dan generasi. Pada lahiriahnya sejarah tidak lebih dari
berita-berita tentang hari-hari, negara-negara, dan abad-abad yang silam.
Ceritanya makin melebar, isinya makin ragam dan menjadi perbincangan berbagai
kelompok dalam perayaan-perayaan. Berita-berita tentang kondisi ciptaan Tuhan
ini menguraikan perubahan hal-ihwalnya, termasuk di antaranya perluasaan ruang
lingkup dan kawasan negara-negara. Sedang pada batinnya, sejarah merupakan
tinjauan dan pengkajian serta analisa tentang berbagai kejadian dan
elemen-elemennya. Selain itu ia juga merupakan ilmu yang mendalam tentang
berbagai peristiwa dan kausalitasnya. Oleh karena itu sejak lama telah timbul
pikiran tentang hikmahnya.
Seperti
diketahui, sewaktu Ibn Khaldun mengkaji karya-karya sejarah para sejarahwan sebelumnya, ia
melihat bahwa di dalamnya terdapat banyak kekeliruan. Karena itu ia berupaya
menyusun asas-asas ilmu sejarah, yang diharapkan bisa dijadikan pedoman bagi
para sejarahwan. Langkah Ibn Khaldun ini dapat diklasifikasikan sebagai salah
satu aspek filsafat sejarah. Sebab ini berarti – seperti halnya setiap filsafat
salah satu cabang ilmu pengetahuan – upaya membahas asas-asas ilmu sejarah.
Menurut Ibn
Khaldun ada berbagai sebab yang mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam
penulisan sejarah:
1.
Semangat
tergolong (partisanship) kepada sesuatu kepercayaan atau pendapat.[11]
2.
Terlalu
percaya kepada sumber-sumber seseorang.
3.
Tidak
sanggupnya memahami apa yang sebenarnya yang
dimaksud.
4.
Kepercayaan
yang salah kepada kebenaran.
5.
Tidak
sanggupnya dengan tepat menempatkan sesuatu kejadian dalam hubungan rentetan
yang sebenarnya.
6.
Keinginan
yang umum untuk mengambil hati orang-orang yang berkedudukan tinggi.[12]
7.
Tidak
tahu tentang hukum-hukum mengenai perubahan masyarakat ummat manusia.[13]
Dibeberapa
tempat dari kitab ‘Ibar-nya, Ibnu
Khaldun menyimpang dari metode penulisan yang dicontohkannya kepada ahli-ahli
sejarah didalam kitabnya al-Muqaddimah.
Dan ia pun sering mengutip berita-berita lemah menurut ukuran kritik sosial,
dan peristiwa-peristiwa sejarah yang tak bersumberkan fakta sejarah.[14]
Filsafat
sejarah, dalam pengertian yang paling sederhana, adalah tinjauan terhadap
peristiwa-peristiwa historis secara filosofis untuk mengetahui faktor-faktor
esensial yang mengendalikan perjalanan peristiwa-peristiwa historis itu, untuk
kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap, yang mengarahkan
perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi[15].
Thaha Hussein
berpendapat bahwa Ibn Khaldun bukanlah pengasas sosiologi seperti yang
dikatakan banyak penulis, antara lain Ferro dan Glumplowicz, tapi ia sekedar
mengemukakan suatu filsafat sosial yang belum lagi mencapai peringkat ilmu, Ibn
Khaldun mengkaji masyarakat agar dapat menginterpretasikan sejarah. Hal itu ia
maksudkan untuk mengkaji hukum-hukum perkembangan manusia pada umumnya. Tujuan
Ibn Khaldun sendiri adalah mengkaji peristiwa-peristiwa historis agar ia dapat
mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang mengendalikan perjalanan
peristiwa-peristiwa tersebut sepanjang zaman.[16] Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah sejarah
itu terdapat factor-faktor yag mengendalikan sejarah atau apakah ada factor
utama yang mengendalikan sejarah. Banyak pemikir yang berpendapat bahwa
Allah-lah factor satu-satunya yang mengendalikan sejarah, dan sebagian pemikir
lainya berpendapat bahwa pahlawan lah pengendali sejarah, ada juga yang berkata
bahwa ekonomilah yang menjadi penggerak sejarah.[17]
Memang Ibn
Khaldun tidak mempergunakan ungkapan “filsafat sejarah” sebagai sebutan
kajiannya, tapi ia menyebutnya dengan nama “al-‘umran
al-basyari”. Kata Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimahi:
“al-‘umran al-Basyari adalah masyarakat manusia”. Apa sebenarnya makna “al-Umran” menurut Ibn Khaldun? Banyak
para peneliti yang berpendapat bahwa yang dimaksud Ibn Khaldun dengan al-‘umran adalah kebudayaan.[18]
Adapun tujuan
ilmu baru tersebut, seperti dikemukakan Muhsin Mahdi dalam karyanya Ibn Khaldun’s Philoshophy of History,
adalah mengkaji aspek “internal” dari peristiwa-peristiwa eksternal sejarah,
karena sejarah dan ilmu kebudayaan mengakaji dua aspek dari fakta yang sama.
Jadi, apabila sejarah meneliti peristiwa-peristiwa historis dari lahiriahnya,
sementara ilmu kebudayaan membahas watak dan sebab peristiwa-peristiwa itu.
Jelas bahwa dalam hal ini kajian kebudayaan lebih dahulu ketimbang kajian
sejarah.[19] Tujuan lainnya adalah dikatakan bahwa sejarah itu
berjalan sesuai dengan sesuatu kerangka tertentu artinya sejarah itu berjalan
sesuai dengan koridornya, bukan berjalan secara acak-acakan. Disinilah tujuan
ilmu sejarah yakni ingin mengetahui kerangka sejarah tersebut.[20]
Ibn Khaldun,
dalam menyusun ilmu barunya, tidak menimbanya dari para ilmuwan Muslim
sebelumnya atau sezamannya. Hal ini karena ketika itu kebudayaan Arab-Islam
telah memasuki fase kemunduran, dan pemikiran sangat diwarnai dengan corak
keagamaan tanpa konsistensi terhadap metode ilmiah.[21]
Menurut Ibn
Khaldun, masyarakat adalah makhluk historis yang hidup dan berkembang sesuai
dengan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengannya. Hukum-hukum tersebut dapat
diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap sejumlah fenomena sosial. Ibn
Khaldun berpendapat bahwa “ashabiah[22]”
merupakan asas berdirinya suatu negara dan faktor ekonomis adalah faktor
terpenting yang menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat.[23]
Konsep gerak
sejarah Ibn Khaldun mengikut pada tiga aliran Filsafat sejarah. Pertama,
aliran sejarah sosial. Aliran ini berpendapat bahwa fenomena-fenomena sosial
dapat ditafsirkan, dan teori-teorinya dapat dihuraikan dari fakta-fakta
sejarah. Kedua, aliran ekonomi. Aliran ini menafsirkan sejarah secara
materialis dan menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis. Setiap
perubahan dalam masyarakat dan fenomena-fenomenanya merujuk pada faktor
ekonomi. Karl Marx adalah tokoh yang mengembangkan aliran Filsafat sejarah ini.
Ketiga, aliran geografis. Aliran ini memandang manusia sebagai putra
alam lingkungan, dan kondisi-kondisi alam di sekitarnya. Oleh karena itu dalam
penyejarahannya, seseorang, masyarakat dan tradisi-tradisinya dibentuk oleh
lingkungan dan alam dimana ia berada. Alam dan lingkungan memiliki dampak
terhadap kehidupan masyarakat, walaupun manusia sendiri juga bisa mempengaruhi
dan berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Ibn Khaldun fenomena-fenomena
sosial tunduk pada hukum perkembangan. Demikian juga dengan gerak sejarah, ia
mengalami perkembangan, yaitu mempunyai corak dialektis.
Selanjutnya
dalam pandangan Ibn Khaldun ada tiga faktor dominan yang mempengaruhi dan
mengendalikan perkembangan perjalanan sejarah dari waktu ke waktu. Pertama,
faktor ekonomi. Menurut Ibn Khaldun kegiatan ekonomi menentukan bentuk
kehidupan. Perbedaan agama seseorang bisa lahir karena penghidupan, keadaan dan
waktu. Kegiatan ekonomi menjadi salah satu yang terpenting dalam mengendalikan
kehidupan sosial, politik, moral masyarakat dan pikiran mereka. Kedua,
faktor geografis, lingkungan dan iklim. Pengaruh geografi misalnya orang yang
menempati kawasan yang kaya hasil bumi, biasanya cenderung malas-malasan dan
pengaruhnya mereka akan malas serta lamban dalam berpikir. Sedangkan orang yang
menempati kawasan yang miskin hasil bumi, cenderung rajin dalam bekerja karena
makanannya terbatas tetapi minda mereka lebih tajam. Ketiga, faktor
agama. Ibn Khaldun meyakini adanya pengaruh dan pengarahan Tuhan terhadap
segala yang terjadi. Ia berkesimpulan bahwa hubungan antara Tuhan dan manusia
wujud pada setiap ruang dan masa. Alam dan seisinya dibagikan kepada manusia
sebagai khalifah-Nya. Sisi inilah yang membuktikan bahwa Ibn Khaldun merupakan
seorang pemikir dan ahli Filsafat sejarah Islam. Ia mampu menghubungkan antara
ekonomi, alam dan hukum determinisme dalam sejarah.
Berkaitan dengan
hukum determinisme[24]
sejarah, Ibn Khaldun menguraikannya dalam tiga hukum. Pertama, Hukum
Sebab-Akibat (Legal Causality) yaitu hukum determinisme yang berkaitan dengan
ilmu-ilmu kealaman pada asal mulanya. Khaldun menerapkan dan menjadikan hukum
ini sebagai salah satu diantara dua prinsip Filsafatnya. Ia meyakini adanya
hubungan sebab-akibat antara realitas dengan fenomena. Ia berasumsi bahwa semua
realitas di alam ini dapat dicari hukum kausalitasnya. Kecuali mukjizat para
nabi dan karomah para Wali. Kedua, Hukum Peniruan (Legal Copying).
Menurut Khaldun peniruan itu sendiri merupakan satu hukum yang umum. Peniruan
bisa menyebabkan kesamaan sosial. Ia menguraikan bahwa kelompok yang kalah
selalu meniru kelompok yang menang dalam pakaian, tanda-tanda kebesaran, aqidah
dan adat. Ketiga, Hukum Perbedaan (Legal Differences). Hukum ini juga
diasumsikan sebagai salah satu hukum determinisme sejarah. Masyarakat menurut
Ibn Khaldun tidaklah sama secara mutlak, tetapi terdapat perbedaan-perbedaan
yang harus diketahui oleh sejarawan. Lebih jauh Ibn Khaldun menghubungkan bahwa
perbedaan-perbedaan semakin membesar karena faktor geografis, fisik, ekonomi,
politik, adat istiadat, tradisi dan agama.
Selain itu
menurut Ibn Khaldun, sumber (rujukan) memainkan peranan menjadikan sebuah karya
itu berwenang atau sebaliknya. Sumber bisa dibagi dua jenis yaitu sumber
pertama yang disebut sebagai sumber primer dan sumber kedua yang disebut
sebagai sumber sekunder. Sumber pertama adalah sumber yang berada dalam keadaan
asli atau sebelum ditafsirkan. Sedangkan sumber kedua ialah merupakan hasil ataupun
karya yang ditulis seseorang terhadap sesuatu peristiwa atau perkara yang
didasarkan kepada sumber pertama. Ibn Khaldun telah menggunakan pendekatan atau
kaidah ilmu hadits dalam menilainya terhadap sumber yang mengandung informasi
berkaitan dengan syariat Islam. Kaidah ilmu hadits yang dimaksudkan disini
dengan jalan mengkaji dari sudut periwayatan dari seorang individu kepada
individu yang lain sehinggalah ianya sampai ke Nabi Muhammad SAW. Metode ini
dapat dilihat melalui kitab-kitab Hadits seperti Sahih Bukhari dan Sahih
Muslim, di awal setiap hadits yang dikemukakan pastinya memaparkan
periwayat-periwayat hadits tersebut sehingga ke periwayat yang mendengar
sendiri daripada Rasullullah s.a.w. Kaidah ilmu hadits juga menekankan konsep
tsiqah dalam menilai diri seseorang periwayat. Sekiranya dapat dibuktikan bahwa
periwayat tersebut mempunyai sifat-sifat tercela seperti pembohong, pengkhianat
bahkan banyak berkata yang sia-sia sekalipun, maka serta-merta hadits yang
dibawa olehnya akan tertolak.
Ibn Khaldun
telah membahas gejala-gejala kemasyarakatan atau fenomena sosial, dan dia
meberinya istilah waqi’atu l’-umran
al-basyari atau ahwaluh l-ijtima’
al-insani.[25]
Definisi dari
gejala-gejala masyarakat, yaitu: kaidah-kaidah dan kecenderungan-kecenderungan umum
yang dibentuk oleh individu-individu satu masyarakat sebagai dasar dalam
mengatur masalah-masalah sosial yang terjadi di antara mereka, serta mempererat
hubungan-hubungan yang mengikat mereka satu sama lainnya dan yang mengikat
mereka dengan orang selain gorolongan mereka.[26]
Menurut ‘Ali
‘Abd al-Wahid Wafi, dalam salah satu kertas kerja yang diajukannya dalam
Simposium Tentang Ibn Khaldun, Ibn Khaldun adalah orang yang pertama-pertama
mengkaji fenomena-fenomena sosial dan kajiannya ini tidak dimaksudkan untuk
menguraikan apa yang seharusnya berlaku pada suatu masyarakat.[27]
Metode yang
dipergunakan Ibn Khaldun dalam mengkaji fenomena-fenomena sosial adalah metode
yang ilmiah. Ibn Khaldun banyak menyandarkan pembahasan-pembahasannya terhadap
pengamatannya atas gejala-gejala sosial yang terdapat pada bangsa-bangsa yang
sempat diketahuinya dan pernah digantinya, hidup di tengah-tengah mereka, tanpa
melupakan sejarah masa lalu dari bangsa-bangsa tersebut, juga bangsa-bangsa
semacam atau menyamainya yang pernah diketahuinya dan pernah pula pula
dialaminya hidup bersama mereka.[28]
Bukti bahwa Ibnu
Khaldun adalah seorang yang ahli sejarah dan yang menjadi pengasas ilmu
tersebut ia banyak menulis permasalah-permasalahan yang fundamental seperti ia
menulis bagaiman bahasa itu terbentuk, bagaimana bahasa itu berkembang sampai
saat ini, ia juga benyak menulis tentang peradaban manusia dan mengupas
permasaahan geografis, ekonomi, administrasi kenegaraan (hubungan Negara dan
masyarakat) berbagai macam ilmu pengetahuan yang menjadi faktor pendukung pada
sejarahnya atau yang membuktikan bahwa ia adalah tokoh sejarah bahkan bisa
membuktikan bahwa memang dialah pengasas ilmu sejarah.
E. Kekuasaan dan
Tanggung Jawab
Dalam kitab muqadimmah-nya membahas permasalahan kekuasaan ia menggunakan
kata “Al-Mulk”, kata ini banyak yang memberi interpretasi bahwa Ibnu
Khaldun pernah merenungkan tentang kondisi social-politik Negara-negara
Arab-Islam yang selalu dililit oleh konflik antar elit kekusaan. Dalam
menjelaskan kekuasaan Ibnu Khaldun mengartiakan bahwa kekuasaan adalah
terbentuk melalui kemenangan suatu kelompok tertentu atas lainnya. Ia
mengambarkan bahwa kehidupan kekuasaan itu merupakan kedudukan yang
menyenangkan, diliputi dengan kesenangan materi maupun maknawi, material maupun
spiritual, sehingga untuk mencapai semua itu seringkali melalui
kompetisi-kompetisi yang menggemparkan dan sedikit orang yang menyerahkan
secara cuma-cuma.
Untuk itu Ibnu Khaldun memberikan
saran untuk mengemban amanat ini, atau sikap tanggung jawab seperti apa yang
ditawarkan oleh beliau, kekuasan dan politik menurutnya memiliki tujuan
substansial yang seharusnya diformulasikan untuk kemanusiaan, karena keduaanya
secara naluri berkait dengan fitrah manusia dan pola pikirnya yang condong
kepada maslahat. Dan permasalahan kekuasaan Ibnu Khaldun bermuara dari
pemahaman bahwa kekuasaan dan politik merupakan tanggung jawab dan amanat dari
Allah. Hematnya konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun adalah bagaimana agar
kekuasaan ini senantiasa direfleksikan bergandengan dengna rasa kemanusiaan.[29]
F. Masyarakat
dan Negara
Dalam kehidupan bermasyarakat
bernegara dan berperadaban itu tidak ada hubungannya dengan agama, dalam artian
Negara dan budaya bisa tumbuh dan berkembang tanpa harus didatangi oleh
ajaran-ajaran nabi. Bagi Ibnu Khaldun, keeksistensinya masyarakat, Negara, dan
peradaban tidak tergantung oleh agama. Ia juga membedakan anatara mastarakat
dan Negara, dalam pemikira yunani kuno bahwa Negara dan masyarakat itu identik.
Berbeda dengan Ibnu Khaldun, ia berpendapat bahwa permasalah ini berhungna dengan tabiat dan fitrah
kejadiaanya, manusia memerlukan masyarakat, dalam artiaan manusia tidak bisa
bertahan hidup tanpa adanya kerjasama dengan antar sesamanya. Namun Negara,
Negara selalu dikaitkan dengan pemegang kekuasaan. Tetapi anatara keduanya
tidak dapt dipisahkan, sebagaimana bentuk suatu benda tidak dapat dipisahkan
dari isinya.[30]
G. Pendidikan
Dalam Muqadimmahnya ia tidak cukup jelas dalam memberi penegrtian
pada pendidikan, namun terdapat gambaran-gambaran secara umum, ia pernah
mengatakan yang say kutip dari Al-allamah Abdurrahman
bin Muhammad bin Khaldun, Mukadimmah, diterjemahkan oleh Maturi Ilham
dkk.
“Barangsiapa tidak terdidik
oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata
karma yang dibutuhkan sehubungan dengan pergaulan bersama melalui orang tua
mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu
dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa
yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya”[31]
Dari ungkapan beliau ini dapat diartikan bahwa
pendidikan it tidak hanya dapat diperoleh melalui belajar yang dibatasi
oleh empat dinding atau sekolahan pada
saat ini, tetapi dapat diperoleh dari beberapa hala yang lain seperti belajar
dari alam, atau keadaan.
H. Bahasa
Sebelumnya telah dikatakan bahwa Ibnu
Khaldun juga tidak melupakan tentang permasalahan bahasa dalam muqadimahnya ia
juga sedikit menyinggung tentang permasalaah bahasa. Ketahuilah, bahwa semau
bahasa adalah malakah (kemampuan dan keistimewaan), serupa dengan
keilmuan yang diupayakan. Tetapi beliau lebih memilih bahasa arab sebagai bahan
untuk dijadikan pembahasanya seperti yang terdapat dalam kitab muqadimahnya,
beliau lebih memilih bahasa arab sebagai pusat perhatiaanya.[32]
E. Penutup
Pada hakikatnya
sejarah dalam kata lainnya, mengandung penelitian dan usaha mencari kebenaran,
penjelasan yang halus tentang sebab dan asal benda, pengertian dan pengetahuan
tentang substansi, esensi dan pengetahuan tentang bagaimana dan sebab
terjadinya peristiwa-peristiwa. Dengan demikian, sejarah benar-benar berakar
dengan filsafat.
F. Daftar Pustaka
al-Khudhairi,Zainab, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, Penerjemah
Ahmad Rofi ‘Utsmani (Bandung, Pustaka, 1987).
Wafi,Ali Abd Wahid, Ibnu Khaldun (Riwayat dan Karya-karyanya), Penerjemah Akhmadi Thoha
(Jakarta PT Grafitipers, 1985).
khaldun , Ibnu. Filsafat Islam tentang Sejarah.
diterjemahkan oleh Charles Issawi dan di salin lagi oleh Mukti Ali. Jakarta:
Tintaemas Indonesia, 1976
Al-allamah Abdurrahman bin Muhammad bin
Khaldun, Mukadimmah, diterjemahkan oleh Maturi Ilham dkk, Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar, 2001
[1] Ibnu Khaldun, Filsafat
Islam tentang Sejarah, diterjemahkan oleh Charles Issawi, dan di salin lagi
oleh Mukti Ali, (Jakarta: Tintaemas Indonesia, 1976), h. XXIV
[2] Suatu tanah pertanian
yang agak subur di jazirah arab sebelah selatan. Dari Charles Issawi. h. 2
[3] Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun,Penerjemah Ahmad Rofi ‘Utsmani(Bandung,
Pustaka, 1987), h. 8.
[4] Ali Abd Wahid Wafi, Ibnu Khaldun (Riwayat dan
Karya-karyanya), Penerjemah Akhmadi Thoha (Jakarta PT Grafitipers, 1985), h. 11.
[5] Ali Abd Wahid Wafi, Ibnu Khaldun (Riwayat dan
Karya-karyanya), h. 12.
[6] Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h. 10.
[7] Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h. 10.
[8] Zainab
al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn
Khaldun, h. 19.
[9] Ibnu Khaldun, Filsafat
Islam tentang Sejarah, diterjemahkan oleh Charles Issawi, dan di salin lagi
oleh Mukti Ali, h. 4-5
[10] Ibnu Khaldun, Filsafat
Islam tentang Sejarah, diterjemahkan oleh Charles Issawi, dan di salin lagi
oleh Mukti Ali, h. 7
[11] Charles Issawi, M.A., Filsafat Islam Tentang Sejarah,
(Jakarta: Tintamas Indonesia, 1976), h. 36.
[12] Charles Issawi, M.A., Filsafat Islam Tentang Sejarah, h. 37.
[13] Charles Issawi, M.A., Filsafat Islam Tentang Sejarah, h. 38.
[14] Ali Abd Wahid Wafi, Ibnu Khaldun (Riwayat dan
Karya-karyanya), h. 147.
[18] Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h. 57.
[22] Suatu suku yang mungkin dapat membentuk dan memelihara suatu Negara apabila
suku itu memiliki sejumlah karakteristik social-politik tertentu, dan Ibnu
Khaldun menyebut mereka dengan sebutan Ashabiyah dari Al-allamah
Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukadimmah, diterjemahkan oleh
Maturi Ilham dkk, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. VIII
[24] paham yg menganggap setiap kejadian atau tindakan, baik yg
menyangkut jasmani maupun rohani, merupakan konsekuensi kejadian sebelumnya dan
ada di luar kemauan.
[25] Ali Abd
Wahid Wafi, Ibnu Khaldun (Riwayat dan Karya-karyanya), h. 84.
[26] Ali Abd
Wahid Wafi, Ibnu Khaldun (Riwayat dan Karya-karyanya), h. 85.
[29] Al-allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukadimmah, diterjemahkan
oleh Maturi Ilham dkk, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. VII-VIII
[30] Al-allamah
Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukadimmah, diterjemahkan oleh
Maturi Ilham dk, h. IX
[31] Al-allamah
Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukadimmah, diterjemahkan oleh
Maturi Ilham dkk, h. XIII
[32] Al-allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukadimmah, diterjemahkan
oleh Maturi Ilham dkk, h. 1027
0 komentar:
Posting Komentar