1.
Pendahuluan
Berbicara
mengenai iman dan kufur terlebih dahulu kami akan memulainya dengan sebuah
pertanyaan, yakni: apa kita harus mengetahui ajaran-ajaran yang disampaikan
oleh para mutakalim?.Kenapa kami mulai dengan sebuah pertanyaan yaitu karena dengan
pertanyaan semacam ini kita bisa tahu hal-hal yang menjadikan seseorang beriman
dan menjadikan seseorang kufur berdasarkan kelompok mana yang kita ikuti.
Jangan sampai kita mengikuti sebuah kelompok tapi kita tidak tahu landasan
kelompok itu.
Kita
semua sudah tahu apa yang membuat pemahaman-pemahaman seputar teologi itu
berbeda-beda, sedikit mengulang perbedaan ini terjadi atau dimulai pada
permasalahan politik yang akhirnya berkembang dan berpindah ke permasalahan
teologi.. Kenapa demikian, pada dasarnya Iman dan kufur adalah permasalahan
pertama dalam pembahasan ilmu kalam atau teologi, seharusnya pula kita bahas di
awal perkuliahan. Ini dimulai saat Khawarij menuduh sejumlah sahabat nabi
sebagai orang kafir, diantaranya: Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin sufyan, abu
Musa al-Asya’ari, Amr bin al-Ash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan
Aisyah[1].
Tentunya nama-nama yang kami sebutkan tidak asing lagi dalam pembahasan
teologi. Setalah itu dikembangkan dengan menyebut orang yang berdosa besar adalah
kafir. Dalam pembahasan iman dan kufur ini ada 4 kelompok yang akan kami bahas
yakni: Khawarij, Murji’ah, Mutazilah, dan Asy’ariyah.
2.
Iman dan Kufur
Perkataan iman yang berarti
'membenarkan' itu disebutkan dalam al-Quran,
di antaranya dalam Surah
At-Taubah ayat 62 yang
bermaksud: "Dia (Muhammad) itu membenarkan (mempercayai) kepada Allah dan
membenarkan kepada para orang yang beriman." Iman itu ditujukan kepada
Allah , kitab-kitab dan Rasul. Iman itu ada dua Iman Hak dan Iman Batil. Definisi
Iman berdasarkan hadist merupakan tambatan hati yang diucapkan dan dilakukan merupakan
satu kesatuan. Iman memiliki prinsip dasar segala isi hati, ucapan dan
perbuatan sama dalam satu keyakinan, maka orang - orang beriman adalah mereka
yang di dalam hatinya, disetiap ucapannya dan segala tindakanya sama, maka
orang beriman dapat juga disebut dengan orang yang jujur atau orang yang
memiliki prinsip. atau juga pandangan dan sikap hidup.
Para imam dan ulama telah mendefinisikan istilah iman ini,
antara lain, seperti diucapkan oleh Imam Ali
bin Abi Talib: "Iman itu ucapan dengan lidah dan kepercayaan yang
benar dengan hati dan perbuatan dengan anggota." Aisyah r.a. berkata: "Iman kepada Allah
itu mengakui dengan lisan dan membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan
anggota." Imam al-Ghazali menguraikan makna iman:
"Pengakuan dengan lidah (lisan) membenarkan pengakuan itu dengan hati dan
mengamalkannya dengan rukun-rukun (anggota-anggota)."[2]
Sedangkan Kekafiran atau kufur dalam bahasa Arab asalnya berarti penutup.
Adapun dalam istilah syariat berarti lawan dari iman[3].
Ada
empat istilah dasar yang biasanya digunakan oleh para mutakallimin dalam
pembahasan iman dan kufur, yang disampaikan oleh Hassan Hanafi, yakni:
1. Ma’raifat bi Al-Aql, ( mengetahui dengan
akal).
2. Amal,
perbuatan baik dan patuh
3. Iqrar,
pengakuan secara lisan, dan
4. Tashdiq, membenarkan dengan hati,
termasuk pula di dalamnya Ma’rifat bi al-Aql
(mengatahui dengan hati)[4]
3. Perbandingan Antaraliran: Iman Dan Kufur
a. Khawarij
khawarij dalam memandang iman tidak
seperti pada umumnya, tidak semata-mata percaya kepada Allah. Namun dengan
mengerjakan segala perintah kewajiban juga merupakan bagian dari keimanan.
Karena dalam al-Qur’an juga terdapat penjelasan tentang kekusaan bahwa kita
harus mengikuti perintah dari kepala pemerintahan, untuk itu khawarij juga
memandang bahwa masalah kekuasaan juga masuk dalam bagian dari keimanan (al-amal juz’iman al-iman). Dari sini
khawarij mengambil sebuah kesimpulan bahwa orang menyatakan percaya atau
beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasulnya tetapi tidak
menjalankan perintahnya tetapi menjalankan dosa, maka khwarij memasukan orang
yang seperti ini kedalam orang yang kafir[5].
Dalam
khawarij terdapat 8 sekte yang di dalamnya memiliki perbedaan yang mendasar
dalam menerangkan iman dan kufur dalam pembagian sekte terdapat perbedaan ada
yang mengatakan ada 20 dan 8 sekte dalam khawarij, tapi disini kami hanya
memasukan 3 sekte saja. Menurut kami ketiga sekte ini yang cukup menarik untuk
dibahas, diantaranya:
a). Al-Muhakkimah
sekte ini adalah sekte yang asli
artinya sebelum terpecahnya khawarij menjadi banyak sekte yakni sekte yang
memisahkan diri dari Ali bin Abi thalin setelah peristiwa tahkim. Pemimpin dalam sekte ini adalah Abdullah ibn Kawa dan Urwah
Ibn Jarir. Sekte ini berbependapat bahwa Muawiyah dan Ali atau orang yang
terlibat dalam persetujuan arbitrase, mereka adalah orang-orang yang salah dan
telah menjadi kafir. Dalam penjelasan selanjutnya mereka juga menyebut bahwa
orang yang melakukan dosa besar adalah kafir.[6]
Contohnya: orang yang
berzina adalah orang melakukan dosa besar menurut sekte ini mereka telah
menjadi kafir dan keluar dari agama islam, begitu juga dengan pelaku pembunuhan
maka ia menjadi kafir dan keluar dari Islam[7].
Itu artinya orang yang melakukan dosa besar adalah kafir dan keluar dari Islam.
b). Al-Zariqah
Dalam sekte lebih ekstrim dari sekte
yang pertama mereka tidak lagi menyebut pelaku dosa besar sebagi kafir tapi
yakni dengan menyebut mereka sebagai musyrik.
Musyrik adalah dosa besar yang sudah tidak bisa diampuni lagi dalam Islam.
Namun kata musyrik ini juga digunakan untuk menyebut orang yang tidak sepaham
dengan mereka. Tokoh dalam sekte ini adalah Nafi’ Ibn al-Zaraq[8].
Bahkan dalam keterangan selanjutnya mereka mengatakan musyrik bagi orang berada
di luar daerah mereka, dengan menyebut daerah tersebut dengam kata dar al-kufr.[9]
Lebih lanjut mereka membolehkan membunuh anak-anak dan istri-istri yang bukam
zariqah.[10]
c). al-ibadiyah
dalam sekte ini mereka membagi kafir
menjadi dua macam yakni kafir nikmat dan kafir
dalam akidah. Dalam sekte ini menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak
sepaham dengan mereka, tidaklah musyrik tidak mu’min. tapi mereka menyebutnya
dengan kafir nikmat. Dan kafir nikmat ini darahnya haram untuk ditumpahkan, dan
daerahnya disebut Dar al-tauhid. Meraka
membolehkan berhungan dengan mereka dan melakukan perkawinan dan warisan.[11]
Kecuali menghukumi seseorang kafir ketika orang itu benar-benar melakukan
menyimpang dari dasar dan pokok islam.[12]
b. Murji’ah
Sama dengan khawarij murji’ah juga
memiliki pandangan tersendiri terhadap permasalahan iman dan kufur. Dalam
murji’ah tidak menyebut para pelaku dosa besar sebagai kafir, mereka masih
menganggap mereka mukmin. Iman dalam kelompok ini diartikan “ma’rifat kepada
Allah dan kepada Rasuln-Nya, mereka ridak memasukan amal dalam bagian dari
iman. Prinsip mereka adalah “perbuatan maksiat ridak akan membahayakan iman
seseorang, sebagaiman perbuatan taat yang dilakukan oleh orang kafir tidak akan
memberikan manfaat (dampak positif). Dari prinsip ini mereka tidak akan
menyebut pelaku dosa besar sabagai kafir selama mereka masih menganut agama
Islam dan mengucapkan kalimah syahadah. Tapi murji’ah menagguhkan permasalahan
kafir ini kepada Allah Swt.[13]
Dalam murji’ah terdapat dua sekte
yakni sekte moderat dan sekte ekstrim, sekte moderat berpendapat bahwa orang
yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan
dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada
kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan tidak masuk neraka sama
sakali.[14]
Kedua adalah sekte ekstrim dalam sekte ini menyatakan bahwa letak keimanan
adalah dalam hati, itu artinya jika ada seseorang yang lisan menyatakan kufur
tapi hatinya masih beriman makan tidaklah orang ini disebut kafir. Harun
Nasution dalam teologi islamnya memeberikan contoh; jika ada seseorang dalam prakteknya
melakukan penyembahan berhala, menjalankan ajaran-ajaran Kristen atau yahudi[15],
namun hatinya tetap menyakini Allah dan beriman maka tidaklah bisa kita
menyebut mereka sebagai kafir baik kafir nikmat ataupun kafir akidah dalam
khawarij.
c. Mu’tazilah
Mu’tazilah memberikan nuansa baru dalam permasalahan
iman dan kufur ini, yakni mu’tazilah menambahkan kata fasiq dalam pembahasan
oman dan kufur. Lebih tepatnya mu’tazilah tidak menyebut pelaku dosa besar itu
kafir atau iman tetapi di antara keduanya (manzilah
al-manzilatain), mu’tazilah menyebutnya sebagai fasiq. Dan orang fasiq
berhak masuk neraka karena kefasiqkannya, dan aka kekal dalam neraka itu. Masalah
manzilah al-manzilatain menjadi dasar
dari ajaran mu’tazilah. Ada yang mengatakan bahwa dasar mu’tazilah mengambil
jala tengah ini diambil dari : 1. Ayat-ayat al-qur’an dan hadis yang
menganjurkan untuk mengambil jalan tengah dalam segala sesuatu, 2.
Pikiran-pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan (fadhilah :virtue) ialah jalan tengah antara
dua jalan yang berlebih-lebihan, 3. Plato yang mengatakan bahwa ada suatu
tempat di antara baik dan buruk.[16]
d. Asy’ariyah
sebagai reaksi terhadap mu’tazilah,
asy’ariyah pun tidak luput dari pembahasan mengenai iman dan kufur, namun yang
menjadi permasalahan nampaknya ada sedikit kerancuan dalam asy’ariyah ini. Ia
memberikan pengertian yang berbeda dalam tiga karyanya, yakni dalam kitab Maqalat dan al-Ibanah iman adalaha qawl dan
amal dapat bertambah dan berkurang.
Berbeda ketika dalam kitab yang ketiga, dalam kitab al-Luma,iman diartikan sebagai Tashdiq
Bi Allah. Dalam kitab yang ketiga ini asy’ariyah memberikan argumentasi
bahwa dalam al-qur’an surat yusuf ayat 7, kata mukmin itu memilki hubungan
dengan sadiqin,. Oleh sebab itu dalam kitan yang ketiganya asyariyah
mengartikan iman dengan tashqid bi
al-qalbhi (membenarkan dengan hati).
Dari penjelasan ini mungkin tidak
ada kejelasan mengenai iman dan kufur, untuk memperjelasnya salah satu pengikut
asyariyah yakni asy-syarastani menulis:
“al-asyari
berkata, “……….Iman (secara esensial) adalah tashdiq
bi al-janan (membenarkan dalam hati), sedangkan mengatakan dengan lisan
(qawl) dan melakukan kewajiban utama (amal ni al-arkan) hanyalah merupakan furu’ (cabang-cabang_ iman. Oleh sebab
itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya dan juga
membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa darinya, ima orang
semacam itu merpakan iman yang shaleh……dan keimana seseorang tidak akan hilang
kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.”[17]
Dari
kutipan di atas nampaknya syarastani ingin menyelaraskan pengertian iman dalam
ketiga kitab yang ditulis oleh asy-‘ariyah dalam satu titik, dan menempatkan
ketiga unsur iman (tashdiq, qawl dan amal) kepada tempatnya masing-masing.
Kesimpulannya bahwa asy’ari dan asy’ariyah persyaratan minimal dalam keimanan
adalah tashdiq, tashdiq secara
mudahnya adlah syahadatain. Itu artinya adanya kesamaan antara ays;’ariyah
dengan murji’ah dalam memandang sebuah keimanan.
Kesimpulan
Berangkat dari pertanyaan kami di
atas tepatya dalam pendahuluan bisa diambil kesimpulan bahwa kita setidaknya
harus mengetahui apa yang diajarkan dalam kelompok atau aliran yang kita anut
baik itu fikih, akidah, atau apapun jangan sampai kita mengikuti secara membabi
buta tanpa mengetahui ajaran apa yang diajarkan dalam kelompok itu. Hal semacam
ini sering kita jumpai dalam kehiupan sehari-hari bahkan kalau boleh jujur
mungkin diantara kita pada umumya dan kami pada khususnya tidak atau belum tahu
ajaran apa yang terkandung dala kelompok atau aliran yang kita ikuti selama
ini.
Daftar Pustaka
Abd Mu’in, Taib Thahir. Ilmu Kalam,cet.
Ke 8. Jakarta: PT.Bumirestu, 1986
Hanafi, Ahmad. Teologi Islam. cet ke 13. Jakarta: Bulan Bintang, 2010
Khalimi. Pengantar Teologi Islam:
Aliran, Tokoh, dan perbadingan Tematik. Jakarta
Nasution, Harun Teologi Islam: Aliran Sejaran Analisa
Perbandingan. cet. Ke 5. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986
Rozak, Abdur dan Anwar, Rosihan. Ilmu
Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011
[1]
Abdur Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam
untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 141
[3] Al-Ustadz Qomar Suaid, kufur, diakses dari http://asysyariah.com/kufur.html
pada tanggal 28-04-2012
[4]
Sama dengan yang dikutip oleh Abdur Rozak dan Rosihan Anwar, h. 142 dari Abu Hassan Al-Asyari, maqalat Al-Islamiyah wa ikhtilaf
Al-Mushallin, Wiesbaden Franz Steiner Verlag CBHN, 1963, cet 11, h. 85
[5]
Abdur Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam
untuk UIN, STAIN, PTAI, h. 142
[6]
Abdur Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam
untuk UIN, STAIN, PTAI, h. 143
[6]
Khalimi, Pengantar teologi Islam: Aliran, Tokoh, dan perbadingan Tematik,
Jakarta, h. 15
[7]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran
Sejaran Analisa Perbandingan, cet. Ke 5 (Jakarta: Universitas Indonesia
(UI-Press, 1986), h. 16
[8] Khalimi, Pengantar
teologi Islam: Aliran, Tokoh, dan perbadingan Tematik, h. 15-16
[9]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran
Sejaran Analisa Perbandinga, h. 17
[10]
Taib Thahir Abd Mu’in, Ilmu Kalam,cet.
Ke 8 (Jakarta: Pt. Bumirestu, 1986),
h. 99
[11]
Khalimi, Pengantar teologi Islam: Aliran,
Tokoh, dan perbadingan Tematik, h. 19
[12]
Taib Thahir Abd Mu’in, Ilmu Kalam,cet.
Ke 8 (Jakarta: Pt. Bumirestu, 1986),
h. 99
[13]
Taib Thahir Abd Mu’in, Ilmu Kalam,cet.
Ke 8 (Jakarta: Pt. Bumirestu, 1986),
h. 100
[14]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran
Sejaran Analisa Perbandinga, h. 26
[15]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran
Sejaran Analisa Perbandinga, h. 28
[16]
Ahmad hanafi, teologi Islam, cet ke 13 ( Jakarta: Bulan Bintang, 2010), h. 49
[17]
Sama dengan yang dikutip oleh Abdur Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAI, h. 149
dari asy-syarastani, al Milal wan Nihal, al dar fikr : bairut, t.t, h. 101