I. Pendahuluan
Setiap sufi
mempunyai pengalaman spritual sendiri-sendiri dan berbeda termasuk Imam Abd
Al-Wahhab al-Sya’rani yang mempunyai
pengalaman spritual yang unik, yakni ketika ia terjatuh di sungai Nil ia di
selamatka oleh seekor buaya, walaupun pada umumnya buaya akan menerkam setiap apa saja yang
mendekatinya, namun berbeda dengan beliau yang sebaliknya di selamatkan oleh
buaya. jika kita coba untuk menghubungkan dengan rasional, mungkin diantara
kita pasti tidak menerima hal tersebut, tapi seperti itulah keistemewaan
beliau.
Untuk tarekat yang diikuti oleh beliau kami masih belum bisa
menentukan walaupun ada diantara guru beliau yang seorang pengikut tarekat Syadziliyah,
tapi beliau sendiri mempunyai kesenangan belajar tarekat tersebut tapi dalam
karya-karya beliau tidak ada yang
menyebutkan kalau beliau menganut ikut tarekat Syadziliyah. Beliau adalah
seorang ahli sufi dan fikih. Terlihat dari karya-karya beliau yang banyak
menerangkan tentang dua bidang keilmuan tersebut.
II. Biografi
Nama lengkapnya adalah Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Muhammad ibn
Zawfan ibn Syaikh Musa. Imam al-Sya’rani adalah seorang sufi asal mesir dan juga
ahli fikih syafi’i,
keterangan lain menjelaskan ia adalah seorang ahli fikih perbandingan hanafi
bukannya syafi’i namun ada penjelasan selanjutya yang mengatakna bahwa ia
menganut Asy’ariyah dalam teologinya dan Imam Syafi’i dalam
mazhabnya dan banyak menulis buku-buku tentang fikih dan tasawuf. Lahir di
perkampungan Qalaqsyandah, Mesir pada 27 Ramadhan 898 H/ 1493 M dan meninggal
dunia di Kairo, Mesir pada 973 H/ 1565 M. Dalam silsilah keturunan, al-Sya’rani
masuk dalam keturunan Ali bin Abi Thalib
melalui jalur keturun anaknya, Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Al-Sya’rani sendiri
adalah termasuk generasi kesembilan belas setelah Ali bin Abi Thalib. Pada usia
empat puluh kelahirannya di Qalaqsyandah, ia dipindahkan oleh orang tuanya ke kampung
ayahnya, Saqiyah Abi Sya’rah, dalam wilayah Manufiyah. Dengan demikian, sebutan
al-Sya’rani berasal dari nama kampung ayahnya,
sya’rah sebuah desa di wilayah mesir.
Kedua orang tuanya meninggal saat ia berumur sepuluh tahun, Oleh
sebab itu tanggung jawab terpundak pada kakaknya, Syaikh Abd al-Qadir. Sebagai
seorang terpelajar, sang kakak membimbingnya dalam suasana keilmuan, kendati
itu hanya terjadi beberapa tahun. Bimbingan orang tua dan kakak al-Sya’rani
terhadap dirinya, meskipun tidak lama telah meninggalkan pengaruh yang demikian
mendalam dalam perjalanan hidupnya. Kehidupan keluarga dalam suasana kesufian
yang sederhana ternyata telah membangkitkan semangat belajar dan keuletan hidup
yang luar biasa pada diri al-Sya’rani. Sejak kecil ia telah mampu menghafal
al-Quran tepatnya saat umur 8 tahun,
kemudian ia juga menghafal Matn Abi Syuja’ , kitab permulaan pelajaran
fikih, dan Matn al-Ajrumiyyah, kitab permulaan tata bahasa arab. Kedua
kitab itu dipelajarinya dari kakaknya sendiri , Abd al-Qadir ibn Ahmad, yang
menggantikan ayahnya mengajar di Zawiyah.
Dengan kesederhanaan hidupnya al-Sya’rani memiliki motivasi dalam
dirinya untuk senantiasa belajar dan berupaya hidup mandiri sehingga
mendorongnya meninggalkan kampung halaman dan menuju Kairo. Kemudian Ia
diperbolehkan tinggal di masjid jami’ Sayyid Abu al-Abbas al-Ghamri bersama
keluarga syekh dan mengajar dimasjid itu. Ketertarikan syekh Abu Abbas terhadap
al-Sya’rani membuatnya diangkat sebagai anak sendiri bagi Abu Abbas. Tanpa
pamrih mereka membesarkannya dan membiayainya belajar sampai umur tujuh belas
tahun.
Setelah umur tujuh belas tahun al-Sya’rani pindah ke Madrasah Umm
Khund. Disini kepiawaian dan kecerdasannya semakin cemerlang. Pengetahuan yang
luas telah membawa keharuman namannya dalam berbagai bidang ilmu keagamaan,
sehingga ia dikenal sebagai seorang ulama yang didatangi oleh para siswa untuk
menimba ilmu.
Kendati dapat mengenyam berbagai kemewahan duniawi, jiwa al-Sya’rani
senantiasa terpanggil untuk hidup dalam suasana kesederhanaan. Sebab itu ia
bergabung dengan sejumlah syaikh sufi untuk mendapatkan kasyf
(ketersingkapan batin). Dalam pencarian ruhani itu, al-Sya’rani bertemu dengan
seseorang yang dikatakannya sebagai orang yang telah membimbingnya. Gurunya itu
adalah seorang tunanetra yang ummi (buta aksara), Ali al-Khawwas (w. 938
H/ 1532 M).
Dikatakan dalam hasil penelitian Sri Mulyati, al-Sya’rani memiliki
jumlah guru kurang lebih 50 syaikh, dan mereka selalu mengkombinasikan ilmu dan
amal. Walaupun Sya’rani tidak pernah sekolah dan tinggal (mujawir) di al-Azhar,
beberapa orang gurunya mempunyai kedudukan sebagai dosen, mufti, dan da’i di
institut tersebut.
Diantara guru-gurunya adalah Amin al-Din (w. 1523), pendidik
pertamanya di Kairo, seorang Imam saudaranya Sultan Salim selama Ia tinggal di
Mesir, murid dari Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 1449). Gurunya yang lain yaitu
kepada Hakim Madzhab Syafi’i (Syaikh al-Islam), Zain al-Din Zakariyya
al-Anshari, murid Muhammad al-Ghamri dan penulis komentar atas Risalah
al-Qusyairiyah. Beliau juga seorang sufi yang telah membai’at Sya’rani menjadi
muridnya.
Ali al-Khawwas, pembimbing ruhani al-Sya’rai, adalah seorang
penganut tarekat Syadziliyah. Karena itu, perjalanan ruhani al-Sya’rani tidak
dapat dipisahkan dari tradisi Syadziliyah. Selain banyak mendapatkan bimbingan
ruhani dari Ali al-Khawwas, al-Sya’rani juga mendapat bimbingan ruhani dari
sufi lain yaitu Muhammad al-Syinnawi. Selain itu al-Sya’rani menerima inisiasi
(pengajaran) tarekat-tarekat Suhrawardiyah. Dia menjelaskan silsilah tarekat
yang diterimanya ini secara detail dalam karyanya al-Anwar al-Qudsiyyah fi
Ma’rifat Qawa’id al-Sufiyyah.
III. Pengalaman Ruhani
Sebagai seorang sufi yang telah mencapai peringkat wali,
al-Sya’rani memiliki pengalaman ruhani yang amat kaya. Diceritakannya sendiri,
suatu pengalaman batinnya (melalui mimpi). “Biasanya aku mengeluarkan zakat
sebelum habis puasa, namun kebiasaan itu tak terlaksana karena aku tak memiliki
barang-barang duniawi pada malam Idul Fitri dan juga hari berikutnya, segala
yang telah dikaruniakan Allah kepadaku telah kunafkahkan kepada fakir-miskin
yang tinggal bersamaku. Pada 955 H (1548 M) aku pernah melihat diriku berada di
sebuah gurun bersama orang-orang beriman. Aku melihat sesuatu yang mirip dengan
bantal sebesar buah semangka terhantar di depan kami. Lalu ku lihat seseorang
diantara kami melemparkan benda itu kearah atas, namun jatuh lagi ke tanah. Aku
menanyakan kepada malaikat yang menyaksikan tindakan kami. Malaikat itu mengatakan bahwa benda itu adalah puasa Ramadhan yang
telah kami lakukan. Selain pengalaman ruhani diatas, beliaupun sering melakukan
ziarah ke kuburan orang-orang saleh, antara lain kuburan Syaikh Abu al-Abbas
al-Mursi, yang dikunjunginya ssetiap hari sabtu, begitu juga kuburan umum
al-Qarafah, yang di ziarahnya setiap pekan. Disebut-sebut bahwa dia memiliki
kemampuan ruhani untuk berdialog dengan ruh-ruh orang-orang yang meninggal
dunia dan Dia juga memiliki kemampuan spiritual untuk berdialog dengan jin.
Al-Sya’rani meyakini bahwa kemampuan luar biasa yang dimilikinya
itu adalah karuia Allah semata. Ketika berbicara tentang karamah
(keramat) para wali, al-Sya’rani menganggap bahwa kejadian luar biasa pada
orang-orang saleh merupakan karunia Ilahi kepada mereka, sebagai tanda bahwa
mereka adalah wali Allah yang disayangi-Nya. Kejadian tersebut tidak dapat
dicari dan ditransfer kepada orang lain. Para wali hanya bisa mentransfer
barakah (berkah) kepada orang lain. Cerita-cerita luar biasa yang dialami
al-Sya’rani seperti itu banyak dipaparkannya dalam karya otobiografisnya, “Lataif
al-Minan”.
Al-Sya’rani juga
berkata: ‘Pada awalnya mujahadahku melawan hawa nafsu aku lakukan tanpa
bimbingan seorang syeikh, aku hanya membaca karya-karya kaum sufi seperti al-Risalah
al-Qusyairiyyah, ‘Anwarif al-Ma’arif, Qut al-Qulub, Ihya ‘Ulum al-Din dan
ktab-kitab lainya. Setelah semua itu aku lakukan dalam waktu yang cukup lama,
tampaklah bagiku sesuatu yang berbeda dengannya. Lalu aku meninggalkan caraku
ini dan mengerjakan cara yang kedua (berguru kepada seoran mursyid).
Demikianlah aku dulu seperti orang yang masuk ke sebuah jalan tanpa megetahui
apakah jalan itu tembus atau tidak. Apabila jalan itu tembus, maka Ia akan
keluar darinya. Dan apabila tidak, maka dia akan kembali. Seandainya dia akan
bertanya kepada orang yang mengetahui seluk beluk jalan itu sebelum melaluinya,
niscaya semuanya akan menjadi jelas baginya, dan dia tidak akan keletihan
melewatinya. Inilah perumpamaan bagi orang yang tidak mempuyai syeikh atau
mursyid. Fungsi Syeikh adalah untuk meringkas jalan bagi murid. Jika seorang
berjalan tanpa Syeikh, maka dia akan tersesat. Dia akan menghabiskan umurnya
tanpa dapat mencapai apa yang diharapkan dan dicita-citakannya. Perumpamaan
seorang Syeikh adalah seperti seorang penunjuk jalan bagi jama’ah haji yang
hendak pergi ke Mekkah di tengah kegelapan malam”.
IV. Pilar-pilar Menuju Tasawuf
Menurut ‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani bahwa rukun-rukun jalan menuju
tasawuf itu ada empat yaitu: lapar, kontemplasi, menahan lapar, dan sedikit
berbicara. Dan jika seorang murid melakukan kesalahan salah satu pilar atau
ruku tersebut, maka rukun-rukun yang lainnya akan mengikuti.
Dan jika ingin
menjadi kekasih Allah, maka ada beberapa rukun yang telah didefinisikan oleh
Rasul yakni: banyak diam, menghindarkan diri dari manusia, lapar, dan selalu
menyucikan.
Menurut Abul Qasim
al-Qusyairi Rahimahullah: sesungguhnya dasar-dasar dari pintu dalam meraih
jalan sufi adalah lapar. Karena manusia tidak akan menemukan sumber-sumber
hikmah yang dihasilkan olehnya, kecuali dengan lapar tersebut. Namun melalui
tahapan-tahapan seperti degnan melatih lapar sedikit demi sedikit. Sehingga
dapat makan walau hanya satu suap dalam sestiap sehari semalam. Menurut satu
riwayat, Syeikh Abu Utsman Al-Maghribi dalam enam bulan hanya maka satu kali.
IV. Karya-Karyanya
1.
Al-Jawahir wa al-Durar al-Kubra (Mutiara-mutiara dan Permata-permata
agung)
2.
Al-Yawaqit wa al-Jawahir fi Aqa’id al-Akabir (Permata-permata Yakut
dan Mutiara-mutiara tentang Akidah-akidah para ulama Besar [kalangan sufi])
3.
Al-Tabaqat al-Kubra (peringkat-peringkat atau generasi-generasi
yang Agung) atau disebut juga Lawaqih al-Anwar fi Tabaqat al-Akhyar
(kilatan-kilatan Cahaya tentang Peringkat-peringkat atau generasi-generasi
Orang-orang Terpilih)
4.
Al-Anwar al-qudsiyyah fi ma’rifat qawa’id al-Sufiyyah (cahaya-cahaya
kudus dalam hal mengenal kaidah-kaidah para sufi).
5.
Lawaqih al-Anwar al-Qudsiyyah fi Bayan al-Uhud al-muhammadiyyah
(kilatan-kilatan kudus dalam meenjelaskan jani-janji (pesan-pesan) Muhammad.
6.
Al-Kibrit al-Ahmar fi Uluww al-Syaikh al-Akbar (belerang Merah
(pemaparan) tentang kemuliaan Syaikh al-Akbar [ibnu Arabi].
7.
Al-Qawa’id al-Kasfiyyah fi al-Illahiyyah (kaidah-kaidah
Ketersingkapan tetang sifat-sifat Ketuhanan
8.
Masyariq al-Anwar al-Qudsiyah fi Bayan al-Uhud al-Muhammadiyyah
(pancaran cahaya-cahaya kudus tentang penjelasan janji-janji [pesan-pesan]
Muhammad).
9.
Madarik al-safilin ila Rusum Tariq al-arifin (alur pengetahuan kelas rendah munuju sketsa
Jalan orang-orang Arif)
10.
Lata’if al-Minan
(kelembutan-kelembutan karunia)
11.
Mizan al-Kubra (Neraca Yang Agung). dll
V. Silsilah Imam Al Sya’rânî
NABI MUHAMMAD SAW (570/571 M)
ALI BIN ABI THALIB (35-40 H/ 656-661 M)
HASAN AL BASRI (624-728 M)
HABIB AL ‘AJAM (120H/737M)
DAWUD AT THAI w. 165 H
MA’RUF AL KURKHI w. 200 H
SIRRI SAQTHI (155 H)
IQADI RUWAIM (303 H/915 M)
QADI RUWAIM
(( الفاض رويم
MUHAMMAD IBN KHAFIF ASY SYAIRAZI w.
371 H
ABIL ‘ABBAS AN NAHAWANDI
FARIJ AL
ZANJANI
AL QODHI AL WAJIHUDDIN
ABU AN
NAJIB AL SUHRAWARDI 1097–1168 M
SYIHABBUDDIN AL SUHRAWARDI (w. 587)
SYAIKH NAJIBUDDIN BARGHUSY ASY SYAIRAZI
SYAIKH ABDUS SHOMAD AL NATHTARI
SYAIKH HASAN AL SYAMSIRI
SYAIKH NAJIMUDDIN
MAHMUD AL ASHFAHANI
YUSUF AL ‘AJAMI AL KURANI
SYAIKH HASAN AL TASTIRI
AHMAD BIN SULAIMAN AL ZAHIDI
SYAIKH MUDIN ( (الشيخ مدين
SYAIKH MUHAMMAD (KEPONAKAN (الشيخ مدين
MUHAMMAD SARWI DAN SYAIKH ‘ALI AL MURSHOFI
‘ABDUL WAHHAB BIN AHMAD ASY SYA’RANI
(989 H) H1515631563)
|
VI. Pokok Pemikiran
1.
Tasawuf adalah suatu perjalanan hidup yang diatur oleh al-Qur’an
dan al-Sunnah, perilaku sufi adalah perilaku para nabi dan orang-orang suci dan
hal itu tidak akan tercela selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan
al-sunnah, maka terserah kepada orang-orang islam untuk melakukanya. Ajaran
tasawuf bukan sesuatu yang wajib di ikuti, melainkan hanya untuk memperindah
perjalanan hidup.
2.
Tasawuf adalah ilmu yang terbit dari hati para wali tatkala
memancari dan mantul dari tingkah laku mengamalkan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Setiap amal dari padanya memancar sinar-sinar ilmu, akhlak dan rahasia-rahasia
yang sulit diuraikan dengan kata-kata.
3.
Bagi orang orang yang mempelajari tasawuf, mereka harus hati-hati
dan menghindari mempergunakan kata-kata yang terdapat dalam kitab suci tertentu
seperti: “ruhku bersatu dengan roh-Nya,” “apa yang ada ini adalah Allah,” Allah
ada di dalam hati sufi, penggunaan kata-kata semisal ini dilarang untuk umum.
Dalam kitab al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifat Qawa’id
al-Sufiyyah (cahaya-cahaya kudus dalam hal mengenal kaidah-kaidah para
sufi). Dalam salah satu babnya ia menulis sebuah kaidah-kaidah jalan menuju
tasawuf dan bab yang menjelaskan bahwa
wali Allah itu hidup di dalaam kuburnya.
Namun dalam kitab al-mizanul kubra kitab yang membahas perbandingan mazhab dan
pertimbangan hukum islam, ia dalam mukadimahnya mengatakan,
“para pengkaji syariat juga telah
sepakat bahwa seseorag tidaklah di sebuah ‘alim (‘ulama) kecuali jika ia
menghindari pertentangan berbagai pendapat para ulama dan mengetahui bahwa para
‘ulama itu mengambil dasar dan hadis, bukan karena menentang pendapat Ulama
sebab kebodohan dan kebenciannya.
Dalam kitab ini, juga ada satu pasal yang menjelaskan tetang
mungkinkah berbagai mazhab itu di
padukan?, ia menjawab dengan jawaban Imam Muhammad bin Malik yang mengatakan
jika ilmu itu pemberian dari Allah daan bersifat ladunni, maka tidak
mungkin Allah mennyembunyikannya lagi bagi generasi selanjutnya.
Itu artinya memadukan berbagai mazhab itu bisa dan mungkin akan terjadi di
suatu saat.
kaidah-kaidah menuju jalan tasawuf dalam kitab al-Anwar
al-Qudsiyyah fi Ma’rifat Qawa’id al-Sufiyyah jilid I
1.
Adab murid terhadap Syaikh
2.
Pilar-pilar menuju jalan tasawuf
3.
Menjaga diri
4.
Taubat yang benar
5.
Bagaimana dalam memilih gurunya. Dan masih ada yang lain
Dan jilid II
1.
Adab murid terhadap syaikh
2.
Kelembutan cinta
3.
Tidak sah memasuki jalan sufi sebelum bertaubat
4.
Sifat-sifat orang yang mencintai
5.
Bahasa orang yang asyik (mabuk cinta)
6.
Sufi yang benar
Namun yang kami
tekankan adalah mengenai pilar-pilar menuju tasawuf menurutnya rukun-rukun
jalan menuju tasawuf ada empat yaitu: lapar, Kontemplasi (Renungan), menahan
lapar, dan sedikit berbicara. Dan rukun-rukun yang lain akan mengikuti, jika
kita melakukan salah satu rukun rukun tersebut. Jadi rukun-rukun tersebut tidak
terasa berat jika kita ingin melakukannya. Dan dalam buku yang sama jilid II ia
memberikan tambahan yakni tidak sah memasuki jalan sufi sebelum bertaubat.
VII. Penutup
As-Sya’rani merupakan salah satu tokoh sufi. Seperti yang telah
dipaparkan diatas bahwasanya beliau adalah salah satu keturunan Ali Bin Abi
Thalib. Berbagai pengalaman rohani yang beliau lakukan dalam menempuh jalan
yang paling dekat untuk menuju Allah. Semoga pemaparan diatas dapat bermanfaat
bagi kita semua.
VIII. Pertanyaan-pertanyaan dalam Diskusi
1. Apa tujuan anda menyampaikan mimpi
asy-sya’rani?
2. Beliau mampu berdialog dengan Jin, apakah
beliau yang mengungkapkannya sendiri atau hanya pemdapat dari orang lain
setelah beliau?
3. Tolong jelaskan maksud dari mabuk cinta?
4. Penjelasan tentang hidup dalam kuburan yang
lebih detail?
5. Ajaran apa yang beliau ajarkan?
6. Tolong ditambahkan 3 sanadnya biar lebih
jelas!!
7. Ajaran atau pengalamam ruhani, apakah
beliau bisa direalisasikan dalam kehidupan?
8. Apakah ada kemungkinan beliau berbohong
dengan pengalaman ruhaninya?
9. Apa tarekat, ajaran, cara berzikir dan
kemana penyebarannya?
IX. jawaban
1. Tujuannya hanya inngin menyampaikan
pengalaman spiritual beliau didlaam mimpinya.
2. Dalam makalah kelihatannya itu adalah orang
setelah beliau yang mengatakan bahwa beliau bisa berdialog dengan jin.
3. Mabuk cinta disini bukanlah cinta pada
makhluk melainkan mabuk cinta dengan allah.
4. Hidup di dalam kubur maksudnya ialah beliau
yakin bahwa para wali allah saat meninggal tetapi didalam kuburnya ia elalu
berdzikir kepada allah.
5. Beliau tidak menyampaikan ajarannya namun
belia banyak menulis buku diantaranya beliau menulis hokum-hukum fiqih dan tasawuf.
6.
7. Pertanyaan 7 dan empat berkaitan, karena
beliau adalh seorang sufi maka bisa saja belaiu aytau ada kemungkinan beliau
bisa merealisasikan pengalaman ruhaninya kedalam dunia real, dikatakan
berbohong dan tidak berbohong kami tidak bisa untuk mengambil
spekulasi-spekulasi yang akhirnya akan salah karena kita berada outside dari
beliau.
8. Dimakalah dijelaskan bahwa beliau tidak
mendirikan sebuah tarekat dan beliau juga tidak begitu jelas dalam menjelaskan
bahwa beliau mengikuti tarekat tertentu, tetapi karena guru ruhani beliau
adalah seoarang syadzili dan beliau juga senang belajar syadzili, mungkin
beliau juga megikuti tarekat syadzili.
X. Tambahan dari ibu Sri Mulyati
Pengalaman ruhani adalah bersifat subjektif
dan orang yang mengkritik dan yang tidak mempercayai akan pengalaman itu,
karena mereka berada diluar (Outside) para
sufi, maka tidak akan pernah bisa mereka akan paham, atau menolaknya. Untuk
lapar, rasul pernah bersabda, kami adalah kaum yang tidak akan makan setelah
lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.
Daftar Pustaka
Mulyati, Sri. dkk. Hasil Penelitian Kolektif Fakultas Ushuluddin. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah.
Azra, Azyumardi. Ensiklopedia Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Bandung: Prangkasa. 2008.
Kabbani, Muhammad Hisyam. Ensiklopedia Akidah Ahlusunah Tasawuf
dan Ihsan. Jakarta: Serambi. 2007.
As-Sya’rani, Abil Mawahib Abdul Wahab. Al-Mizanul Kubra (Perbansdingan
Mazhab dalam Pertimbangan Hukum Islam), Penerjemah; Ahmad Zainud, dkk.
Surabaya: Dunia Ilmu Offset. 1997.
As-Sya’rani, Abd. Al-Anwar
Al-Qudsiyyah fi Ma’rifat Qawa’id al-Sufiyyah.
Muhammad Hisyam
Kabbani, Ensiklopedia Aqidah Ahlusunah Tasawuf dan Ihsan, (Jakarta:
Serambi), h. 169
Abil
Mawahib Abdul Wahab As-Sya’rani, Al-Mizanul Kubra (Perbandingan Mazhab dalam
Pertimbangan Hukum Islam), Penerjemah: Ahmad Zainud,dkk, (Surabaya:Dunia
Ilmu Offset), h. 2