Sabtu, 30 November 2013

Responding Paper Relasi Gender




Responding Paper
ISLAM DAN KESETARAAN GENDER
GERAKAN PEREMPUAN ISLAM DAN PERJUANGAN KETIDAKADILAN GENDER DI MESIR,TURKI, & IRAN

Menanggapi permasalahan gerakan yang dipelopori oleh kaum perempuan, sekaligus sebagai respon atas gerakan perempuan dalam Islam dan perjuangan ketidakadilan gender di Mesir, Turki dan Iran. Jika kita mengulas sejarah perempuan sebelum agama Islam hadir, nampaknya telah kita ketahui bersama betapa seorang perempuan dianggap sebagai manusia kedua yang tak perlu dihargai. Misalnya di zaman jahiliyah bagaimana seorang ayah yang rela membunuh darah dagingnya sendiri hanya karena anak yang tak berdosa tersebut berkelamin perempuan. Mempunyai anak perempuan dinilai hanya menimbulkan rasa malu kepada keluarga. Namun, ketika Islam datang sebuah agama yang membawa sebuah perubahan yang tidak hanya dirasakan oleh perempuan saja melainkan laki-laki pun masuk kedalamnya, misalnya dihapusnya perbudakan. Karena budak tidak hanya dari kaum perempuan melainkan dari laki-laki juga.  


Dimasa itu Islam menjadi penyelamat bagi kaum perempuan, perempuan mulai mendapatkan  kedudukan yang sepantasnya mereka dapatkan. Seperti tidak lagi terancam dibunuh saat ia kecil, kemudian perempuan mendapatkan haknya dalam pembagian warisan serta tidak takut lagi akan perbudakan. Memang benar hal yang demikian bahwa islam dimasa itu jika diumpamakan. Melangkah kepada kehidupan selanjutnya kaum perempuan ingin lebih dianggap lagi. Itu disebabkan karena  perempuan masih merasa menjadi manusia kedua misalnya dalam hukum waris perempuan mendapat bagian yang lebih sedikit dari pada laki-laki, yang lebih ekstrim lagi perempuan merasa tidak adil kenapa hanya laki-laki yang menjadi pemimpin Negara, tidak hanya itu kali ini perempuan merasa dirinya mampu menjadi imam dalam shalat-shalat yang berjamaahkan laki-laki maupun perempuan. Persoalan yang manyangkut status dan perlakuan syariah terhadap perempuan di dunia islam telah mendapat perhatian sangat luas, baik dari kalangan insider (muslim sendiri) ataupun outsider (sarjana-sarjana barat). Hal ini bermula dari fakta yang ada bahwa perempuan masih belum berstatus penuh dibandingkan laki-laki yang kemudian berakibat perempuan masih sering termarginalkan dalam berbagai sektor kehidupan.[1]
Perempuan mulai membentuk sebuah gerakan-gerekan untuk mencapinya status yang sama dengan laki-laki. Seperti pada tema kali ini yang mengambil sebuah gerakan perempuan yang berada di Mesir, Turki dan Iran. Gerekan perempuan Mesir mempunyai akar historis yang panjang dan dimensi gerakan yang kompleks. Dimulai sejak akhir abad 19, sampai sekarang ini gerakan perempuan mesir masih memiliki gema yang luas lebih dari itu sekarang ini gerakan perempuan di Mesir telah menjadi salah satu wacana yang menjadi bahan perdebatan. Mengenai kemunculan awal gerakan perempuan di Mesir tidak ditemukan kesepakatan di kalangan para ahli kapan sebenarnya gerakan feminism ini muncul pertama kali. Menurut Azza Karim dari international Institutr for Democracy, Swedia. Berpendapat bahwa gerakan feminisme Mesir ditandai oleh munculnya perdebatan di seputar status wanita dalam islam. Dalam masalah ini Azza merujuk dari buku karya Qasim Amin yang berjudul Tahrir al-Mar’a sebuah buku yang mengeluarkan seruan tentang aspirasi wanita yang dikala itu tak terpenuhi.
            Thoman Philips menilai lahirnya feminisme di Mesir bisa dilacak pada akhir abad 19, saat itu untuk kali pertama majalah wanita al-Fata terbit pada tahun 1892.[2] Pertanyaan yang muncul mengiringi eksisnya gerakan perempuan mesir yakni, dari manakah produk gerakan perempuan ini, apakah feminisme itu lahir dari peranakan kultural bangsa Mesir sendiri atau tidak? Terlepas dari persoalan tersebut, pada tahun 1919 terjadi kolaborasi antara feminisme dengan nasionalisme  yakni memilii suara yang sama, dengan cara turun ke jalan dan menuntut kemerdekaan Mesir dari Inggris. Sebuah moment bersatunya feminisme bersatu dengan nasionalisme. Selang setahun dari masa revolusi tepatnya di tahun 1920, gairah dan semangat feminisme telah menelurkan sebuah gerakan yang kongkrit dan nyata tidak lagi sebatas gagasan yang abstrak saja. Yakni berdirinya organisasi perempuan pertama yang didirikan oleh Huda Sya’rawi, yaitu ­al-Ittihad al-Nisa’I al-Misri (Persatuan Wanita Mesir). Sebuah organisasi yang mempunyai agenda yang besar untuk mendorong dan memperjuangkan perempuan Mesir. Organisasi ini berbuah keberhasilan, wanita di tahun yang sama organisasi ini berdiri bisa mengenyam pendidikan tingkat tinggi, dan di tahun 1933 telah banyak perempuan yang tamat dari perguruan tinggi. Namun keberhasilan ini hanya dapat dinikmati oleh kalangan menengah keatas.  
            Gerakan ini pernah mendapatkan stigma sebagai gerakan wanita yang sekuler-radikal, hal ini disebabkan oleh hubungan dekatnya petinggi organisasi Huda Sya’rawi dengan aktivis perempuan Barat-Eropa, terutama Perancis. Ditambah dengan aksi Sya’rawi dan Saiza Nabawi membuka dan membuang tutup muka mereka didepan publik yang berada di Station kereta api Kairo selepas mengikuti koferensi Internaional Wanita di Roma, Italia. Akibatnya banyak yang menilai bahwa memang benar gerakan perempuan Mesir selama ini bukanlah buah asli dari bangsa Mesir dan merupakan “barang impor” dari Barat. Pasca konflik interen ini banyak dari anggota organisasi menyatakan keluar dari organisasi yang didirikan oleh Huda tersebut dan mereka membentuk gerakan wanita baru “Masyarakat Wanita Islam” yang di tokohi oleh Zainab al-Ghazali. Di tahun 1944, nikmat Rasyid mendirikan “Partai Wanita Nasional” dengan misi memperkuat status sosial, dan meningkatkan tarap kehidupan perekonomian wanita. Kemudian pada tahun 1948, Doriak Safik, mendirikan organisasi baru “Persatuan Anak Perempuan Sungai Nil”,  Bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.[3]
            Beralih ke Iran, kondisi perempuan di Iran melawan ketidakadilan gender dibawah kekuasaan islam fundamentalis. Untuk menggambarkan kondisi perempuan di Iran, kita bisa lihat bagaimana kondisi perempuan prarevolusi Iran dan pascarevolusi Iran. Pada masa prarevolusi, perjuangan keras aktivis telah membawa hasil dengan munculnya kebajikan-kebajikan Negara yang memberikan kesempaan kepada kaum perempuan untuk mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki di bidang pendidikan, ekonomi, maupun politik. Namun pada masa pascarevolusi usaha mereka kandas ketika kaum fundamentalis yang reaksioner naik ke kursi kekuasaan. Lagi-lagi perempuan harus kembali menangisi nasibnya terbelenggu dalam ideology yang fundamentalis yang memenjarakannya.[4]
            Jelasnya perempuan Iran pada masa Shah (masa pembebasan), walaupun pahlevi dikenal sebagai rezim otoriter yang menyebabkan Iran mengalami penindasan di berbagau sektor kehidupan baik sosial, ekonomi, maupun politik. namun, dalam hal hak-hak perempuan, Shah memiliki kebijakan yang spesifik. Yakni: penghapusan jilbab artinya perempua dibolehkan untuk tidak memakai jilbabnya di tempat-tempat umum, yang berlaku di tahun 1935. Kemudian, setiap tahun 7 Januari dimulai dari tahun 1937, ditetapkan sebagai hari perempuan Iran. Tahun 1938, perempuan untuk kali pertama diterima di Universitas Teheran. Dan di tahun 1958, Shah mengorganisasikan munculnya High Council of Women, yang kemudian beralih nama menjadi Women’s Organization of Iran (WOI).         
            Dari aksi yang dilakukan oleh Shah melahirkan anggapan bahwa semua aksi yang dilakukan oleh Shah radikal dan bertentangan dengan Islam. Pada bulan januari 1963, Shah menentukan enam poin yang diperlukan untuk meningkatkan harkat perempuan.. salah satu poinnya adalah memberikan hak pilih kepada perempuan. Ditahun 1967 perempuan berhak menjadi hakim, tentara atau polisi serta banyak lagi kebijakan Shah yang mencoba meningkatkan kondisi perempuan agar ia memiliki posisi yang setara dengan laki-laki. Berbeda dengan prarevolusi dengan pascarevolusi, pascarevolusi adalah masa perempuan kembali terbelenggu lebih tepatnya adalah setelah Khomeini menduduki kekuasaan, kembalinya dikibarkannya  ideology fundamentalis dan merasuk ke dalam kebijakan politiknya. Kemudian ada beberapa kebijakan yang akhirnya berimplikasi kepada termarginalkannya kembali kaum perempuan. Berikut beberapa kebijakan khomaeni yang mengarah kepada ketidaksamaan jender. Misalnya, pada pasa 163 konstitusi Islam memaklumkan bahwa perempuan tidak boleh menjadi hakim. Sebagai akibatnya semua hakim perempuan dipecat dari jabatannya dan sejak saat itu tepatnya maret 1979 fakultas hukum, tertutup bagi pendaftar perempuan. Kebijakan selanjutnya adalah mencabut  Undang-Undang perlindungan keluarga yang mengatur pemberantasan poligami dan hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk bercerai, dan pemberian hak pengasugan anak kepada ayah. Pada bulan Februari 1979. Di Rezim khomaeini ini dibuka pintu selebar-lebarnya untuk berpoligami dan tidak ada batasan usia ideal untuk melangsungkan pernikahan. Dengan adanya kebijakan tersebut sehingga istri tidak mempunyai kekuatan legal untuk melarang suaminya mengambil istri orang lain.
            Pada akhirnya seorang perempuan yang dulunya di rezim Shah mendapatkan kehormatan menjadi menteri pendidikan perempuan pertama harus dieksekusi karena khomaeni beranggapan bahwa perempuan tersebut telah menyebarkan korupsi ke bumi. Usaha-usaha untuk memarjinalkan perempuan dari muka publik terus digulirkan. Sehingga pada puncaknya pada bulan April 1980, universitas ditutup untuk jangka waktu yang tidak terbatas bagi perempuan. Dengan demikian berakhirlah perjuangan-perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan kedudukan yang sama dengan laki-laki bahkan dalam bidang pendidikan sekalipun.[5]



[1] Mohammad Abdun Nasir, Quo Vadis Feminisme Timur Tengah (Dilema Gerakan Wanita di Mesir, Team Pusat Studi Wanita IAIN Mataram, h. 15
[2] Mohammad Abdun Nasir, Quo Vadis Feminisme Timur Tengah, h. 17
[3]  Mohammad Abdun Nasir, Quo Vadis Feminisme Timur Tengah, h. 19
[4]  Ida Rosyidah, Dari Belenggu ke Belenggu : Perempuan Iran Pascarevolusi, Jurnal Harkat vol 8 no 2, april 2008. H. 81
[5]  Ida Rosyidah, Dari Belenggu ke Belenggu, h. 82. 88, 93 dan 96

1 komentar:

qataitahan mengatakan...

The casino is rigged at random for gamblers and their
It is an 수원 출장샵 unregulated gaming website and does not have 군산 출장샵 the highest level of 성남 출장마사지 control. If the players do 성남 출장마사지 not have enough space in their 정읍 출장마사지 house or place of

Posting Komentar